Mohon tunggu...
Iyan Jibroil
Iyan Jibroil Mohon Tunggu... karyawan swasta -

jika hidup ini tak selaras dengan mimpi, maka janganlah berhenti, teruslah berlari karena hidup tak mengenal kompromi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Istri Seperti Hujan!

28 Desember 2012   07:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:54 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu setelah kita membahas berbagai persoalan hidup kita, ekonomi yang pas-pasan, uang sekolah anak yang belum terbayar, uang listrik yang terus nunggak, dan uang belanja yang tak pernah penuh kuberikan kepadamu, engkau hanya tersenyum dan memberikan satu solusi yang susah ku mengerti “Mari kita bersyukur suamiku, dan mari kita beristighfar, Allah menyimpan sesuatu yang lebih indah dari semua solusi yang ada di dunia ini, mari kita shalat dulu, kita memujiNya seindah nafas yang terus kita hembuskan,”.

Lalu tiba-tiba kamu turun mencium bunga mawar yang baru mekar, menghisap aroma melati yang masih segar, “aku ingin membawa bau harumnya dalam shalatku” ucapmu ketika itu. Sementara aku hanya memandang bintang-bintang yang bertebaran di langit, memandang purnama yang cerah sempurna. “aku akan membawa keindahan dan keagungan Penciptanya dalam shalatku” ucapku ketika itu kepadamu. Kamu hanya tersenyum begitu manis. Lalu kita berdua bersujud syukur atas anugerah keindahan malam ini.

“Ya Allah..... Ya Rabbi... Ya.... Rahman.... Ya.... Rahim.... Irhamna....Irhamna....Irhamna....!!” ucapmu tiba-tiba. “Ya Allah perkenanlah kami hambaMu yang hina, yang lemah, yang bodoh, dan yang penuh dosa ini menghadapMu ya Rabbi, Sungguh hanya Engkaulah yang kami tuju dan RidhaMu-lah yang kami Cari” sambungku. Dan entah kenapa tiba-tiba kudengar engkau terisak tangis, dan aku diam-diam meneteskan air mata. Tapi aku tetap memulai sholatku.

“Allahu Akbar......” kalimat takbir itu benar-benar menghujam kalbuku, mengutuk segala kesedihan yang kurasa, kemudian berganti dengan rasa keindahan yang tiada tara, aku tak tahu aku berada di mana yang aku tahu engkau dibelakangku jadi makmumku.

Lantunan ayat-ayat suci yang kubacakan dengan lembut menggetarkan seluruh tubuhku, air mataku tumpah, dingin dan tampak bening. Aku tak tahu, malam itu suaraku sepertinya sangat merdu, huruf demi huruf, kalimat demi kalimat dan ayat demi ayat seakan-akan seperti hujan yang mengguyur bumi memberikan kesejukan yang tak terkira dalam hatiku. Padahal aku tahu suaraku tak merdu, tapi malam itu kau mengatakan seperti suara seruling nabi daud.

Entah kenapa malam itu kita tak ingin mengakhiri shalat kita, dan engkaupun terus menjadi makmumku. Aku tak ingat berapa rakaat malam itu kita shalat, tapi kau mengatakan kita shalat sudah 24 rakaat, namun aku kira kita baru shalat 8 rakaat. “itulah keindahan suamiku, kita sudah merasakannya melalui shalat kita, mari kita bersujud syukur atas nikmat ini suamiku, karena nikmat terbesar bagi seorang muslim adalah semangat mereka ketika mau shalat, kekhusu’an hati mereka saat shalat, dan keindahan yang dirasakan usai mereka shalat”, ucapmu.

Lalu kamu pergi melangkah dengan anggun kedalam rumah dengan mukenamu yang tampak cerah, dan membawakan aku secangkir kopi, sementara tangan kirimu masih tergenggam tasbih yang terus kau putar perlahan. Tiba-tiba kau rebahkan kepalamu dipangkuanku dan ku dengar bibirmu senantiasa berucap “subhanallah”, sementara aku menghirup kopi manis itu dengan tegukan kalimat “Alhamdulillah,”.

Tiba-tiba kau menangis dan air matamu membasahi pangkuaku, “kenapa kamu menangis istriku..?” tanyaku ketika itu. “karena aku tak tahu cara bersyukur atas anugerah yang terindah yang telah diberikan oleh Allah kepadaku,” jawabmu kala itu sambil menatapku penuh kelembutan. “anugerah apa itu istriku,” tanyaku. Namun engkau hanya diam dan menatapku penuh keharuan. “DIRIMU SUAMIKU,” jawabmu singkat.

Aku terperanjat mendengar jawabanmu, aku kaget dan aku tertegun sepertinya kau membangunkan kesadaranku yang telah lama tertidur, lalu aku hanya memelukmu dan kita menangis bersama sementara kalimat tasbih dan tahmid senantiasa terucap dari bibir kita berdua. “YA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG, KAMI MENYAYANGIMU MAKA KASIHINILAH KAMI”.

“Malaikat sedang tersenyum melihat kita suamiku” ucapmu tiba-tiba melepas kesunyian kita berdua. “Memangnya kamu pernah lihat malaikat?” tanyaku. “belum pernah”, jawabmu singkat, “lalu dari mana kamu tahu malaikat sedang tersenyum?,” tanyaku lagi.

Tiba-tiba kamu mempererat pelukanmu. “Anggaplah demikian suamiku, berbaik sangka itu tak pernah menyakitkan kan?” jawabmu yang tiba-tiba menatapku sambil tersenyum manis. “em kalau begitu, Allah sedang memeluk kita Istriku,” jawabku sembari mememlukmu kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun