Kesultanan Bima, salah satu kerajaan besar di Nusantara, memiliki sejarah panjang dalam perjalanan bangsa menuju kemerdekaan. Pada era perjuangan, Bima menjadi saksi penting dari persatuan, keberanian, dan komitmen untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Restu Sultan untuk Indonesia
Tahun 1933 menjadi momen penting dalam hubungan antara Kesultanan Bima dan perjuangan kemerdekaan. Ir. Soekarno, sebagai tokoh sentral perjuangan, datang kepada Sultan Bima, Sultan Muhammad Salahuddin Ruma Ta Ma Kaki'di Agama, untuk meminta restu bergabungnya Kesultanan Bima ke dalam negara yang sedang dirintis.
Pada Januari 1934, Soekarno tiba di Bima menggunakan pesawat amphibi USA Aircraft Catalina. Meskipun dalam perjalanan perjuangannya ia harus diasingkan ke Ende, wilayah yang juga berada di bawah naungan Kesultanan Bima, pertemuan dengan Sultan menunjukkan keyakinan yang kuat bahwa Bima akan memainkan peran strategis dalam perjuangan nasional.
Pembentukan BKR dan Pengambilalihan Kekuasaan
Pada masa penjajahan Jepang, Sultan Muhammad Salahuddin menunjukkan kepiawaian dalam memimpin rakyatnya. Pada 1942, beliau membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan mengikutsertakan Laskar KAE, Laskar API, dan KRI Tente sebagai bagian dari kekuatan lokal.
Puncaknya, pada 5 Maret 1942, Sultan memutuskan untuk mencabut dan mengambil alih kekuasaan Belanda di wilayah Bima. Tindakan ini merupakan langkah tegas dalam memutus belenggu penjajahan dan menunjukkan keberanian rakyat Bima untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kisah Bendera Merah Putih
Oktober 1945 menjadi saksi penting ketika dua perwakilan pemuda Bima asal Samili Kae, Nur Husain (18 thn) dan Abubakar Abbas (18 Thn) Â menerima bendera Merah Putih dari Bung Karno di Singaraja, Bali. Bendera tersebut dibawa kirab menggunakan perahu, melalui rute Singaraja-Lombok-Sumbawa-Sila Rato-Tente-Dara-Pena Nae, sebelum akhirnya diterima oleh Laskar KAE, Laskar API, dan KRI Tente.
31 Oktober 1945, Sultan Muhammad Salahuddin memimpin upacara pengibaran bendera Merah Putih di Istana Kesultanan Bima. Momen ini menjadi simbol kuat integrasi Bima dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Maklumat Kesultanan dan Perlawanan Melawan Jepang
Pada 22 November 1945, Sultan mengeluarkan maklumat bahwa Kesultanan Bima bergabung dengan NKRI sebagai Daerah Istimewa. Keputusan ini mencerminkan komitmen Kesultanan Bima untuk mendukung penuh Indonesia merdeka.
Namun, perjuangan tidak berakhir di situ. Pada 26 Desember 1945, terjadi pertempuran sengit di Tente Kae antara pasukan Laskar KAE dan KRI Tente melawan sisa-sisa kekuatan Jepang. Setelah pertempuran yang penuh strategi dan keberanian, Jepang menyerah, dan tawanan diserahkan kepada BKR serta pasukan Australia di Lawa Ta.
Kunjungan kedua Presiden Soekarno ke Bima
Tanggal 30 November 1950, Presiden Soekarno kembali mengunjungi Bima. Kedatangan Bung Karno disambut dengan lagu Indonesia Raya dan Kullu na lil Wathan, Lil Ula lil Alam yang dipimpin oleh Tuan Guru H. A. Ghany Masykur.
Dalam kunjungan tersebut, Sultan Muhammad Salahuddin menyampaikan pidato yang memukau, penuh dengan kekuatan sastra dan semangat perjuangan. Pidato ini menunjukkan kebijaksanaan beliau sebagai pemimpin sekaligus penjaga kearifan lokal.
Pidato Sultan Muhammad Salahuddin
"Paduka yang mulia,
Rindu yang meluas ini bukan baru sekarang saja timbulnya, akan tetapi sejak ledakan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Pada saat ketika mana terbayanglah di muka Kami rakyat di sini wajah bapak-bapak pemimpin kita, Bung Karno dan Bung Hatta, yang sedang memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.
Lalu pada saat itu juga tertanamlah dalam jiwa rakyat di sini arti Proklamasi yang harus dijunjung tinggi, harus dipertahankan, dan harus dimiliki itu.
Sehingga pada tanggal 22 November 1945, kami di Kesultanan Bima ini mengeluarkan pernyataan bahwa: DAERAH KESULTANAN BIMA MENJADI DAERAH ISTIMEWA YANG LANGSUNG BERDIRI DI BELAKANG REPUBLIK INDONESIA."
Warisan Sejarah untuk Generasi Bangsa
Kesultanan Bima tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa. Semangat Sultan Muhammad Salahuddin dan rakyatnya adalah cerminan dari keberanian, pengorbanan, dan cinta tanah air.
Semoga perjuangan ini terus menginspirasi kita untuk menjaga persatuan dan membangun Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H