Mohon tunggu...
Jabal Sab
Jabal Sab Mohon Tunggu... Penulis - Mantan Kepala Bidang Informasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh

Menulis untuk berbagi pengetahuan, menulis untuk perubahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Minum Kopi dan Kisahnya di Banda Aceh

8 Desember 2022   11:14 Diperbarui: 8 Desember 2022   11:29 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopi bagi laki-laki dewasa di Banda Aceh, adalah konsumsi wajib setelah nasi dan lauk-pauk. Kopi telah mempengaruhi kultur ekonomi Banda Aceh dalam kehidupan sehari-hari. 

Mungkin kira-kira sampai 20 persen pengeluaran bulanan warga dibelanjakan di warung kopi. Namun konsumsi kopi bukanlah jenis  penyakit konsumerisme kapitalisme yang meresahkan. Konsumsi kopi yang umumnya adalah warung kopi tradisional berupa kopi saring robusta adalah bagian dari kultur konsumsi ala ekonomi kerakyatan. 

Mengapa? 

Warung kopi tradisional harganya terjangkau. Mencirikan budaya konsumsi masyarakat kebanyakan. Bukan representasi kelas sosial menengah atas. Warung kopi ini membuka banyak lapangan kerja: mulai dari pelayan, barista, penjual rokok, penjual berbagai jenis makanan: mulai dari nasi, mie Aceh, dan lain-lain, pembuat kue hingga tukang parkir. 

Satu warung kopi bisa menyerap sampai 10-15 tenaga kerja atau lebih. Berarti menghidupkan 10-15 dapur rumah tangga.

Kopi menjadi ruang publik yang inklusif, menjadi salah satu tumpuan interaksi sosial secara fisik yang lebih intens di era digital yang lebih cenderung pada interaksi jagat maya. Warkop menjadi instrumen menjaga tradisi komunal bagi warga Banda Aceh.

Kopi bagi anak muda masa kini menjadi tempat co-working space yang relatif murah. Mereka dapat mengakses internet bermodal segelas kopi seharga lima ribu rupiah tanpa batasan waktu.

Warung kopi saring atau robusta mampu bertahan di tengah masifnya perkembangan tren cafe kopi mesin atau yang menyajikan kopi arabica di Banda Aceh. 

Stimulus energi yang diberikan kopi menjadi pemacu etos kerja bagi pekerja informal dan pelaku usaha sektor kreatif yang pekerjaannya tidak terikat kantor dan jam kerja. Ini bermakna bahwa warkop tidak selalu identik dengan budaya malas dan santai-santai.

Cukuplah kopi menjadi kemewahan terakhir di tengah kondisi ekonomi yang katanya akan menuju resesi. Hanya dengan ke warkop, menjadi alternatif healing yang relatif jauh lebih murah bagi warga Banda Aceh dibandingkan hiburan dan healingnya warga kota besar. 

Gudang Kopi di Lam Ateuk

Di suatu kesempatan, saya berkesempatan mengunjungi gudang kopi di kawasan Lam Ateuk, Aceh Besar. Mungkin gudang ini menyuplai sekitar 10-20 persen bubuk kopi yang beredar untuk konsumsi warung kopi di sekitaran Banda Aceh. 

Dulunya, sebelum tsunami dan masa awal setelah tsunami, pemain utama kopi kota Banda Aceh didominasi oleh Solong Kupi dan alumni mantan pekerja Warung kopi Solong yang terletak di Ulee Kareng. Sementara mereka para alumni Solong, yang bekerja di Solong dan yang bekerja di warkop-warkop alumni Solong berasal dari desa Lam Ateuk, Aceh Besar. Namun kini sudah banyak warung-warung kopi yang muncul bukan dari daerah ini.

Kawasan Lam Ateuk selain dikenal dengan produksi kopi, juga merupakan daerah pusat pendidikan agama dan umum. Untuk pendidikan agama ada dayah Abu Mamplam Golek, ulama kharismatik yang juga tokoh Perti di masanya. Untuk pendidikan umum, ada Universitas Abulyatama yang dibangun oleh Rusli Bintang. 

Rusli Bintang yang asal Lam Ateuk ini membangun Universitas Abulyatama di kampungnya dan sukses membangun Universitas Malahayati di Bandar Lampung. Bahkan anaknya, Khadafi terpilih sebagai anggota DPR-RI dari PKB wilayah pemilihan Lampung.

Sepanjang jalan dari Lam Ateuk hingga Ulee Kareng, kita bisa melihat geliat kegiatan ekonomi yang cukup positif. Keberadaan lembaga pendidikan dan industri produksi kopi telah membuka lapangan pekerjaan bagi warga di sana. 

Dari desa Lam Ateuk kita dapat mengambil pelajaran bahwa, beberapa orang yang dari wilayahnya berasal, bisa memainkan peran untuk menumbuhkan geliat ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Kita berharap ada individu-individu kreatif yang mampu bangkit mengembangkan bisnisnya, sembari berkontribusi untuk daerahnya, membuka lapangan pekerjaan dan membantu masyarakat yang kurang mampu di sekitarnya. 

Konfigurasi sosial di Lam Ateuk menarik untuk dijadikan bahan studi, bagaimana perkembangan sosial-ekonomi masyarakat bisa berkembang melalui peran aktor-aktor tertentu masyarakat di luar institusi pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun