assalamu'alikum wr. wb.Â
Dalam kesempatan ini, mungkin saya, sebagai penulis ingin sedikit mentransformasikan suatu hal yang bersifat kontemplatif ke dalam sebuah bait-bait puisi. Tak banyak, tetapi, harapan penulis dengan adanya sebuah kontemplasi ini, para pembaca dapat terus menggulingkan kebiasaan negatif yang terus melekat pada diri umat muslim sekarang.Â
Karena, pada era pos-modern ini begitu peliknya kita, tidak bisa memberikan sebuah justifikasi pada orang lain dengan kuatnya presisi. Hemat penulis, dengan hadirnya artikel bermutu dan berbobot di berbagai media, kita bisa mengetahui sebuah kondisi sosial-budaya khususnya pada lingkaran kultur islam.Â
Puisi ini adalah representasi sensibilita penulis yang diejawantahkan ke dalam entitas karya tulis. Tak guna kiranya, ketika hadir idealita tanpa adanya sensibilita. Karena, bermumpuni saja tidak cukup! Kita harus memiliki intuisi hati yang muncul ke permukaan. Â
Disaat semua berdebat, siapa yang benar?
Disaat semua berkelahi, siapa yang menang?
Disaat semua bergesekkan, siapa yang terluka?
Disaat semua berjanji, siapa yang hianat?
Itulah gambaran islam sekarang.
Islam yang dipenuhi dengan kebencian.
Islam yang dihubungkan dengan kepentingan perpolitikan.
Islam yang materialistik dan hedonistik.
Dimana keberadaan Islam sekarang?
Dimana peradaban yang dahulu dibangun?
Dimana substansi ajaran islam?
Dimana muslim yang benar islam?
Sekarang, banyak muslim yang bersembunyi.
Bersembunyi, dengan banyaknya ketakutan.
Ketakutan yang disebabkan dengan tantangan kecil.
Tantangan kecil itu, membuat mereka menciut.
Dengan banyaknya serangan imperialisme barat.
Seolah-olah kita sedang diperbudak.
Dengan adanya propaganda yang merusak.
Semua otak terbui olehnya.
Disaat islam sibuk mencela islamnya sendiri,
Disitulah imperialis barat bergerak.
Dengan banyaknya inovasi teknologi.
Juga pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Begitu beragamnya islam zaman sekarang.
Dengan perbedaan yang menjadi pemantik.
Pemantik segala peperangan.
Peperangan fisik, rasional, maupun ideologi.
Pendapat fikih yang berbeda, saya dikatakan sesat.
Pemilihan hujjah yang berbeda, saya dikatakan sesat.
Penafsiran ayat yang berbeda, saya dikatakan sesat.
Pemilihan rawi yang berbeda, saya dikatakan sesat.
Lantas, untuk apa al-qur’an dan al-hadits diturunkan?
Hanya untuk dijadikan pengantar tidur?
Atau untuk dijadikan pajangan rumah?
Ataukah, untuk dijadikan bahan eksistensi belaka?
Jelas, semua itu adalah pendistorsian sebuah hakikat.
Yang seharusnya hakikatlah yang dimunculkan kepermukaan.
Faktanya, bukan hakikat riil yang dimunculkan.
Melainkan, sebuah ilusi hakikatlah yang dimunculkan.
Mungkin, cukup untuk semua bait-bait itu. Sekarang, coba kita berkaca pada cermin yang memantulkan entitas diri kita. Apakah kita sudah layak dikatakan sebagai mandataris tuhan di muka bumi ini? Ataukah kita malah menjadi pelaku regresi moral?Â
Yah, kitalah yang tahu semua itu, jangan sampai kita memanipulasi hal yang harus kita buktikan secara empiris. Dan permasalahan kita, kita tak pernah mencerna makna integritas dalam diskursus ukhuwah islamiyyah secara objektif.Â
Kita selalu sragnan pada satu garis, bukannya bermilitan pada hal yag dinamis. Padahal, kebutuhan era pos-modern ini adalah fleksibilitas-realitas. Bukannya stagnanitas-realitas.Â
Salam! Kepada seluruh orang yang termasuk pada golongan ulul albab! Kritiklah, terkalah dan bacalah problematika di sekitarmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H