Al-Farabi (bahasa Arab: , translit. Ab Nashr Muammad Al-Frb; (bahasa Kazakh: -; 259 H/872 M -- Rajab 339 H/951 M) adalah seorang ilmuwan dan filsuf muslim yang berasal dari Farab, Turkistan. Dalam beberapa sumber ia bernama lengkap Ab Nashr Muhammad bin Muhammad bin Uzalagh bin Tarkhan Al-Frb, namun lebih dikenal dengan nama singkat Ab Nashr Al-Frb, atau hanya Al-Farabi, di mana dari nama inilah dia dikenal sebagai Alpharabius di dunia Latin (Barat).
Al-Farabi menulis karya yang beragam, mulai dari epistemologi, metafisika, logika, matematika, sains (filsafat alam), ilmu politik, tata bahasa, dan musik. Namun, minat Al-Farabi yang terbesar adalah soal pendidikan. Karyanya yang berjudul Ihsa Al-'Ulum (Indonesia: Klasifikasi Ilmu; Latin: De Scientiis) merupakan pemikirannya yang paling banyak dikutip dan diterjemahkan dalam bahasa asing. Al-Farabi dijuluki sebagai "Guru Kedua" (al-Mu'allim al-Tsn) setelah Aristoteles karena dipandang sebagai komentator terbaik "Guru Pertama". (Majid 2019)
Dalam kitab Wafayat karya Ibnu Khallikan (wafat 1282), penulis muslim abad ke-13, dikatakan bahwa Al-Farabi lahir pada 259 H/872M dari orang tua berdarah Turkik di Farab, tepatnya di dusun kecil bernama Wasij, dekat provinsi Farab, Turkistan; atau sekarang dekat Otrar, Khazakstan. Penulis lain bernama Ibnu Abi Usaibah (wafat 1270) mengatakan ayah Al-Farabi merupakan keturunan Persia dan seorang komandan tentara Turkik.(Wiyono 2016)
Wilayah Farab, yang merupakan dataran subur di sepanjang Sungai Syr Darya, merupakan pusat kebudayaan penting di Jalur Sutra. Beberapa sumber sejarah mengatakan ayah Al-Farabi merupakan komandan tentara di kastil Otrar, yang pada masanya merupakan sebuah kota besar di Asia Tengah. Meski tidak ada data sejarah yang dapat dirujuk, diperkirakan di kota inilah Al-Farabi tumbuh dan mendapatkan pendidikan di masa mudanya.
Menurut cerita lisan, Al-Farabi meninggalkan Otrar dan mulai melakukan perjalanan untuk belajar di Bukhara, Samarkand, Merv, dan Balkh, dan akhirnya tiba di Baghdad pada usia lebih dari 40 tahun. Di ibukota Dinasti Abbasiyah inilah Al-Farabi bertemu Yhann bin Hayln (wafat 328 H/941 M), seorang Nestorian, yang menjadi penerjemah dan komentator karya-karya Yunani. Padanya Al-Farabi belajar ilmu logika, di antaranya Eisagoge karya Porphyry, serta Kategorisasi, Interpretasi,serta Analitik dan PosteriorAnalitik dari Organon AristotelesSaat Yhann bin Hayln pergi ke Harran, yang merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil, dikabarkan Al-Farabi turut serta dan di sana mempelajari astronomi Persia, India, Babilonia dan Khaldea. Dalam F Dzur Al-Falsafah (Kemunculan Filsafat),
Al-Farabi mengatakan: Filsafat, sebagai subjek akademis, mulai tumbuh subur di masa raja-raja Ptolemius di Aleksandria dan berlangsung hingga masa ratu perempuan [Cleopatra]. Pengajaran filsafat tidak banyak berubah sejak kematian Aristoteles hingga raja ketiga belas Dinasti Ptolemius... hingga datangnya era Kristen. Sejak kemunculan Kristen filsafat menghilang dari Roma, namun masih diajarkan di Aleksandria hingga seorang raja Kristen mulai mengawasinya. Para uskup kemudian mengadakan konsili dan memutuskan mana saja pengajaran [filsafat] yang akan dibiarkan hidup dan akan dilarang. Mereka sepakat bahwa pengajaran logika harus diperketat dan hanya diajarkan hingga bagian akhir asertorik [Prior Analytics, 1.7] tetapi tidak yang sesudahnya, karena itu akan membahayakan ajaran Kristen. Maka sejak saat itu pengajaran [bagian akhir] logika dilakukan secara sembunyi-sembunyi; hingga datang era Islam dan pusat pengajaran filsafat berpindah dari Aleksandria ke Antioch. Selama beberapa lama pengajaran filsafat bertahan di Antioch hingga pada akhirnya hanya tersisa satu orang guru logika. Kemudian ada dua murid yang belajar padanya... satu dari Harran dan satu lagi dari Marw. Dari orang Marw kemudian diwariskan kepada Ibrahim al-Marwizi dan Yuhanna Ibnu Haylan. Al-Farabi, menurut pengakuannya, belajar logika Aristoteles kepada Yuhanna Ibnu Haylan hingga Posterior Analytics.(Syafi'i 2018)
Sekembalinya dari Harran, Al-Farabi tinggal beberapa lama di Baghdad. Ibnu Khallikan mengatakan bahwa Al-Farabi juga belajar pada Abu Bishr Matta bin Yunus (wafat 329 H/942 M). Adapun Ibnu Abi Usaibah mengatakan dia juga belajar tata bahasa pada Ibnu al-Sarraj (wafat 316 H/929 M).
Saat Dinasti Buyid menaklukan Baghdad sekitar tahun 941-942 dan menyebabkan kekacauan politik, Al-Farabi terpaksa melarikan diri ke Aleppo tahun 330 H/945 M dan diterima oleh penguasa Hamanid, Sayf al-Dawlah. Nampaknya Al-Farabi memilih untuk tidak tinggal lama di Aleppo, karena di usia tuanya dikabarkan dia mulai menetap di Damaskus hingga wafat pada bulan Rajab 339 H (Desember 950 M).
Al-Farabi menghabiskan sebagian besar hidupnya di Bahgdad zaman Dinasti Abbasiyah, sebelum pindah ke Aleppo di bawah pemerintahan Sayf al-Dawla. Ia melewati periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik Abbasiyah, yakni peralihan dari Khalifah Mu'tamid (869-892 M) dan Khalifah Al-Muthi' (946-974 M). Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama).
Al-Farabi dipandang sebagai filsuf muslim pertama yang menghadirkan filsafat sebagai suatu sistem yang kohern di Dunia Islam, melampaui warisan filsafat skolastik Neoplatonisme yang diwariskan Aleksandria dan filsafat paripatetik Aristotelian yang berkembang di Syria (Antiokhia). (Kurniawan 2018)
Warna Neoplatonisme pemikiran Al-Farabi terlihat pada skema emanasi yang merupakan sentral dalam kosmologinya, meskipun pandangannya jauh lebih maju daripada sistem planet yang diajukan Ptolemaeus; adapun warna Aristotelian menjadi warna umum pemikiran Al-Farabi, bukan saja terlihat dari banyaknya komentar atas berbagai karya Aristoteles, tetapi juga terlihat dari pengajaran logikanya (ilmu mantik) yang sepenuhnya berwarna Aristotelian. Memang, selain berbagai karya dasar seperti Ih al-'Um, Risalah fi M Yanbaghi an Yutaqaddam Qabla Ta'allum al-Falsafah, dan Falsafah Arisththls, penguasaan Al-Farabi atas naskah-naskah Aristoteles nampak jelas dalam komentarnya atas Organon. Penguasaan Al-Farabi atas filsafat Aristoteles, khususnya logika, membuatnya mendapat julukan al-Mu'allim al-Tsn (Guru Kedua) setelah Aristoteles yang merupakan Guru Pertama.