Sekitar pertengahan bulan April, tepatnya dua minggu sebelum bulan Ramadhan, kisah mengerikan ini saya alami.
Awal mula cerita ini berangkat dari kebimbangan saya perihal pulang ke kampung halaman. Karena saat itu, kota yang saya tempati buat kuliah tergolong kota zona merah Covid-19. Sehingga hampir setiap hari, ibu saya selalu mengkhawatirkan kondisi saya. Mulai dari menanyakan kabar kesehatan hingga jadwal makan.
Tak jarang juga ibu menyuruh saya untuk pulang saja dari pada menghabiskan waktu di sana. Tapi saya enggan untuk memenuhi permintaanya. Sebab jika saya pulang, saya nggak akan bisa tidur seenaknya dan ngerokok jebal jebul seperti berada di kontrakan. Hehehe.
Saya pun selalu mencari alibi dalam perkara ini. Entah itu bilang "Banyak tugas yang harus diselesaikan bersama teman satu kontrakan," atau "Saya takut kalau pulang, nanti sinyal di kampung berbeda dengan sinyal ketika berada di Malang." Toh, uang kiriman juga masih ada. Nggak masalah makan sehari sekali, yang penting bisa nyeruput kopi sama ngerokok. Pikir saya waktu itu.
Sayangnya alasan saya itu menjadi basi, ketika di suatu hari ibu menelepon saya dengan mengatakan bahwa ia sudah tidak bisa mengirim uang lagi. Ya mau nggak mau akhirnya saya memilih untuk pulang kampung. Masa iya, tetap cengkal milih hidup bebas. Bisa-bisa mati kelaparan dong.
Setelah memilih untuk pulang ke kampung. Pertanyaan saya hanya satu, kira-kira bisa nggak saya untuk sementara waktu mengurangi ritus ngerokok? Lebih-lebih kalo bisa libur malah baik. Sebenarnya sih orang tua saya sudah tahu kalau saya ngerokok, cuma ada rasa nggak enak aja kalau kelihatan ngerokok di depan mereka. Soalnya bapak saya sendiri sudah lama pensiun jadi perokok.
Singkat cerita, saya kuat libur ngerokok hanya tiga hari saja. Hari keempat berada di rumah, sel-sel yang ada di tubuh saya seakan mengadakan demo besar-besaran, menuntut saya untuk melanjutkan kebijakan bebas ngerokok.Â
Sebagai pemilik anggota tubuh yang sah, saya merasa bingung pol-polan. Kalau ngerokok saya harus cari warkop dulu, tapi melihat situasi saat itu -- lockdown, pastinya warkop pada tutup semua. Tapi kalau saya nggak ngerokok, sel-sel tubuh saya lama-lama akan ngambek dan mogok kerja.
Saya pun muter otak untuk mencari solusi agar tetap bisa ngerokok di sekitar rumah. Akhirnya, setelah melakukan meditasi dan berdialektika, saya menemukan satu solusi agar saya tetap bisa ngerokok. Iya, solusinya hanya satu; ngerokok di ruang belakang ketika jam 11 malam. Jam di mana keluarga saya sedang tidur pulas.
Sebenarnya saya sendiri orangnya licik dan penakut. Apalagi ruang belakang rumah saya punya sejarah yang suram. Ketika masih berupa lahan kosong yang biasa digunakan ibu menjemur pakaian, ruang belakang pernah ditumbuhi satu pohon mangga yang ukurannya cukup besar. Konon kata si penjual tanah, pohon itu nggak boleh dihilangkan, sebab ada "penunggu" yang nggak mau dipindah.