Kebebasan Pers di Indonesia
PentingnyaPengertian kebebasan pers itu mencakup dua hal. Pertama adalah struktur (freedom from) dimana kemerdekaan pers dipahami sebagai kondisi yang diterima oleh media sebagai hasil dari struktur tertentu. Negara disebut bebas apabila tidak ada sensor, bebas dari tekanan pada jurnalis, bisa independen di tengah pengaruh lingkungan ekonomi termasuk kepemilikan, tak ada aturan hukum yang mengekang kemerdekaan pers, bebas dari tekanan sosial dan politik. Yang ke Dua adalah performance (freedom to) dimana kebebasan pers juga diukur dari bagaimana cara pers menggunakan kemerdekaan tersebut. Misalnya apakah liputan media telah jujur dan adil (fair), mengungkapkan fakta yang sebenarnya, membela kepentingan publik, dan sebagainya.
Kemerdekaan pers (press freedom) merupakan satu sisi pada makna yang sama dengan kebebasan berekspresi. Kemerdekaan pers diakui merupakan jembatan yang memastikan hubungan antara kebebasan berekspresi dan demokrasi. Di Indonesia, UU No 40/ 1999 tentang Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah bagian dari hak asasi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi (poin menimbang UU No 40/1999). Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa kemerdekaan pers ada untuk demokrasi, keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain berfungsi memenuhi hak untuk tahu dan hak atas informasi, pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis.
Opini tentang Kebebasan Pers Di Indonesia
Situasi pers Indonesia di tengah iklim kemerdekaan pers ini betul-betul memprihatinkan. Para pemilik media dan juga pimpinan redaksi dapat berperan untuk mengembalikan jati diri dan fungsi pers dalam ikut mewujudkan cita-cita negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Antara lain memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan, bisnis, kepentingan umum. Dan yang terakhir adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Salah satu cara melihat pencapaian sebuah negara adalah dengan melihat indeks pencapaian yang dikeluarkan lembaga-lembaga internasional. Ada banyak lembaga yang mengeluarkan indeks pencapaian dengan masing-masing metodenya dalam mengukur dan menilai suatu negara. Freedom House, sebuah think-tank di Amerika Serikat, misalnya, dikenal sebagai lembaga yang punya reputasi tinggi dalam mengukur indeks kebebasan di dunia. Begitu juga, Reporters Sans Frontieres, sebuah lembaga berbasis di Prancis, dikenal sebagai organisasi berwibawa dalam menilai peringkat kebebasan pers.
Indonesia adalah salah satu negara yang selalu masuk dalam penilaian indeks pencapaian itu. Dari berbagai jenis indeks, sayangnya, pencapaian Indonesia belum terlalu menggembirakan. Baru-baru ini ada tiga indeks pencapain di mana Indonesia menempati urutan bawah, yakni indeks kebebasan ekonomi yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-114 (Fraser Institute), indeks persepsi korupsi pada urutan ke-110 (Transparency International Indonesia) dan indeks kebebasan pers pada urutan ke-117 (Reporters Sans Frontieres).
Kebebasan pers adalah bagian dari kebebasan berekspresi di mana kita mengalami penurunan yang serius. Pada awal-awal reformasi, kondisi kebebasan pers kita cukup baik. Berdasarkan laporan Reporters Sans Frontieres, pada 2002, Indonesia menduduki urutan ke-57. Gebrakan yang dilakukan Presiden Habibie dalam menghapus SIUPP dan dukungannya yang penuh pada reformasi bidang media membuat situasi pers kita cukup bagus. Namun, sejak 2004, pencapaian kebebasan pers kita mengalami penurunan. Keadaan itu sungguh ironis. Ketika kita masih menghadapi berbagai konflik dan upaya untuk konsolidasi akibat transisi politik, pencapaian kebebasan pers kita cukup bagus, namun ketika pemerintahan semakin stabil, pencapaian kebebasan pers kita justru menurun. Ada berbagai sebab yang membuat indeks pencapaian kita menurun. Salah satunya adalah munculnya aturan-aturan yang menghambat media dan banyaknya pelanggaran yang dilakukan aparat negara dan pemilik modal terhadap pekerja pers.
Undang-undang Pers kerap tak mampu menghadapi berbagai produk hukum baru dalam melindungi wartawan. Meskipun UU Pers mengakui hak-hak wartawan untuk mencari dan menyebarluaskan informasi, tidak ada aturan yang jelas menyangkut sanksi jika wartawan atau pekerja media mendapatkan perlakuan kasar atau kekerasan. Undang-undang yang ada sering kali merugikan pekerja media ketimbang mendukung mereka. Ada sekitar 20 pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur soal kerahasiaan negara, keamanan nasional, dan rahasia perdagangan, di mana wartawan akan kesulitan jika mereka ingin mengungkap isu seputar masalah ini. Dengan sangat mudah, mereka bisa terperangkap oleh aturan kerahasiaan yang dijamin undang-undang jika mereka tidak hati-hati berurusan dengan persoalan ini.
Regulasi-Regulasi Pemberitaan Di Indonesia
Undang-Undang Pers
Regulasi yang mengatur pers di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa: "Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia".
Secara umum, pers adalah seluruh industri media yang ada, baik cetak maupun elektronik. Namun secara khusus, pengertian pers adalah media cetak (printed media). Dengan demikian, Undang-Undang Pers berlaku secara general untuk seluruh industri media dan secara khusus untuk media cetak.
Sebagai penjabaran Undang-Undang Pers, juga ditetapkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) untuk wartawan/organisasi pers. KEJ telah diatur dalam Peraturan Dewan Pers No.6/Peraturan-DP/V/2008 tentang pengesahan SK Dewan Pers tahun 2006 tentang KEJ. Dalam KEJ 2006, kode etik wartawan / organisasi pers, berisi 11 pasal yang ditandatangani oleh 29 organisasi wartawan / perusahaan pers Indonesia.Â
Ada 4 Prinsip-prinsip KEJ yang penting untuk diketahui, antara lain:
- Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk (Pasal 1).
- Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik (Pasal 2).
- Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah (Pasal 3).
- Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani (Pasal 8).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H