Mohon tunggu...
Iwok Abqary
Iwok Abqary Mohon Tunggu... lainnya -

Just an ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bekerja Lebih Nyaman dengan Adanya BPJS Kesehatan

28 Agustus 2015   15:30 Diperbarui: 28 Agustus 2015   15:30 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengelola layanan kesehatan karyawan memang tidak mudah. Sebagai staf HRD, yang bertugas mengelola perlindungan kesehatan karyawan dan keluarga, saya selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan. Mulai dari karyawan yang tidak mau mematuhi prosedur yang ditetapkan (dan ujung-ujung ngamuk karena pengajuan reimburse/restitusi mereka tidak dapat dibayar), dokumen pengobatan yang tidak lengkap (dan lagi-lagi jadi alasan pengajuan reimburse mereka ditolak), keluhan pembayaran restitusi yang mulur  (padahal pembayaran sudah menjadi kewajiban bagian Keuangan dan tidak lagi menjadi tanggung jawab HRD), hingga komplen karena dana penggantian yang dianggap tidak sesuai dengan biaya yang sudah mereka keluarkan. Tak hanya harus berhadapan dengan emosi karyawan, terkadang saya pun harus bersitegang dengan bagian keuangan agar proses pencairan restitusi tidak dipersulit.

foto : http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/

Ya, sebelum ini, perusahaan saya memang masih menerapkan pengeloaan mandiri untuk pelayanan kesehatan karyawan. Reimburse/restitusi dilakukan untuk setiap karyawan yang membutuhkan layanan kesehatan. Yang namanya reimburse, tentu saja karyawan harus membayar terlebih dahulu biaya berobat sebelum kemudian diajukan ke perusahaan untuk mendapatkan penggantian.

Masalah baru tercipta. Keluhan selalu berdatangan karena tidak semua karyawan memiliki dana saat membutuhkannya untuk berobat. Perusahaan tempat saya bekerja memang bukan perusahaan besar dengan penghasilan tinggi bagi karyawan. Pendidikan mereka pun beragam mulai dari lulusan Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi. Tidak banyak yang paham untuk menyisihkan sebagian penghasilan untuk biaya tak terduga seperti cadangan dana kesehatan. Lagipula, apa yang harus disisihkan kalau penghasilan bulanan sudah tersedot untuk kebutuhan sehari-hari? Kebingungan seringkali melanda tatkala mereka atau anggota keluarga mengalami gangguan kesehatan dan harus berobat. Seringkali mereka datang menghadap, berharap diberikan bantuan pinjaman untuk  dibayar melalui dana reimburse nantinya. Beberapa ada yang dibantu, tapi sebagian besar tidak (kondisi keuangan perusahaan sangat berpengaruh dalam hal ini). Terkadang, dana penggantian kesehatan pun tidak sebesar  biaya pengobatan yang dikeluarkan. Buntutnya, mereka menyisakan hutang yang akan mengurangi gaji mereka bulan depan. Miris.

Sebagai staf HRD yang seringkali berinteraksi dengan mereka, saya faham sekali mengenai hal ini. Karena itu, beberapa kali saya mengajukan untuk menyerahkan pengelolaan kesehatan ini pada lembaga profesional. Buat saya (dan siapapun pasti setuju), masalah kesehatan bukan hal yang bisa dilakukan setengah-setengah. Bukan karena saya ingin beban pekerjaan berkurang (meskipun dikelola pihak ketiga, toh pekerjaan saya tidak akan berkurang. Saya akan tetap menjadi jembatan bagi pelayanan kesehatan seluruh karyawan), tetapi karena saya merasa pelayanan yang diberikan tidak bisa maksimal.

Ketika usulan saya ditolak manajemen, pikiran buruk yang terbersit adalah; perusahaan tidak ingin rugi karena pengelolaan dana kesehatan bisa jadi dana keuntungan tersendiri. Tidak bisa dimungkiri kalau alokasi dana setiap bulannya adalah flat, sementara realisasi setiap bulannya akan bervariasi. Terkadang alokasi yang terserap jauh di bawah anggaran yang tersedia. Tetapi, haruskah dana kesehatan dijadikan salah satu sumber bisnis?

Oke, itu mungkin hanya suudzon saya belaka. Yang jelas, kalau pelayanan kesehatan selama ini tidak memicu banyak masalah, tentu saya tidak akan berpikiran seperti itu, dan tidak perlu melontarkan keinginan untuk mengalihkan pada lembaga profesional.

Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, saya sambut dengan suka cita. Paling lambat 1 Januari 2015, Pemberi Kerja pada BUMN, Badan Usaha Skala Besar, Menengah dan kecil WAJIB mendaftarkan dirinya dan pekerjanya pada BPJS Kesehatan. Bukan, ini bukan ekspresi kemenangan saya atas usulan yang ditolak beberapa waktu lalu. Ini lebih kepada rasa gembira karena adanya jaminan yang lebih pasti untuk pengelolaan kesehatan saya dan seluruh karyawan beserta keluarga masing-masing. Sebagai orang yang berkecimpung dalam setiap permasalahan yang ada, tentu saja menumbuhkan harapan bahwa semuanya akan menjadi lebih baik setelah ini.

Berdasarkan pasal 11 UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS Kesehatan berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan serta dapat mengenakan sanksi administratif bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan diri dan perusahaannya sebagai peserta. Dan, tentu saja perusahaan saya pun akhirnya terdaftar sebagai peserta.


Banyak hal yang terjadi dengan keikutsertaan kami sebagai peserta BPJS Kesehatan. Antusiasme jelas terpancar dari seluruh karyawan saat dilakukan sosialisasi. Kartu BPJS kesehatan seolah berubah menjadi kartu sakti yang bisa melenyapkan satu permasalahan mereka selama ini. Harapan itu terbias cukup kuat, sehingga pertanyaan yang terlontar pun tidak jauh dari ; “Apakah dengan kartu ini berobat benar-benar gratis?”

Membuktikan secara langsung memang lebih meyakinkan daripada sekadar mendapatkan penjelasan belaka. Dan saya terkadang menunggu dengan perasaan was-was, apakah BPJS Kesehatan benar-benar memberikan kenyamanan bagi seluruh peserta? Seringkali saya khawatir tiba-tiba akan muncul banyak keluhan tentang pelayanan BPJS Kesehatan ini dari para karyawan. Kalau masih banyak keluhan dan kendala, apa bedanya dengan pengelolaan secara mandiri selama ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun