Menurut Advent Sarbani, Koordinator Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Surabaya, hoaks merupakan permasalahan serius baik di kalangan nasional maupun sosial.Â
Konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta ujaran kebencian, menjadi alat mematikan dalam penyebaran berita bohong, apalagi menjelang tahun pemilu 2019. Advent menekankan perlunya pemerintah dan masyarakat dalam memerangi dan memprediksi bahaya hoaks dengan mengkomunikasikan berita yang akurat kepada publik (Riski, 2019).
Lebih lanjut, Pada 3 September 2021, Mafindo mengumumkan hasil berita bohong pengibaran bendera Merah Putih pertama yang terbuat dari sprei dan kain yang dibeli dari pedagang soto di akun Instagram @turnbackhoaxid. Mafindo mengunggah cuplikan bendera merah putih yang dikibarkan seseorang dengan judul Konten Menyesatkan.Â
Selain itu, Mafindo memuat muatan narasi yang menggambarkan bahwa bendera merah putih yang dikibarkan pada masa kemerdekaan terbuat dari sprei dan kain yang dibeli dari pedagang soto. Klarifikasi Mafindo ini menjadi unggahan terpopuler pada 28 Agustus hingga 3 September 2021 (Ati et al., 2023).
Berdasarkan statistik Mafindo, artikel penjelasan asal muasal bendera merah putih pertama mendapat 708 like, 45 komentar, dibagikan 304 kali, disimpan oleh 73 akun, dan dilihat oleh 14.377 orang. Dalam skenario ini, Mafindo menunjukkan bagaimana mereka memanfaatkan interaksionisme simbolik untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi hoaks, yang kemudian mereka bagikan di media sosial untuk mempromosikan literasi digital.Â
Menurut Mafindo, informasi atau berita yang menyesatkan dapat memicu perselisihan sosial, berdampak pada seluruh lapisan struktur sosial masyarakat dan mungkin berujung pada keruntuhan nasional. Mafindo adalah komunitas yang menganjurkan perang (Nurhadi & Muchtarom, 2020).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kelompok VI, Eko Juniarto, Presidium Divisi Pencari Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), menjelaskan bahwa Mafindo memiliki lima aktor: anggota, pemeriksa halus, pemeriksa fakta, koordinator, dan editor. Kelima pemain ini mempunyai peran dan fungsi yang sama dalam menyikapi hoaks.Â
Perannya adalah melakukan klarifikasi berita/informasi (benar atau salah), memposting berita yang dianggap hoaks/bohong, termasuk disinformasi (berita dengan penjelasan informasi yang tidak akurat/salah) disertai dengan berbagai sumber pendukung, dan memberikan edukasi (pengetahuan tentang hoaks, efek hoaks, dan sebagainya). Selain pekerjaan ini, koordinator dan editor memiliki tanggung jawab lain. Koordinator secara khusus bertanggung jawab untuk menanggapi pesan atau komentar media sosial. Jika ada anggota yang melaporkan hoaks, redaksi bertindak sebagai mediator (Satyawati et al., 2019).
Sehubung dengan permasalahan di atas, Mafindo telah berupaya untuk mengurangi dampak buruk dari informasi yang menyesatkan dengan melakukan program edukasi dan pengecekan fakta secara berkala. Namun solusi jangka panjang bukan sepenuhnya tanggung jawab mereka.Â
Koordinasi yang erat diperlukan antara pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya validasi kebenaran informasi sebelum dibagikan. Pemerintah mempunyai peran penting dalam mengembangkan peraturan yang membantu membatasi penyebaran hoaks.Â
Lebih jauh lagi, lembaga pendidikan harus memasukkan literasi informasi ke dalam kurikulumnya, mendidik generasi mendatang untuk menghadapi membanjirnya informasi di era digital. Di sisi lain, media berperan penting dalam menyampaikan informasi yang benar dan melakukan pengecekan fakta secara menyeluruh sebelum menyampaikan berita. Namun, tugas utama ada pada masyarakat. Kemampuan memilah informasi secara kritis dan cermat harus diutamakan. Semakin banyak orang yang diajari untuk memverifikasi informasi, semakin kecil kemungkinan hoaks menyebar dan merusak kepercayaan dan stabilitas masyarakat.