Dalam beberapa hari kebelakang, netizen terkhusus Palembang diramaikan oleh sebuah petisi di laman change.org yang mengusung penolakan terhadap rencana pembongkaran Pasar Cinde dan rekonstruksi menjadi 12 lantai dengan beragam peruntukan seperti pasar modern dan apartemen. Penolakan yang didukung oleh berbagai aliansi dan akademisi ini sejatinya bukan menolak pembangunan Pasar Cinde itu sendiri, tetapi menyayangkan karena harus menghancurkan arsitektur awal yang sudah dianggap bersejarah. Di dalam petisi itu juga diterangkan alasan penolakan dari berbagai aspek yaitu arsitektural, arkeologis-historis, dan antropologis. Kesemua alasan yang dituangkan lagi-lagi menekankan bahwa Pasar Cinde meskipun belum menjadi Cagar Budaya, tetapi sudah patut menjadi warisan leluhur yang juga menjadi landmark kota.
Sejalan dengan permasalahan diatas, timbul pertanyaan baru yang menarik, mau dibawa kemana pembangunan Kota Palembang?
Kita semua tahu bahwa Palembang tengah gencar mempromosikan diri sebagai Kota Internasional, city branding yang menjadi rencana tata pembangunan kedepannya. Namun menjadi menarik perhatian bagi penulis ialah ketika brand ini diangkat, nampak pembangunan di kota ini justru kebablasan tanpa ‘benang merah’. Istilah ‘benang merah’ yang penulis maksudkan disini ialah acuan pembangunan berdasarkan identitas kota. Ya, sebuah kota pasti memiliki identitasnya masing-masing, termasuk Palembang.
Pertanyaan kembali muncul, apa saja identitas kota berpenghuni lebih dari 1,7 juta jiwa ini? Sebelumnya mari kita pahami dulu makna identitas kota. Menurut Kevin Lynch dalam buku The Image of The City (1960) dikatakan bahwa identitas kota mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan objek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri. Lebih lanjut dijelaskan bahwa identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu, yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri.
Secara ringkas bahwa identitas kota merupakan karakter sebuah kota yang akhirnya menciptakan kesan atau sensasi tersendiri bagi manusia yang ada didalamnya. Dapat diibaratkan jika ada seorang pendatang, ia akan melebur dengan kota tersebut. Karakter ini tidak semata dari bangunan fisik, tetapi juga termasuk kehidupan sosial, kebudayaan, perekonomian, aktivitas spiritual, kesejarahan dan peninggalannya, bahkan warisan kuliner.
Kembali kepertanyaan ‘apa saja identitas Kota Palembang?’. Secara fisik pasti sebagian besar kita akan menjawab Jembatan Ampera dan Sungai Musi, serta pempek yang menjadi kuliner kebanggan. Tetapi jika digali lagi, maka kita tak bisa melupakan bahwa Palembang adalah kota tertua di Indonesia serta pusat pemerintahan kerajaan maritim kenamaan, Sriwijaya. Kedua hal ini juga menjadi identitas kota yang sangat kuat jika diangkat dan dikembangkan.
Coba bayangkan saja, sebagai kota tertua di Indonesia, dimana kita bisa merasakan nuansa kota tua tersebut? Dimana jika sesorang datang, ia akan merasa masuk kedimensi lain yang memberikan sensasi ia berada di sebuah kota pusaka, kota yang lahir lebih dari 1.300 tahun lalu.
Sama halnya dengan sejarah Kerajaan Sriwijaya, begitu bangganya kita menyebut kota ini dengan sebutan ‘Bumi Sriwijaya’ tetapi kita sendiri tidak merasakan sisa kemahsyurannya dalam kehidupan keseharian. Jika kita kedatangan wisatawanpun, mungkin kita hanya mampu mengajaknya ke Bukit Siguntang atau Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya untuk mengenalkan Kerajaan Sriwijaya pada mereka, tapi kondisinya? Jauh dari kelayakan untuk sebuah tempat wisata bernilai sejarah atau dengan kata lain masih jauh dari kata menarik untuk disambangi. Inilah yang menjadi pembeda Palembang dengan daerah wisata lain. Jika wisatawan yang datang ke Palembang, kemungkinan besar mereka hanya datang satu kali, tidak ada ketertarikan besar untuk datang kedua kalinya untuk berwisata ulang ditempat yang sama. Bedakan dengan Bali dan Jogja dimana satu orang bisa terus menerus datang seolah tidak ada istilah bosan dalam kamusnya.
Tak bisa dipungkiri pula bahwa memang peninggalan tua termasuk era Kejayaan Sriwijaya di kota ini sangat minim dan masih banyak yang belum digali. Namun sayangnya, kondisi ini diperparah dengan pembangunan kota yang tak berkarakter. Dampak modernitas dengan pola pikir dangkal, dimana menyematkan identitas ‘Internasional’ berarti melakukan pembangunan berarsitektur modern berdesain instan menjadikan kota peraih Adipura 7 tahun berturut ini terasa sama saja dengan kota-kota besar lainnya.
Penulis tentu tidak antipati terhadap pembangunan kota, justru penulis sangat mendukung dan siap mensukseskannya, hanya saja menurut pandangan pribadi, pembangunan yang selama ini dilakukan bukan membuat Palembang semakin nyaman sebagai sebuah wadah hidup bercita rasa tradisional, tetapi justru terbangun tanpa kendali, tanpa jati diri. Satu contoh ialah dengan pembongkaran ikon Bundaran Air Mancur di tahun 2013 silam dan menggantikannya dengan ikon baru berupa tugu peringatan sea games 2011.Â
Tanpa bermaksud mengecilkan desainer tugu baru, namun bagi penulis perombakan yang dilakukan di titik nol Kota Palembang itu nampak tidak tepat. Ikon/tugu lama yang berupa simbol daun teratai bertingkat di bagian tengah dan 5 tugu serupa berukuran lebih kecil disekitarnya sudah sangat melekat bagi warga Palembang. Bentuknya yang lebih etnik, sangat jelas melambangkan kekayaan budaya kota yang sempat berjuluk ‘venice from the east’ ini. Terlepas dari pandangan desainnya, simbol teratai pada tugu yang dibangun tahun 1970an tersebut merupakan simbol sejarah bagi tanah Sumatera Selatan. Teratai merupakan lambang dari kemaharajaan Kerajaan Sriwijaya, bahkan bunga air tersebut juga dipakai sebagai logo dari Provinsi Sumatera Selatan sendiri.
Pembangunan lain baik berupa gedung-gedung bertingkat hingga ruang publik juga lagi-lagi bernasib sama, semua terbangun tanpa memberikan ciri ke-Palembang-annya alias seragam dengan kota lain. Bangunan-bangunan kolonial masih banyak yang terbengkalai, peninggalan sejarah tidak optimal direvitalisasi, bahkan ketika sudah dipugarpun justru tidak ada pengelolaan yang baik. Kini, kasus Pasar Cinde seolah menjadi titik balik perhatian stakeholder terhadap pembangunan kota yang dirasa mulai kebablasan mengartikan sebuah kemajuan kota.
Oleh karena itu, penting rasanya pemerintah dan pengembang dapat duduk bersama dengan masyarakat pemerhati sebelum menentukan keputusan terkait pengembangan kota. Tak bisa dipungkiri, pertimbangan ekonomi seringkali menjadi paradigma utama yang diambil, namun hal tersebut harus selalu diimbangi dengan faktor lain sebelum wajah kota benar-benar tak berjati diri lagi, yang dalam waktu panjang akan berpengaruh pada menurunnya kualitas kehidupan ekosistem manusia didalamnya. Jangan sampai pula brand Kota Internasional hanya sebagai embel-embel kosong yang disematkan tanpa ada perencanaan matang dan keberlanjutan.
Mengapresiasi sejarah dan memaknai budaya dengan sebenarnya, harus menjadi landasan tatanan pembangunan kota yang ramah, tidak hanya bagi penduduk aslinya tetapi juga bagi wisatawan yang datang. Jika semua aspek ini tidak juga diperhatikan, lantas mau dibawa kemana lagi pembangunan Palembang kedepannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H