Di era digital yang semakin rumit saat ini, penyebaran informasi menyesatkan atau hoaks menjadi ancaman yang berbahaya. Mafindo, atau Masyarakat Anti Fitnah Indonesia, telah memimpin dalam memerangi penyebaran informasi palsu secara online.Â
Tugas penting mereka tidak hanya menjamin keakuratan informasi, namun juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi informasi dalam menghadapi situasi ini. Namun, kesulitan sebenarnya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya memverifikasi kebenaran informasi sebelum menyebarkannya.Â
Kemampuan untuk memverifikasi informasi menjadi semakin penting, terutama ketika teknologi memungkinkan siapa pun menyebarkan informasi tanpa prosedur verifikasi yang tepat. Hal ini mendorong meluasnya implementasi upaya pendidikan untuk meningkatkan kesadaran kritis dan literasi informasi di seluruh lapisan masyarakat.Â
Sekalipun Mafindo telah menjadi pionir dalam memerangi hoaks, hanya melalui kolaborasi dan dedikasi bersama kita dapat meningkatkan pertahanan informasi digital guna menciptakan masyarakat yang mengkonsumsi informasi secara cerdas.
Salah satu permasalahan utamanya adalah prevalensi dan penyebaran informasi yang tidak benar di platform media sosial. Berdasarkan jajak pendapat terbaru yang dilakukan oleh lembaga riset ternama, lebih dari 70% pengguna internet di Indonesia telah menjadi agen penyebaran hoaks tanpa verifikasi yang tepat.Â
Persoalan ini tidak hanya membingungkan, namun juga memecah belah dan membuat panik seluruh lapisan masyarakat. Lebih lanjut, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), 171,17 juta masyarakat Indonesia memanfaatkan internet, dengan mayoritas adalah wirausaha, konsultan, pedagang toko online, dan pelajar.Â
Ponsel pintar menyumbang 93,9% dari keseluruhan pengguna. Transmisi pesan dan penggunaan media sosial adalah aktivitas umum. Facebook dan Instagram adalah platform media sosial paling populer, masing-masing menyumbang hingga 50,7% dan 17,8%. Menurut Dailysosical.id, sebagian besar materi palsu diperoleh di platform Facebook, dan 44,19% dari seluruh responden tidak berpengalaman dalam mengenali hoaks (Maqruf, 2021).
Penyebab utama meluasnya penyebaran hoaks adalah kurangnya pemahaman tentang pentingnya verifikasi dan validasi informasi sebelum dipublikasikan.Â
Kemajuan pesat teknologi komunikasi memungkinkan siapa pun dengan mudah mengirimkan informasi tanpa prosedur pemeriksaan yang tepat. Situasi ini menggarisbawahi pentingnya mengambil upaya cepat dan efektif untuk meningkatkan literasi informasi masyarakat.Â
Menurut Advent Sarbani, Koordinator Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Surabaya, hoaks merupakan permasalahan serius baik di kalangan nasional maupun sosial.Â
Konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta ujaran kebencian, menjadi alat mematikan dalam penyebaran berita bohong, apalagi menjelang tahun pemilu 2019. Advent menekankan perlunya pemerintah dan masyarakat dalam memerangi dan memprediksi bahaya hoaks dengan mengkomunikasikan berita yang akurat kepada publik (Riski, 2019).
Lebih lanjut, Pada 3 September 2021, Mafindo mengumumkan hasil berita bohong pengibaran bendera Merah Putih pertama yang terbuat dari sprei dan kain yang dibeli dari pedagang soto di akun Instagram @turnbackhoaxid. Mafindo mengunggah cuplikan bendera merah putih yang dikibarkan seseorang dengan judul Konten Menyesatkan.Â
Selain itu, Mafindo memuat muatan narasi yang menggambarkan bahwa bendera merah putih yang dikibarkan pada masa kemerdekaan terbuat dari sprei dan kain yang dibeli dari pedagang soto. Klarifikasi Mafindo ini menjadi unggahan terpopuler pada 28 Agustus hingga 3 September 2021 (Ati et al., 2023).
Berdasarkan statistik Mafindo, artikel penjelasan asal muasal bendera merah putih pertama mendapat 708 like, 45 komentar, dibagikan 304 kali, disimpan oleh 73 akun, dan dilihat oleh 14.377 orang. Dalam skenario ini, Mafindo menunjukkan bagaimana mereka memanfaatkan interaksionisme simbolik untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi hoaks, yang kemudian mereka bagikan di media sosial untuk mempromosikan literasi digital.Â
Menurut Mafindo, informasi atau berita yang menyesatkan dapat memicu perselisihan sosial, berdampak pada seluruh lapisan struktur sosial masyarakat dan mungkin berujung pada keruntuhan nasional. Mafindo adalah komunitas yang menganjurkan perang (Nurhadi & Muchtarom, 2020).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kelompok VI, Eko Juniarto, Presidium Divisi Pencari Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), menjelaskan bahwa Mafindo memiliki lima aktor: anggota, pemeriksa halus, pemeriksa fakta, koordinator, dan editor. Kelima pemain ini mempunyai peran dan fungsi yang sama dalam menyikapi hoaks.Â
Perannya adalah melakukan klarifikasi berita/informasi (benar atau salah), memposting berita yang dianggap hoaks/bohong, termasuk disinformasi (berita dengan penjelasan informasi yang tidak akurat/salah) disertai dengan berbagai sumber pendukung, dan memberikan edukasi (pengetahuan tentang hoaks, efek hoaks, dan sebagainya). Selain pekerjaan ini, koordinator dan editor memiliki tanggung jawab lain. Koordinator secara khusus bertanggung jawab untuk menanggapi pesan atau komentar media sosial. Jika ada anggota yang melaporkan hoaks, redaksi bertindak sebagai mediator (Satyawati et al., 2019).
Sehubung dengan permasalahan di atas, Mafindo telah berupaya untuk mengurangi dampak buruk dari informasi yang menyesatkan dengan melakukan program edukasi dan pengecekan fakta secara berkala. Namun solusi jangka panjang bukan sepenuhnya tanggung jawab mereka.Â
Koordinasi yang erat diperlukan antara pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya validasi kebenaran informasi sebelum dibagikan. Pemerintah mempunyai peran penting dalam mengembangkan peraturan yang membantu membatasi penyebaran hoaks.Â
Lebih jauh lagi, lembaga pendidikan harus memasukkan literasi informasi ke dalam kurikulumnya, mendidik generasi mendatang untuk menghadapi membanjirnya informasi di era digital. Di sisi lain, media berperan penting dalam menyampaikan informasi yang benar dan melakukan pengecekan fakta secara menyeluruh sebelum menyampaikan berita. Namun, tugas utama ada pada masyarakat. Kemampuan memilah informasi secara kritis dan cermat harus diutamakan. Semakin banyak orang yang diajari untuk memverifikasi informasi, semakin kecil kemungkinan hoaks menyebar dan merusak kepercayaan dan stabilitas masyarakat.
Opini ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menangani kekhawatiran hoaks dan perlunya kolaborasi lintas sektor dalam memerangi ancaman informasi palsu. Di era dimana informasi bergerak dengan cepat dan rumit, upaya untuk menjaga masyarakat dari dampak buruk informasi yang tidak benar harus diutamakan. Mafindo telah muncul sebagai salah satu landasan awal dalam memerangi fenomena ini, namun komitmen dan koordinasi yang lebih kuat dari berbagai pemangku kepentingan masih diperlukan agar pemberantasan hoaks dapat berjalan efektif.Â
Pentingnya mengenali penyebaran hoaks dan berupaya mencegahnya telah menjadi titik fokus dalam dinamika informasi saat ini. Menyebarkan informasi yang tidak benar mempunyai dampak buruk tidak hanya terhadap iklim sosial, kepercayaan masyarakat, dan bahkan stabilitas suatu negara. Oleh karena itu, upaya penyelesaian permasalahan ini tidak dapat diselesaikan secara individual, melainkan melalui kolaborasi antar sektor masyarakat.
Kesimpulannya, semua pihak terkait harus bekerja sama untuk memerangi hoaks. Mafindo telah mengambil langkah awal yang penting dalam memerangi penyebaran informasi palsu, namun hanya dengan kerja sama tim yang kuat dan komitmen bersama kita dapat maju menuju budaya yang cerdas dalam mengonsumsi informasi dan bebas dari dampak buruk hoaks. Komitmen terpadu ini akan menjadi landasan yang kuat untuk menciptakan ketahanan terhadap ancaman informasi yang menyesatkan di lingkungan digital yang semakin rumit saat ini.
Penulis
Izmi Istiqomah, mahasiswi dengan NIM 11210511000113 semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Referensi
Ati, R. M., Rhangga, A., & Anggraini, P. (2023). Literasi Digital Sebagai Upaya Kritis Memerangi Berita Bohong: Studi Terhadap Gerakan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Jurnal JTIK (Jurnal Teknologi Informasi Dan Komunikasi), 7(3), 420--429. https://doi.org/10.35870/jtik.v7i3.873
Maqruf, R. D. (2021). Bahaya Hoaks Dan Urgensi Literasi Media: Studi Pada Mafindo Solo Raya. Academic Journal of Da'wa and Communication, 2(1), 121--150. https://doi.org/10.22515/ajdc.v1i1.3273
Nurhadi, A. M., & Muchtarom, M. (2020). Developing civic responsibility in the community through the social community "Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). 3rd International Conference on Learning Innovation and Quality Education (ICLIQE 2019).
Riski, P. (2019). Berita Hoaks Ancaman Serius pemersatu Bangsa Memasuki Tahun Politik.
Satyawati, N. P., Utari, P., & Hastjarjo, S. (2019). Fact Checking of Hoaxes by Masyarakat Anti Fitnah Indonesia. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, 6(6).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H