Setiap tahun, masyarakat Indonesia selalu memperingati dua momentum penting di Bulan Mei, yakni Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan Nasional (hardiknas).Â
Berkaca dari pengalaman setiap tahun, peringatan kedua hari besar tersebut selalu diwarnai aksi massa dengan tuntutan yang selalu sama. Hari buruh sedunia yang jatuh tanggal 1 Mei atau yang lebih dikenal dengan May Day di peringati dengan demo para buruh yang menuntut kenaikan upah, tunjangan dan jaminan kerja, sedangkan hardiknas 2 Mei selalu menuai aksi dari mahasiswa yang menuntut realisasi alokasi dana pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, pemerataan pendidikan  atau tuntutan para guru meminta kenaikan gaji dan tunjangan.Â
Menarik, karena dua hari besar itu diperingati berturut-turut, lebih menarik lagi karena keduanya memiliki korelasi erat yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya.Â
Hubungan upah buruh dan tingkat pendidikan kemudian berpengaruh pula terhadap sektor lain hingga membentuk sebuah lingkaran utuh. Ketika satu komponen dalam lingkaran tersebut berubah maka otomatis komponen lain juga berubah.Â
Misal, ketika upah buruh minim, maka alokasi dana untuk menyekolahkan anak-anak mereka juga akan minim, akibatnya tingkat pendidikan anak juga rendah. Rendahnya tingkat pendidikan anak membuat potensi sumber daya manusia mereka juga akan kurang. Kurangnya potensi SDM ini membuat mereka menjadi pekerja kerah biru dengan upah yang minim. Demikian seterusnya.
Berdasarkan data yang diramu kompas.id, bahwa tingkat pengangguran terdidik tahun 2023 mencapai 945 ribu orang (kompas.id). Ini baru data yang terungkap, karena kondisi di lapangan jauh lebih memprihatinkan. Pontensi sumber daya manusia Indonesia (dengan gelar sarjana sekalipun) baru dihargai sebatas pekerja rendahan sedangkan para pemilik modal dan pengambil kebijakan adalah investor asing. Fenomena yang hampir sama dengan masa penjajahan saat kaum Kolonial mengeruk hasil bumi Indonesia dengan memanfaatkan kebodohan dan menggunakan tenaga rakyat Indonesia sebagai budak!
Berpijak dari fakta tersebut, dapat dinilai bahwa pendidikan di Indonesia saat ini baru sebatas variabel "Y" yang keberadaan dan kondisinya sangat dipengaruhi oleh variabel "X" dalam hal ini adalah kepentingan ekonomi dan politik.Â
Sistem yang diciptakan dan dilaksanankan belum mampu membalikkan keadaan yakni pendidikanlah yang seharusnya menjadi variabel yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi variabel-variabel lain seperti ekonomi, sosial, politik dan keamanan. Lebih jauh, pendidikan kemudian dijadikan sebuah industri berorientasi profit atau sebuah komoditas yang layak diperdagangkan.Â
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan berkualitas dalam kacamata khalayak ramai identik dengan bangunan mewah, fasilitas lengkap dan tenaga pengajar professional.Â
Dalam hal iuran sekolah, tentu tak akan terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Jika demikian, sangatlah tepat apa yang disampaikan oleh Eko Prasetyo bahwa di negeri ini orang miskin dilarang sekolah!! Kalaupun sekolah, hanya sebatas pengenalan ilmu pengetahuan tingkat dasar. Cukup bisa baca tulis dan berhitung. Kira-kira demikianlah prinsip sekolah ala orang miskin.Â
Imbas berikutnya adalah tidak semua kalangan dapat mengakses pendidikan. Lembaga pendidikan hanya mampu menampung siswa yang memenuhi kriteria dan kualifikasi 'pasar' yang ditetapkan oleh pemegang modal ( Eko Prasetyo, 2006).Â
Padahal bantuan untuk pendidikan di Indonesia seharusnya sudah menjadi jaminan pemerataan pendidikan, mulai dari dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), Dana Bantuan Operasional (DPO), Bantuan Khusus Murid (BKM), Bantuan Operasional Peningkatan Mutu (BOPM), Bantuan Imbal Swadaya, Program Pengembangan Keterampilan Hidup, BLOCK GRAND, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Pendidikan, hibah pemerintah Belanda dan hibah pemerintah Jepang.Â
Namun dari sebagian bantuan tersebut hanya sedikit yang digunakan tepat sasaran bahakan ada indikasi penyelewengan sehingga banyaknya bantuan itu sedikitpun tidak memberi kemudahan kepada siswa miskin dalam mengenyam pendidikan.
