“Ya, aku Sudrajat Hidayat yang suka nyontek setiap ujian dulu,” jawabnya menegaskan ingatanku, sambil merangkul pundakku membuka pintu depan sedan.
Sepanjang perjalanan, ia tidak henti-henti menceritakan kisah hidupnya selama tidak bertemu denganku. Ia mengaku kecewa dengan teman seperjuangnya yang menggadaikan idealismenya untuk bisa hidup layak.
“Kata Ronggo Warsito, ini zaman edan, Bung. Mau edan gak tahan, gak edan gak kebagian,” kilahnya.
Sejak berlaku Sudra, ia mengaku hubungan dengan keluarganya tidak akur, dan kuliahnya hancur. Waktunya habis untuk membangun mimpi-mimpi ideologinya. Menyadarkan kaum sudra untuk memahami akan hak-haknya yang dirampas. Juga menyadarkan kalangan menengah akan keberpihakan pada kaum sudra. Untuk aktivitas itu, tidak jarang ia berpindah tempat, bahkan meski berteman dengan segala keterbatasan. “Aku tidak kuasa melawan keadaan. Meski harus sikut sana, sikut sini, persetan. Dengan banyak uang, aku jadi banyak berbuat,’ kilahnya lagi, sebelum aku memberondong pertanyaan akan komitmen keberpihakannya yang kerap diagungkannya dulu.
Sudra yang kukenal kini tidak lagi seperti dulu. Ia sudah menjelma bak brahmana. Tapi, sebrahmana apapun dia sekarang, aku tetap memanggilnya Sudra. Bukan Drajat ataupun Dayat. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H