Mohon tunggu...
Jabal Sab
Jabal Sab Mohon Tunggu... Penulis - Mantan Kepala Bidang Informasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh

Menulis untuk berbagi pengetahuan, menulis untuk perubahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Hilirisasi Nikel, Pro Rakyat atau Malah Merugikan Indonesia?

21 Agustus 2023   21:54 Diperbarui: 21 Agustus 2023   22:33 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia sedang beralih ke energi terbarukan, salah satunya dengan konversi kendaraan berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik (electric vehicle). Nikel sebagai bahan dasar untuk produksi baterai lithium untuk kendaraan listrik diproyeksi menggantikan minyak bumi sebagai sumber energi utama dunia. 

Penguasa bisnis baterai lithium di dunia kini  adalah perusahaan asal Tongkok, CATL. CATL Menguasai 35 persen pangsa pasar baterai lithium dunia untuk mobil listrik, disusul perusahaan Korea Selatan LG dan BYD yang juga asal Tiongkok. 

CATL adalah perusahaan milik Zeng Yuqun atau Robin Zeng. Orang terkaya ketiga di Tiongkok dan terkaya ke 29 di dunia versi majalah Forbes. Iya bahkan telah membuat pabrik produksi baterai mobil listrik di Jerman dan menyuplai baterai untuk mobil listrik bagi BMW, Daimler Chrysler, Tesla, Ford, dan lainnya.

CATL ini yang berencana untuk investasi sebesar 500 triliun dalam proyek hilirisasi nikel di Indonesia. Menteri Luhut menjadi aktor utama dalam proses investasi ini. Setelah beberapa proses pertemuan antara Luhut dan Robin Zeng, kabarnya telah mencapai kesepakatan.

Sementara itu, Presiden Jokowi tengah gencar-gencarnya mengkampanyekan hilirisasi nikel. Pemerintah memutuskan larangan ekspor nikel mentah, memutuskan untuk membuat smelter pengolahan nikel di dalam negeri dan mengekspor nikel yang telah diproses menjadi produk baterai lithium. Meski harus menghadapi gugatan Uni Eropa di WTO.

Kerjasama Investasi yang Merugikan Indonesia

Sepintas gagasan ini terkesan cukup ideal. Namun kebijakan ini bukan tidak bermasalah. Pemerintah memberikan tax break atau pengurangan pajak bagi investor Tiongkok. Politisi Partai Demokrat Zulfikar Hamonangan, seperti dikutip media Tiongkok South China Morning Post menyebut bahwa rencana hilirisasi nikel di Indonesia cenderung dikuasai oleh Tiongkok. Perusahaan asal Tirai Bambu ini mendapatkan keuntungan dengan pemotongan pajak hingga 30 persen.  

Pengamat Bima Yudhistira menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi nikel hanya menguntungkan Tiongkok secara sepihak, kebijakan pemotongan pajak ini membuat negara tidak diuntungkan dari penerimaan pajak. 

Ekonom Faisal Basri lebih lanjut mengungkapkan bahwa ratusan ribu pekerja didatangkan dari Tiongkok untuk bekerja di smelter nikel, padahal mereka bukan tenaga ahli. Faisal mengungkap kerugian Indonesia karena berpindahnya devisa ke luar negeri. Indonesia dirugikan dalam kebijakan ini.

Sementara itu The Economist dalam edisi yang mengangkat tentang prospek ekonomi Indonesia yang menjanjikan di masa depan, salah satunya dengan potensi sumber daya nikel, menyebut dua aktor utama dalam bisnis hilirisasi nikel di Indonesia. 

Pertama, Pandu Sjahrir, keponakan Luhut Panjaitan, Menteri Investasi dan Maritim yang terbilang getol dalam mewujudkan kebijakan hilirisasi nikel ini. Kedua, Garibaldi Thohir, saudara kandung Erick Thohir, Menteri BUMN yang namanya sempat digadang-gadang sebagai Capres atau Cawapres.

Kekuasaan sepertinya selalu punya cara untuk memoles kebijakan agar terlihat baik. Padahal banyak hal yang rakyat tidak tahu. Rezim pemerintah dengan lingkaran kekuasaannya terkesan melahirkan kebijakan yang pro rakyat, ternyata di balik itu sepertinya ada kepentingan tersembunyi untuk keuntungan sekelompok orang, para pebisnis yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono sebagai oposisi pemerintahan memberi catatan penting mengenai kebijakan pemerintah hari ini yang ia anggap terkesan ugal-ugalan. Bagi AHY pemerintah cenderung abai terhadap rakyat. Kemajuan sebuah negara dan kesejahteraan masyarakat sama pentingnya, untuk itu AHY menolak jika kepentingan rakyat dikorbankan dengan alasan kemajuan negara. 

Relevansi pernyataan AHY ini bisa kita rasakan dalam kebijakan pemerintah mengenai hilirisasi nikel yang pro pebisnis, pro kemajuan, tapi cenderung tidak pro rakyat. Kita tidak tahu pasti soal surplus pendapatan negara yang didapat, apakah benar-benar dialokasikan untuk kepentingan rakyat banyak. Atau hanya korporat dan pebisnis saja yang diuntungkan.

Terlebih lagi, kebijakan perdagangan Indonesia dalam proyek nikel terkesan dikuasai oleh Tiongkok. Indonesia seakan mengabaikan prinsip politik luar negeri yang berimbang. Seharusnya pemerintah dalam kebijakan perdagangan luar negeri harus lebih fair dan membuka kesempatan bagi semua negara dan bisnis dalam investasi. Lalu memilih pihak mana yang paling mampu menawarkan kerjasama bisnis yang adil dan menguntungkan semua pihak.

Dorongan Uni Eropa yang menuntut larangan ekspor nikel mentah Indonesia di WTO harusnya diimbangi dengan tawaran kerjasama pengolahan nikel bagi anggota WTO lainnya secara fair dan kompetitif. Dengan ini Indonesia akan berhasil menciptakan keseimbangan pasokan energi dunia bagi negara manapun, sehingga tidak terkesan memihak, tanpa membatalkan rencana hilirisasi nikel.

Kita tentu berharap, di kontestasi politik elektoral 2024 akan melahirkan pemimpin yang membawa Indonesia menuju perubahan. Sejauh ini, AHY dan Partai Demokrat paling konsisten dalam menyuarakan gagasan perubahan. 

Dalam kebijakan luar negeri, AHY juga menyampaikan tentang bagaimana menciptakan keseimbangan dunia, menyelesaikan masalah-masalah krusial di dunia seperti masalah pasokan energi dan menegaskan posisi Indonesia yang netral dan berimbang dalam konstelasi politik global. 

Kebijakan luar negeri Indonesia sepatutnya harus sejalan dengan amanat pendiri bangsa, sesuai dengan konstitusi negara yang berlandaskan politik bebas-aktif. Bukan kebijakan luar negeri--baik politik maupun ekonomi--yang terkesan condong ke satu negara saja, yang malah memperuncing ketegangan global di tengah kondisi geopolitik dunia yang tak menentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun