Mohon tunggu...
Andi Sitti Mariyam
Andi Sitti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang Ibu, peminat pendidikan dan pemerhati sekitar :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perlukah Impor Guru?

13 Mei 2019   12:27 Diperbarui: 13 Mei 2019   12:33 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: SoreangOnline.com

Benarkah Indonesia kekurangan SDM berkualitas mengisi posisi guru di sekolah-sekolah? Lalu apakah Indonesia juga tidak memiliki trainer yang mumpuni untuk melatih guru lokal? Jika impor guru dilakukan apakah serta merta meningkatkan kualitas guru kita?

Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terus melintas dalam benak kita sejak rencana menteri Puan impor pendidik dari luar negeri tersebar di media. Respon yang sering muncul adalah kenyataan jumlah sarjana pendidikan yang besar sementara guru honorer masih banyak yang belum jelas nasibnya. Jadi mengapa harus impor guru atau pelatih guru dari luar negeri?

Ibu Menteri Puan Maharani yang terhormat, berikut beberapa tanggapan saya:

Pertama, mendatangkan guru impor untuk sekolah-sekolah Indonesia kedengarannya bagus, tapi bisa jadi tidak menyentuh inti masalah. Kualitas guru ditentukan sejak rekrutmen awal. Siapa yang mendaftar menjadi guru? Apakah lulusan-lulusan terbaik dari universitas-universitas terbaik sudah berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi guru?

Kalau mau ditarik lebih ke belakang, apakah lulusan SMU dengan nilai yang sangat baik akan memilih Universitas pendidikan sebagai pilihan pertama? Saya menilai belum. Jurusan pendidikan belum menjadi jurusan terfavorit dan profesi guru belum menjadi profesi terfavorit. SDM dengan kualitas terbaik belum menjadikan sektor pendidikan terutama guru sebagai jalan hidupnya. Inilah sebab paling mendasar dari masih belum meratanya kualitas guru kita.

Sederhana saja, karena profesi guru belum menjadi pilihan yang menggiurkan terutama dalam hal pemenuhan kesejahteraan hidup. Adanya kenaikan gaji guru dari waktu ke waktu dan sertifikasi memang bagus, tapi belum cukup membuat para lulusan terbaik SMU memilih Universitas pendidikan sebagai pilihan pertama dan membuat lulusan terbaik dari universitas ternama memilih profesi sebagai guru. Mereka misalnya lebih memilih jurusan-jurusan teknik, kedokteran, hukum dan ketika lulus lebih memiih bekerja sebagai pegawai BUMN, perusahaan-perusahaan besar atau pegawai bank.

Mengapa? 

Karena gaji pertama seorang guru masih belum memadai untuk kebutuhan riil sehari-hari. Tambahan tunjangan melalui sertifikasi guru baru bisa didapatkan setelah mengabdi sekian tahun, dan harus mengantri dengan guru-guru yang lebih senior. Selain itu, menjadi guru di awal kadang tidak langsung menjadi PNS. Ya, mereka harus menjadi guru honorer dulu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Itu situasi sekolah-sekolah negeri. Keadaan di sekolah swasta tidak jauh berbeda.

Beberapa sekolah sudah memberikan gaji yang layak untuk seorang guru yang baru masuk, namun tidak sedikit sekolah yang membayar gaji guru bahkan masih dibawah UMR. Kejadian ini ternyata tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah dengan uang masuk dan SPP yang murah, namun juga terjadi di sekolah-sekolah elit berbiaya tinggi. Wali murid membayar mahal untuk pendidikan anak-anaknya, namun pengelola sekolah masih belum memprioritaskan dana untuk membayar guru agar bergaji tinggi.

Kedua, pelatihan dan pendampingan yang serius, bukan hanya akal-akalan.

Pelatihan bagi guru sebetulnya sudah rutin dilakukan. Para guru terkadang harus meninggalkan murid-muridnya di sekolah hingga beberapa hari karena undangan pelatihan. Mulai pelatihan mengenai pendalaman materi ajar hingga ke teknis pembelajaran. Itu semua tentu saja baik, tapi sudahkah dilakukan evaluasi secara 'ketat' tentang tercapainya parameter keberhasilan pelatihan-pelatihan tersebut. Jangan sampai pelatihan-pelatihan tersebut hanya menjadi ajang mendapatkan sertifikat.

Kemudian hal penting yang jarang dilakukan oleh pemegang kebijakan yang bertanggung jawab terhadap kapasitas guru, yaitu pendampingan. Untuk meng-upgrade kemampuan guru tentu tidak cukup melalui pelatihan sehari atau beberapa hari. Diperlukan kesinambungan dalam praktek mengajar sehari-hari. Guru memerlukan pendampingan serius untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di lapangan. Serius berarti, dilakukan oleh pelatih/ pendamping profesional, dalam jangka waktu tertentu yang diperlukan serta evaluasi yang dilakukan secara berkala.

Ketiga, rasionalkan beban kerja guru untuk keperluan proses upgrade dan mengembangkan diri serta sistem/institusi masing-masing sekolah.

Ketika berkesempatan mengisi pelatihan bagi para guru, saya kerap memberikan bahan yang bisa dipelajari lebih lanjut. Sebagian dari mereka mengeluhkan beban kerja yang kurang rasional. Seorang guru dengan beban mengajar 33 jam per pekan, belum ditambah dengan beban yang sifatnya adminstratif. Kapan mereka punya waktu untuk belajar dan mengembangkan kemampuan?

Demikian selintas kritik dari saya. Maju terus pendidikan Indonesia!

Andi Sitti Maryam, M.Si.

Praktisi Pendidikan

Aktivis Komite Sekolah

Tinggal di Surabaya

https://andisittimaryam.blogspot.com/2019/05/perlukah-impor-guru.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun