Mohon tunggu...
izzatul isma
izzatul isma Mohon Tunggu... Full Time Blogger - membaca adalah melawan,menulis adalah implementasi dari bacaan

dalam belajar cobalah seperti pohon dan angin serta seperti jejak kaki dan tanah,selalu menemukan makna disetiap pertemuan dan perjuangannya meskipun selalu sulit untuk abadi bersama

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kajian RUU Ciptaker (Cipta Lapangan Kerja)

23 Maret 2020   14:11 Diperbarui: 23 Maret 2020   14:23 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi tolak OmnibusLaw oleh aliansi Rajam (Rakyat Jawa Tengah Melawan) di Semarang

Pemerintah mengidentifikasi 82 UU yang akan terdampak omnibus law, dan Pemerintah sedianya mengajukan draft omnibus law ke DPR pada Desember 2019. Namun, rencana tersebut mundur hingga Januari 2020.  

Omnibus law yang akan dilahirkan terdiri dari tiga aspek, yaitu perpajakan, cipta lapangan kerja (ketenagakerjaan) dan Usaha Kecil Menengah dan Mikro (UMKM). 

Pembahasan tentang omnibus law ketenagakerjaan sampai saat ini masih menjadi polemik  di masyarakat karena di satu sisi dianggap banyak menguntungkan para pengusaha dan semakin memarjinalkan pekerja/buruh dengan  rencana sistem upah per-jam yang oleh pekerja dianggap akan memperlemah posisi dan kesejahteraan para buruh/pekerja. 

Sementara itu, omnibus law sendiri masih  banyak pertentangan oleh beberapa kalangan karena  dianggap sebagai aturan yang  berbeda  yang akan mengganggu sistem ketatanegaraan. Namun demikian, apapun yang dibahas oleh pemerintah tentang kebijakan yang akan dilahirkan hendaknya melibatkan semua pihak yang terkait baik pemerintah, pengusaha dan buruh, serta  perlunya dibentuk suatu badan khusus yang tujuannya untuk mengonsolidasikan norma dan undang-undang  agar dapat  secara terencana dan tepat sasaran.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai permasalahan yang ada di RUU Ketenagakerjaan terlebih dahulu saya akan memberikan definisi upah menurut beberapa ahli. 

Menurut Hasibuan, mengemukakan bahwa upah adalah balas jasa yang diberikan  kepada para pekerja  harian dengan perpedoman pada perjanjian yang disepakati membayarnya [1].

Sedangkan menurut Soemarno, menyatakan bahwa gaji merupakan  imbalan kepada pegawai yang diberikan  atas tugas adminisitrasi dan pimpinan yang jumlahnya biasanya  tetap secara bulanan[2]. Sementara Mulyadi, menyatakan bahwa  gaji adalah pembayaran atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh pegawai yang mempunyai jabatan manajer [3]. 

Hal itu menunjukkan terdapat perbedaan pandangan mengenai definisi upah sebenarnya,namun inti dari definisi tersebut adalah kompensasi yang diberikan oleh pekerja dari para pimpinan perusahaan. 

Beberapa kebijakan sering terjadi kontroversi akibat ketidakadilan antara pekerja dan pimpinan. Seperti RUU Cipta Kerja yang membahas ketenagakerjaan sekarang dinilai sangat merugikan para pekerja dan sangat menguntungkan para pengusaha-pengusaha besar.

1. Upah ditentukan oleh gubernur

Upah minimum ditetapkan gubernur Upah minimum tidak diatur secara nasional. Pada pasal 89 Ayat 24 disebutkan, Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman[4]. Upah minimum tersebut dihitung dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hanya, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk industri kecil. 

Demikian pula untuk industri karya akan dibuat ketentuan tersendiri. Selain itu, pada pasal 89 Ayat 30 disebutkan bahwa pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas [5]. 

Hal itu mengindikasikan pemerataan terhadap kesejahteraan tidak dilihat,sebab ketika Upah Minimum ditentukan oleh para gubernur,hal itu memudahkan akan terjadinya kesepakatan ilegal tanpa adanya pengawasan pemerintah pusat dimana akan sangat merugikan para pekerja.

2. Ketentuan Pesangon

Ketentuan pesangon Saat terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib memberikan pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi buruh. Akan tetapi dalam kebijakan baru ini memberikan pemaknaan yang akan merugikan para pekerja. 

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur besaran pesangon maksimal 9 bulan dan dapat dikalikan 2 untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) jenis tertentu [6]. 

Total bisa mendapat 18 bulan upah, bakal dihilangkan.Tidak hanya itu, juga terdapat penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon dan/atau penghargaan masa kerja. Ketentuan tersebut akan dihilangkan jika RUU omnibus law telah disahkan. Pemerintah dinilai memiliki rencana memangkas pesangon menjadi tunjangan PHK sebesar 6 bulan upah.

3. Waktu Kerja

Pada pasal 89 Ayat 22 berisi perubahan dari pasal 79 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Isinya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja waktu istirahat wajib diberikan paling sedikit selama 30 menit setelah bekerja selama 4 jam, dan Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu[7]. 

Dalam point tersebut dinilai akan merugikan pihak buruh karena jam kerja para buruh akan semakin bertambah,sehingga buruh akan dipekerjakan layaknya mesin namun gaji mereka tidak sesuai apa yang mereka kerjakan. Padahal di UU sebelumnya waktu kerja ditentukan selama 6 hari kerja (7 jam/hari) atau 5 hari kerja (8 jam/hari). 

Adapun pada Pasal 77A ayat ayat (1) disebutkan pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu [8]. Hal ini dinilai  pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam. Bila dibandingkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja.

4. pembayaran upah bagi opekerja yang berhalangan.

Dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: (1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar [9]. Namun dalam omnibuslaw cipta lapangan kerja tidak mengatur mengenai besaran kewajiban pemberian kerja dalam memberi upah karyawan yang sakit atau izin ketika menikah hingga pasangan atau orangtuanya meninggal dunia. Hal itu dinilai tidak menghargai para pekerja sebab UU tersebut menghapuskan hak para pekerja dan seharusnya dalam omnibuslaw cipta lapangan kerja lebih memberikan upah yang sesuai ketika para pekerja sedang mendapatkan musibah.

[1]   M. Kadarisman, Manajemen Kompensasi, (Rajawali Pers, Jakarta:2012),

[2]   Lijan Poltak Sinambela, Manajemen Sumber Daya Manusia, (PT. Bumi Aksara, Jakarta : 2016)

[3]   Lijan Poltak Sinambela, Manajemen Sumber Daya Manusia, (PT. Bumi Aksara, Jakarta : 2016)

[4] Draft RUU Cipta Lapangan Kerja.

[5] Draft RUU cipta lapangan kerja.

[6] Draft Undang-undang ketenagakerjaan

[7] Draft Undang-undang ketenagakerjaan

[8] Draft RUU cipta lapangan kerja.

[9] Draft Undang-undang ketenagakerjaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun