Mohon tunggu...
Izzan faruqy azzahir
Izzan faruqy azzahir Mohon Tunggu... Jurnalis - Busy

seorang yang hanya merefleksikan bahan-bahan kontemplasi pada kolom kosong.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasilais, Pengejawantahan Chauvinisme?

18 Juni 2020   13:00 Diperbarui: 18 Juni 2020   12:56 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pancasila, Sebagai Central Of Ideology      

Dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara sudah sepatutnya kita mengetahui apa yang menjadi falsafah hidup dari sebuah negara yang kita tinggali bersama. Sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, sudah menjadi hal yang wajib untuk mengabsahkan nilai-nilai luhur Pancasila yang sudah menjadi dasar konstruksi ideologi bagi seluruh warga negara Indonesia.

Pancasila sudah lama melekat di dalam diri bangsa ini, kurang lebih sudah 75 tahun menjadi central of ideology (pusat ideologi) bagi siapa saja yang mengaku warga negara Indonesia. Ada beberapa pihak diantara kita yang mengafirmasi dirinya sebagai seorang nasionalis atau lebih tepatnya pancasilais.

Tetapi, sudahkah gelar yang diafirmasi itu dipertanggungjawabkan? Ataukah hanya bersandiwara di depan ruang publik?

Semoga, semua hipotesis tadi salah!

Pancasila, diciptakan para pendahulu bangsa dengan sarat akan makna yang dalam. Dari sila pertama sampai sila ke-lima diracik sedemikian rupa agar dapat merangkul seluruh komponen yang ada di dalam bangsa ini. Walaupun berbeda suku bangsa, agama dan bahasa, dengan Pancasila semua itu bisa terintegrasikan dengan baik di dalam satu lingkaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang solid.

Pancasila, sudah sepatutnya menjadi internalized value (nilai yang mendarah daging) di dalam jiwa dan raga kita sebagai warga negara Indonesia. Karena, pada hakikatnya Pancasila itu harus hadir dibawah alam sadar kita, tanpa harus kita sadari langsung dengan pancaindra. Nilai-nilai luhur yang diberikan Pancasila harus menjadi bahan refleksi bagi kita semua untuk senantiasa bisa membuktikan bahwa Pancasila itu adalah central of ideology (pusat ideologi) bagi kita untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasilais, Sudah Tentu Nasionalis?

Seseorang yang dikatakan sebagai pancasilais adalah seseorang yang benar-benar memahami dengan baik isi kandungan setiap kata yang terdapat di dalam butir-butir Pancasila. Dengan melakukan sumpah serapah untuk senantiasa setia mengaplikasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Tetapi, apakah seorang pancasialis sudah layak untuk  dikatakan sebagai seorang nasionalis juga?

Sudah tentu berbeda dalam menjajaki konteksnya, pancasilais hanya sebatas cinta dan setia pada Pancasila yang menjadi ajengannya. Sedangkan, nasionalis itu nilainya lebih tinggi daripada cinta dan setia terhadap Pancasila yang dianggapnya sebagai kekasih simbolis. Karena, seorang nasionalis akan mencintai negara yang dia tinggali secara spesifik maupun generalistik.

Lantas, bagaimana kita bisa menjadi seorang yang nasionalis? Mengaku kita sangat cinta NKRI di ruang publik? Bersikap angkuh dengan lambang Garuda di dada? Semua tindakan itu sangat tidak dibenarkan! Teringat kata-kata permisalan yang diucapkan oleh presiden pertama kita,

Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian

Permisalan yang diungkapkan oleh presiden pertama kita mengisyaratkan bahwa Pancasila itu adalah hal yang patut kita junjung bersama, karena nilai-nilainya yang sangat luhur. Jangan sampai, Pancasila malah dijadikan kambing hitam oleh pihak yang tak bertanggungjawab. Pancasila, tak boleh dijadikan simbol kepentingan personal tetapi hanya boleh dijadikan simbol kepentingan komunal (bersama). Sikap seorang nasionalis, tak akan pernah mengumbar jiwa nasionalismenya ke ruang publik, malah dia hanya akan menyimpannya di dalam gelapnya relung hati. Karena sikap itulah yang sebenarnya harus menjadi ciri khas seorang yang dikatakan nasionalis.

Ada oknum diantara kita yang sering berkata dengan lantangnya; Aku itu paham butir-butir Pancasila! Hidupku hanya untuk mengilhami Pancasila! Pancasila harus menjadi bagian dari hidupku! Orang seperti itu, sebenarnya bukan orang yang tulus mencintai negeri ini. Dia hanya menggunakan "cinta"nya itu untuk membuat dirinya terlihat jelas di ruang publik sebagai tokoh yang katanya tokoh nasionalisme negeri ini. Padahal, mereka hanya mengkampanyekan chauvinisme (cinta tanah air berlebihan) yang jelas-jelas sangat mengurangi nilai-nilai luhur yang  terkandung dalam butir-butir pancasila.

Cintailah Indonesia Apa Adanya

Negeri ini sangat membutuhkan dukungan warga negaranya untuk senantiasa bisa menjadi negara yang berkemajuan. Dengan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas negeri ini, seharusnya bisa membuat unique identity (identitas yang unik) dan dapat terimplikasikan disetiap sendi-sendi kehidupan masyarakatnya.

Kampanye tentang chauvinisme kiranya hanya menjadi khayalan publik yang selalu menggaungkan tentang cinta yang tak memiliki kepastian. Allah SWT pun tak suka apabila kita menjadi hamba yang berlebih-lebihan dalam suatu hal. Indonesia, tak butuh cinta yang mewah, Indonesia hanya butuh cinta yang alamiah. Karena, sesuatu yang mewah belum tentu bisa membuat kita bahagia, tetapi cinta yang alamiah sudah biasa membuat hati bahagia, karena terlahir dari relung hati yang tulus. Sama, Indonesia pun butuh kebahagiaan yang alamiah, sederhana tetapi membuat ruh kebangsaan menjadi lebih solid lagi.

Indonesia, merdeka dengan keadaan yang begitu sederhana. Ketika kolonial Belanda menjajah negeri ini dengan senjata laras panjang, tetapi Indonesia hanya memiliki bambu runcing yang diambil dari tanah-tanah yang ada diseluruh penjuru nusantara.

Lantas, mengapa negeri ini bisa merdeka dari zaman kolonial?

Jawaban yang pasti adalah spirit kebangsaan yang tak pernah pudar dari masing-masing jiwa masyarakat Indonesia pada saat itu. Itulah cinta yang harus dipersembahkan kepada ibu pertiwi, bukan cinta dalam kata-kata tetapi cinta dalam sukaduka maupun sukacita. Penulis mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia agar senantiasa tidak bersandiwara di depan panggung publik hanya demi eksistensi pribadi. Tetapi, kita sama-sama membangun peradaban yang go international bagi negeri ini untuk senantiasa mampu menjadikan Indonesia negara yang dikagumi oleh masyarakat global dalam berbagai sektor.

Salam sejahtera bagi kita semua! Semoga pikiran, hati dan tindakan kita tetap terjaga, jangan sekali-kali menjadi seorang pembual!    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun