Mohon tunggu...
Jabal Sab
Jabal Sab Mohon Tunggu... Penulis - Mantan Kepala Bidang Informasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh

Menulis untuk berbagi pengetahuan, menulis untuk perubahan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tambang di Kampung Safriman

22 Agustus 2023   01:55 Diperbarui: 22 Agustus 2023   02:27 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nak, masuk dulu ke dalam rumah. Kau tentu lelah setelah perjalanan dari Banda Aceh ke kampung," ujar Bu Minah kepada anaknya Safriman yang baru pulang dari Banda Aceh.

"Sebentar Mak, Safriman harus segera menemui Pak Geuchik, Mak," sahut Safriman. Ia berlari meninggalkan tas bawaannya. Ia berlari ke arah meunasah. Setahu dia, Pak Geuchik selalu ikut salat berjamaah di meunasah sepulang dari sawah.

Safriman melihat ke sekitaran jamaah yang baru saja menunaikan shalat zuhur. Dilihatnya wajah-wajah yang satu pun tak asing baginya di meunasah yang sedang direnovasi menggunakan dana desa itu. Para pria paruh baya berjumlah sepuluhan orang tampak dihadapannya. Sebagian mengenakan peci hitam, sebagian lagi peci putih. Tapi Pak Geuchik tak terlihat dalam pandangannya.

"Teungku, apa Pak Geuchik kurang sehat? Kenapa beliau tidak nampak di meunasah siang ini," Safriman menegur Teungku Imum. Salah satu tetua gampong yang bertugas memimpin salat berjamaah di meunasah.

"Pak Geuchik hari ini pergi ke kantor camat. Dia dipanggil ke kantor camat untuk rapat dengan Muspika," jelas Teungku Imum dengan nada datar. 

"Setelah unjuk rasa warga menolak PT tambang kemarin, Pak Geuchik berulang kali dipanggil. Sudahlah Safriman, mungkin memang kita tidak bisa berbuat apa-apa," sambung Teungku Imum coba meyakinkan Safriman.

Safriman adalah salah satu mahasiswa dari Beutong, Nagan Raya yang kuliah di Banda Aceh. Ia pulang kali ini bukan karena panggilan ibunya. Bukan pula karena kenduri pernikahan orang kampungnya. Ia pulang kali ini setelah mendengar kabar bahwa perusahaan tambang emas akan beroperasi di desanya. 

Dua tahun lalu, Safriman berada di jajaran aktivis mahasiswa yang berhasil mendesak gubernur kala itu untuk membatalkan izin tambang emas di kampungnya. 

Ternyata perusahaan tambang emas itu tak diam saja. Tiba-tiba sudah keluar izin tambang yang menyetujui perusahaan tersebut untuk beroperasi di kampungnya. Kurang lebih dua tahun setelah aksi besar mahasiswa di Banda Aceh yang berhasil merengsek masuk ke halaman kantor, menembus pagar barisan Brimob.

Safriman tak tahu banyak tentang apa yang terjadi di kampung. Kampung halamannya menjadi tujuannya untuk kembali setelah lulus nanti. Tidak seperti teman-temannya yang memilih mengadu nasib di Banda Aceh, Safriman berniat pulang kampung. Ia bercita-cita mendirikan dan mengembangkan badan usaha milik desa yang membantu distribusi hasil tani untuk dipasarkan ke kabupaten tetangga, atau mungkin ke luar provinsi.

Bagi Safriman, buminya kaya. Tanam tanaman apa saja, pasti tumbuh dan berbuah. Air berlimpah dari mata air pegunungan yang berada di ujung desa. Hal itu menjadi salah satu alasan kenapa tidak ada kios air galon isi ulang di desanya. Warga masih bisa mengakses gratis mata air yang terletak di ujung kampung di lereng bukit untuk kebutuhan air minum. Rasa air gunung itupun segar dan agak sejuk.

Sebagai mahasiswa, Safriman mengikuti perkembangan tentang isu lingkungan. Ia kuatir, jika tambang beroperasi, apakah mata air dan aliran sungai kampungnya akan tetap jernih? Jika sumber air tercemar, tanah tercemar, sudah pasti hasil tani akan bermasalah. 

Safriman selama ini punya hubungan baik dengan Pak Geuchik. Tokoh gampong yang sudah menginjak usia 60 an tahun ini memang dikenal dekat dengan anak muda gampong. 

Safriman selalu ingat pesan Pak Geuchik, bahwa kampung adalah tempat untuk kembali. "Kau belajar di kota, bawa pulang ilmu mu, kita bangun gampong kita," ingat Safriman tentang petuah Pak Geuchik.

Sepertinya rapat di kantor camat itu memakan waktu berjam-jam. Ia tak menunggu lagi. Ia pilih menelusuri jalan di pematang sawah yang terhampar luas di belakang meunasah. Di hadapannya terhampar perbukitan yang menghijau. 

Dalam langkahnya yang lesu, Safriman bergumam dalam hati, "kenapa kekayaan alam ku yang di di dalam gunung itu katanya berisi emas, justru jadi petaka bagi kami," gumamnya. 

Logam mulia yang diburu itu tak bisa ku makan. Tak seperti bulir padi yang bisa ditanak jadi nasi. Tidak seperti sayur mayur dan tanaman palawija yang jadi pelengkap hidangan sederhana di meja makan. 

Pikir Safriman, sebagian kawannya sudah bosan jadi petani atau meulampoh (bekerja di kebun). Namun menjalani aktivitas rutin sedemikian itu, masyarakat kampungnya bisa hidup tenang, makan kenyang dan hidup berdampingan dengan alam. 

Kalau nanti perusahaan tambang itu beroperasi, mungkin teman-temannya akan jadi karyawan. Tak lebih dari satpam, cleaning service, atau pegawai administrasi rendahan bagi yang sudah lulus kuliah. Sama seperti apa yang dilakukan di PLTU yang juga dibangun di kampungnya. Hampir tak ada putra daerah yang dapat posisi strategis. 

Jika sumber air tercemar, gunung digali dan dibelah, kemungkinan besar air sungai bisa meluap dan terjadi banjir. Tentu areal sawah bisa saja terendam dan panen akan gagal. 

"Harapan satu-satunya adalah Pak Geuchik, sebagai kepala desa kampung ini," pikir Safriman. 

"Ah, jangankan Geuchik, bupati pun tak akan berdaya kali ini. Hampir tak pernah terdengar pernyataan bupati mempermasalahkan masalah tambang," pikirnya.

Jalan aspal yang mulus di kampungnya, akan lebih banyak dilalui kendaraan operasional perusahaan tambang ketimbang mobil pengangkut hasil pertanian dan perkebunan Gampong, Safriman berandai-andai. 

Safriman benar-benar terenyuh hatinya. Ia tak ingin Pak Geuchik pasang badan dan harus menerima resiko penolakan tambang. 

Empat atau lima tahun lalu, ia sempat kenal sejumlah aktivis di Banda Aceh yang kerap mengadvokasi masyarakat di Aceh. Mulai dari isu korban konflik, sengketa lahan sawit, masalah tambang dan lainnya. Tapi seingatnya, beberapa dari mereka telah jadi politisi. Ada yang telah jadi anggota dewan. Selain sudah sulit ditemui, hampir tak terdengar mereka bicara soal isu-isu yang sama. Sementara penggantinya, tak terdengar lagi seperti dulu.

Safriman merasa tak kuasa. Aksi massa bisa dihalau. Advokasi hukum, mereka merasa kehilangan pejuangnya. Lalu siapa yang sekarang berpihak pada kepentingan orang kampung? Pak Geuchik, jabatan kepala desa terlalu kecil untuk melawan kelindan kepentingan modal yang melakukan eksploitasi alam di kampungnya. Kampung Safriman, sama seperti beberapa wilayah lain di Indonesia, hanya menyisakan pilu dan derita yang tak bisa disuarakan. 

"Mungkin nasib kita di gampong, bergantung pada tangan-tangan kuasa di Jakarta sana," sangka nya. 

Jakarta, kota pusat pemerintahan yang yang berjarak jauh dari kantong-kantong derita dan ketidakadilan di penjuru negeri. Banyak suara yang tak sampai terdengar di sana. Suara pinggiran yang tak mampu menyeberang lautan untuk didengar di telinga aparatur pemerintahan. Suara anak bangsa yang berharap keadilan dari tangan-tangan pemimpin di ibukota negeri yang tak pernah sekalipun mereka sambangi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun