Mengelola layanan kesehatan karyawan memang tidak mudah. Sebagai staf HRD, yang bertugas mengelola perlindungan kesehatan karyawan dan keluarga, saya selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Mulai dari karyawan yang tidak mau mematuhi prosedur yang ditetapkan (dan ujung-ujung ngamuk karena pengajuan reimburse/restitusi mereka tidak dapat dibayar), dokumen pengobatan yang tidak lengkap (dan lagi-lagi jadi alasan pengajuan reimburse mereka ditolak), keluhan pembayaran restitusi yang mulur (padahal pembayaran sudah menjadi kewajiban bagian Keuangan dan tidak lagi menjadi tanggung jawab HRD), hingga komplen karena dana penggantian yang dianggap tidak sesuai dengan biaya yang sudah mereka keluarkan. Tak hanya harus berhadapan dengan emosi karyawan, terkadang saya pun harus bersitegang dengan bagian keuangan agar proses pencairan restitusi tidak dipersulit.
foto : http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/
Ya, sebelum ini, perusahaan saya memang masih menerapkan pengeloaan mandiri untuk pelayanan kesehatan karyawan. Reimburse/restitusi dilakukan untuk setiap karyawan yang membutuhkan layanan kesehatan. Yang namanya reimburse, tentu saja karyawan harus membayar terlebih dahulu biaya berobat sebelum kemudian diajukan ke perusahaan untuk mendapatkan penggantian.
Masalah baru tercipta. Keluhan selalu berdatangan karena tidak semua karyawan memiliki dana saat membutuhkannya untuk berobat. Perusahaan tempat saya bekerja memang bukan perusahaan besar dengan penghasilan tinggi bagi karyawan. Pendidikan mereka pun beragam mulai dari lulusan Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi. Tidak banyak yang paham untuk menyisihkan sebagian penghasilan untuk biaya tak terduga seperti cadangan dana kesehatan. Lagipula, apa yang harus disisihkan kalau penghasilan bulanan sudah tersedot untuk kebutuhan sehari-hari? Kebingungan seringkali melanda tatkala mereka atau anggota keluarga mengalami gangguan kesehatan dan harus berobat. Seringkali mereka datang menghadap, berharap diberikan bantuan pinjaman untuk dibayar melalui dana reimburse nantinya. Beberapa ada yang dibantu, tapi sebagian besar tidak (kondisi keuangan perusahaan sangat berpengaruh dalam hal ini). Terkadang, dana penggantian kesehatan pun tidak sebesar biaya pengobatan yang dikeluarkan. Buntutnya, mereka menyisakan hutang yang akan mengurangi gaji mereka bulan depan. Miris.
Sebagai staf HRD yang seringkali berinteraksi dengan mereka, saya faham sekali mengenai hal ini. Karena itu, beberapa kali saya mengajukan untuk menyerahkan pengelolaan kesehatan ini pada lembaga profesional. Buat saya (dan siapapun pasti setuju), masalah kesehatan bukan hal yang bisa dilakukan setengah-setengah. Bukan karena saya ingin beban pekerjaan berkurang (meskipun dikelola pihak ketiga, toh pekerjaan saya tidak akan berkurang. Saya akan tetap menjadi jembatan bagi pelayanan kesehatan seluruh karyawan), tetapi karena saya merasa pelayanan yang diberikan tidak bisa maksimal.
Ketika usulan saya ditolak manajemen, pikiran buruk yang terbersit adalah; perusahaan tidak ingin rugi karena pengelolaan dana kesehatan bisa jadi dana keuntungan tersendiri. Tidak bisa dimungkiri kalau alokasi dana setiap bulannya adalah flat, sementara realisasi setiap bulannya akan bervariasi. Terkadang alokasi yang terserap jauh di bawah anggaran yang tersedia. Tetapi, haruskah dana kesehatan dijadikan salah satu sumber bisnis?
Oke, itu mungkin hanya suudzon saya belaka. Yang jelas, kalau pelayanan kesehatan selama ini tidak memicu banyak masalah, tentu saya tidak akan berpikiran seperti itu, dan tidak perlu melontarkan keinginan untuk mengalihkan pada lembaga profesional.
Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, saya sambut dengan suka cita. Paling lambat 1 Januari 2015, Pemberi Kerja pada BUMN, Badan Usaha Skala Besar, Menengah dan kecil WAJIB mendaftarkan dirinya dan pekerjanya pada BPJS Kesehatan. Bukan, ini bukan ekspresi kemenangan saya atas usulan yang ditolak beberapa waktu lalu. Ini lebih kepada rasa gembira karena adanya jaminan yang lebih pasti untuk pengelolaan kesehatan saya dan seluruh karyawan beserta keluarga masing-masing. Sebagai orang yang berkecimpung dalam setiap permasalahan yang ada, tentu saja menumbuhkan harapan bahwa semuanya akan menjadi lebih baik setelah ini.
Berdasarkan pasal 11 UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS Kesehatan berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan serta dapat mengenakan sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan diri dan perusahaannya sebagai peserta. Dan, tentu saja perusahaan saya pun akhirnya terdaftar sebagai peserta.
Banyak hal yang terjadi dengan keikutsertaan kami sebagai peserta BPJS Kesehatan. Antusiasme jelas terpancar dari seluruh karyawan saat dilakukan sosialisasi. Kartu BPJS kesehatan seolah berubah menjadi kartu sakti yang bisa melenyapkan satu permasalahan mereka selama ini. Harapan itu terbias cukup kuat, sehingga pertanyaan yang terlontar pun tidak jauh dari ; “Apakah dengan kartu ini berobat benar-benar gratis?”
Membuktikan secara langsung memang lebih meyakinkan daripada sekadar mendapatkan penjelasan belaka. Dan saya terkadang menunggu dengan perasaan was-was, apakah BPJS Kesehatan benar-benar memberikan kenyamanan bagi seluruh peserta? Seringkali saya khawatir tiba-tiba akan muncul banyak keluhan tentang pelayanan BPJS Kesehatan ini dari para karyawan. Kalau masih banyak keluhan dan kendala, apa bedanya dengan pengelolaan secara mandiri selama ini?
Pelayanan lembaga pemerintah seringkali diidentikan dengan pelayanan serba lambat dan seringkali tidak memuaskan. Saya masih ingat keluhan sejumlah rekan (lain perusahaan) beberapa tahun lalu yang mengeluhkan pelayanan dokter ASKES (maaf) yang katanya jutek, judes, dan seolah enggan melayani pasien ‘gratisan’ yang hanya datang dengan membawa kartu. Nyatanya? Ketika saya berobat ke dokter umum maupun dokter gigi dengan kartu BPJS Kesehatan, pelayanan tetap diberikan dengan baik. Saya tidak melihat adanya perbedaan pelayanan dengan pasien yang tidak membawa kartu.
Mungkinkah saya beruntung karena mendapatkan dokter yang baik-baik? Mungkin ya, tapi mungkin saja tidak. Toh, sejauh ini tidak ada keluhan yang muncul dari karyawan di perusahaan. Padahal karyawan perusahan tersebar di 3 wilayah kota/kabupaten yang berbeda. Ini menandakan bahwa BPJS Kesehatan sudah memperhatikan citra barunya sebagai layanan kesehatan yang tepat bagi masyarakat sehingga anggapan pemegang kartu kesehatan akan mendapatkan pelayanan kelas 2 tidak lagi dijumpai.
Beberapa kali saya mengantar karyawan yang harus dirawat inap di rumah sakit tak pernah mendapatkan kesulitan. Cukup menunjukkan kartu BPJS kesehatan saat melakukan pendaftaran,ikuti prosedurnya, dan perawatan akan diberikan tanpa dikenakan biaya. Oke, terkadang terdapat antrian untuk mendapatkan pelayanan atau menunggu kamar rawat inap yang kosong. Jangan mengeluh dan mencaci maki di sosmed. Selain kita, banyak orang yang membutuhkan pelayanan yang sama, sehingga wajar kalau di waktu-waktu tertentu rumah sakit akan kebanjiran pasien yang datang, bukan?
Sejauh ini, saya terbantu dengan adanya BPJS Kesehatan. Insya Allah, selama mengikuti prosedur dan aturan yang diterapkan, semuanya akan berjalan dengan semestinya. Terkadang, kesulitan dan masalah justru ditimbulkan oleh diri kita atau pihak perusahaan sendiri. Seperti disampaikan oleh staf BPJS Kesehatan pada saat saya konsultasi, banyak peserta yang terkadang emosi karena ditolak berobat dan merasa dipersulit. Setelah ditelusuri, yang bersangkutan ternyata baru membayar tunggakan premi karena hendak berobat kembali, sementara kepesertaan masih membutuhkan proses untuk diaktifkan kembali. Ternyata, semua bersumber dari kesalahan yang dilakukan oleh peserta atau bahkan perusahaan itu sendiri. Salah satunya adalah keterlambatan pembayaran premi. Tidak saja peserta akan dikenakan denda untuk setiap keterlambatan pembayaran, tetapi juga kepesertaan akan dihentikan sementara apabila menunggak selama 3 bulan premi. Kalau hak kita ingin dilayani dengan baik, kewajiban pun harus dilaksanakan dengan baik pula, bukan?
Masalah kesehatan jelas bukan masalah sepele. Bukan hanya menjadi kewajiban perusahaan, tetapi juga untuk kenyamanan dan ketenangan bekerja seluruh karyawan. Mereka tidak perlu lagi merasa was-was dengan perlindungan kesehatan seluruh anggota keluarga, sehingga mereka bisa bekerja dengan tenang dan lebih maksimal. Alhamdulillah ... untuk pembayaran premi BPJS Kesehatan seluruh karyawan, perusahaan saya menanggung seluruh premi yang harus dibayarkan. Sedianya, untuk premi 4,5% (terhitung 1 Juli 2015 menjadi 5%), karyawan dibebankan potongan 0,5% dari penghasilan yang dilaporkan (per 1 Juli 2015 menjadi 1%). Jadi, tidak ada potongan sama sekali yang dibebankan pada karyawan. Thank you, Boss!
BPJS Kesehatan diluncurkan pertama kali pada tanggal 1 Januari 2014. Dalam setahun masa layanannya kepada masyarakat, pastinya masih ada kekurangan di sana-sini. Salah satu yang kami alami adalah data tagihan premi bulanan yang seringkali tidak klop antara yang ada di sistem dengan real data. Seperti biasa, setiap kali melakukan pembayaran di teller Bank, kita cukup menyebutkan nomor peserta perusahaan, dan total tagihan akan muncul dengan sendirinya. Terkadang jumlah premi yang muncul tidak sesuai dengan real data peserta dan jumlah premi yang sudah saya hitung. Bisa lebih besar atau bahkan lebih kecil. Memang setelah itu bisa dilakukan rekonsiliasi ulang secara offline, tetapi alangkah baiknya kalau sistemnya sudah terpadu sehingga tidak diperlukan lagi rekonsiliasi berulang seperti ini. Masalah ini sedikit banyak berpengaruh dalam sistem pencatatan dan pembukuan di bagian keuangan, atau ketidakpercayaan mereka kalau HRD sudah menghitung dengan benar. Hehehe.
Setahun adalah masa yang masih singkat dan saya yakin BPJS Kesehatan akan terus berbenah; meningkatkan performansi, memperbaiki kekurangan, sehingga kesehatan rakyat Indonesia akan terus terjaga. Tetaplah menjadi mitra masyarakat yang terpercaya, karena kami yakin BPJS Kesehatan bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H