Tuhan, apakabar?
Waktu aku bertanya seperti ini, sebenernya aku berharap Engkau yang menanyakan kabar aku.
Apakabar anak-Ku?
Tidak baik, Tuhan. Di hadapanMu aku tidak bisa berbohong.
(Dalam hati sudah menerka responNya setelah ini)Â
Jangan khawatir, anak-Ku.
Sudah terlanjur, Tuhan. Semua tuntutan hidup, masa laluku yang masih membayang, kesalahan-kesalahan dalam keputusan yang aku buat, bahkan situasi dan kondisi dunia yang menakutkan sudah membuat jalan bagi kekhawatiran berkuasa dalam pikiranku.
Mari berikan itu kepadaKu.Â
Aku malu Tuhan, karena semua kesalahan yang terjadi seringkali bukan karena ketidaktahuan aku, tapi kebanyakan karena tidak tanyakan kepadaMu dan tidak sungguh-sungguh menyerahkan semua kepadaMu.
Tidak perlu menunggu untuk mengakui kesalahanmu.Â
Ampuni aku, Tuhan. Atas kedegilan hatiku. Kesombonganku. Kelalaianku. Kerakusanku. Kedaginganku. Kemalasanku. Kekhawatiranku. Atas semua hal yang telah merobohkan mezbah yang kubangun untukMu.
Aku mengasihimu, anak-Ku.Â
Aku juga mengasihiMu, Tuhan. Engkau kekuatanku. Engkau pertolonganku. Engkau sukacitaku. Engkau kehidupanku.
Janji-Ku telah teruji. Walau pohon anggur tidak berbuah, ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, tapi lihatlah kakimu tetap kuat, hatimu tetap bersorak-sorak.Â
Hatiku sungguh bersorak-sorak, Tuhan. Hidupku dipulihkan. Aku tahu sekarang semua hal yang sudah kuserahkan padaMu menjadi URUSAN-MU. Aku menanti-nantikan dalam kesesakan dan itu mendidik aku menjadi setia dan siap menerima kemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H