Kurikulum yang diterapkan juga masih meraba-raba atau lebih tepatnya mencoba meniru kurikulum yang sudah dipakai di Negara-negara maju, namun kebablasan dalam aplikasi di lapangan.Â
Dalam pengembangan kurikulum, peserta didik hanya diajarkan bagaimana melakukan perintah dengan benar, bukan mengapa mereka harus melakukannya. Pola pengembangan yang keliru ini kemudian menghancurkan sikap kreatif dan pemikiran kritis peserta didik.Â
Robert W. Olson, dalam bukunya Seni Berpikir Kreatif, mengatakan bahwa "pendidikan membuat kita terlalu percaya pada bahan-bahan tertulis seperti buku, mengarahkan kita untuk percaya bahwa orang lain yang lebih bijaksana memiliki jawaban yang nyata; dan memisahkan belajar dan berbuat, yang sering berarti bahwa belajar sudah selesai bila kita sudah bekerja".Â
Tak cukup sampai di sini, proses pembodohan juga dilakukan dengan mengajarklan hal-hal abstrak yang sebenarnya sangat jauh dari realita sosial masyarakat. Keadaan ini yang membuat pendidikan kemudian berhadapan dengan realitas sosial yang tidak selalu ramah dengan kultur intelektual, sebuah kultur yang menghargai akal sehat, perbedaan dan proses (Eko Prasetyo, 2006).Â
Tujuan pendidikan nasional yang seharusnya mencerdaskan dan meningkatkan harkat martabat peserta didik kemudian berubah menjadi menciptakan produk siap kerja baik di instansi pemerintah maupun swasta. Lagi-lagi hal ini karena adanya kepentingan ekonomi yang menginginkan tenaga kerja penurut dengan upah rendah serta kepentingan politis rezim penguasa yang tidak ingin kekuasaannya digoyahkan oleh generasi yang cerdas dan berani.
Dari fenomena di atas timbul pertanyaan, siapa yang harus bertanggung jawab guna memperbaiki keadaan ini. Pemerintah, guru, masyarakat atau mahasiswa?.Â
Pemerintah, sudah jelas kurang memprioritaskan masalah kualitas pendidikan karena terlalu sibuk dengan urusan lain yang lebih penting yakni mengamankan posisi yang kini dinikmati dan mencari simpati masyarakat dengan berbagai acting di media massa. Guru, karena tuntutan keadaan yang semakin tinggi sedangkan gaji yang amat kecil juga sangat sibuk mencari pekerjaan sampingan agar asap dapur bisa tetap ngebul, hingga pekerjaan mendidik generasi bangsa secara tidak langsung terabaikan. Masyarakat, pun hampir sama keadaannya dengan sang guru. Mahasiswa, tak kalah sibuknya, mulai dari jam kuliah yang amat padat, tugas yang selalu membludak hingga kegiatan organisasi yang beraneka ragam membuat lupa akan fungsinya sebagai agen perubah dan agen kontrol.
Lantas, siapa yang kelak mengajarkan anak-anak kita tentang nilai-nilai kejujuran, kesopanan, toleransi terhadap perbedaan serta keberanian memperjuangkan kebenaran?Â
Tentu kita semua. Tidak peduli apa latar belakang anda, seberapa tinggi pendidikan anda atau seberapa banyak harta yang anda miliki. Pejabat, guru, dosen, rektor, direktur, mahasiswa, dokter, insinyur, pengacara, pedagang, tukang koran bahkan kuli angkut sekalipun dapat menjadi "guru" yang mencetak generasi emas dengan pendidikan yang lebih berkualitas. Karena sebenarnya kualitas pendidikan tidak hanya berupa pembangungan fisik, namun juga merekonstruksi moral anak-anak bangsa. Proses ini tentu dimulai dengan hal-hal kecil seperti mengajak peserta didik untuk berdiskusi tentang segala hal yang ingin mereka ketahui ditambah dengan menanamkan nilai luhur melalui teladan yang kita tunjukkan sehari-hari. Karena, anak-anak lebih memerlukan teladan daripada kritik (Joseph Joubert).
Jadi, mungkinkah pendidikan berkulitas untuk semua? Mungkin saja.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H