Mohon tunggu...
Ikhwan Amirrudin
Ikhwan Amirrudin Mohon Tunggu... Editor - mahasiswa

Saya adalah mahasiswa di Universitas Indraprasta PGRI semeter 6 jurusan Pendidikan Indonesia, saya memiliki hobi menulis puisi selain itu saya juga suka mengedit-edit foto atau video, saya ingin menjadikan pengetahuan perasaan dan pengalaman saya sebagai sebuah tulisan yang dimana akan bisa di baca untuk yang membutuhkannya karena dengan menulis saya dapat meluapkan apa yang sedang saya gelisahkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Ruangkataku - Kumpulan Puisi

28 Maret 2023   20:13 Diperbarui: 29 Maret 2023   19:06 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jatuh cinta

Dari hari ke hari waktu ke waktu

Aku tersesat dalam waktu

Aku terkunci dalam hangatnya pelukanmu

Kepalaku bagaikan kolam yang di kelilingi ikan

Lagi dan lagi ritem tumbuh langsung dari hatiku

Kemudian aku mendengar suara merdumu setiap malam

Apakah kita baru saja jatuh cinta ?

Seharusnya kita saling mengaku

Bahwa ada rasa yang kita jaga dalam waktu yang cukup lama

Janji

Kita pernah saling berjanji

Akhirnya saling berhenti menepati

Kita pernah berdoa untuk harap yang sama

Kini terpisah karena takdir yang berbeda

Kamu bersama genggaman yang kau pilih

Aku dengan luka yang enggan pulih

November                                                                                        

Jika ada kesempatan untuk bertemu

Aku hanya ingin menyampaikan maafku

Sesal yang terukir

Tentang maaf yang tak terungkap

Dan sesal yang mulai menguap

Aku terjerat dalam kata merana

Tak bisa lagi kutulis rencana

Raga ini sudah sangat tersungkur

Saat ku merenung aku hanya tak lagi bersyukur

Maaf atas egoku yang tak pernah memikirkan rasamu

Kau pantas tersenyum untuk dunia

Kelak akan ungkap semua rasa sesalku yang menimpa

Semoga kita berjumpa

Ada yang hilang

Dia merasa ada yang hilang

Saat terbangun dari ranjang

Nada yang sering ia terka

Senyum yang sering terasa

Kini nadanya begitu hambar

Kini senyumnya tak lagi menampar

Kini sudah tiada lagi

Mungkin,

Dia tak bisa lagi menerka dan merasakannya

Untuk sekarang bahkan selamanya

Semoga tabahnya tak sia-sia

Semoga dia bertemu takdir tertentu

Terjerat ego

Sudah sepenuh hati

Untuk menepikan rasa ini

Membaur selaksa egoku

Dalam relung jiwaku

Kutanya pada hujan yang tenang

Mengapa kamu memberi lubang ?

Jika takmampu kau bendung

Sampai pada akhirnya meluapkan

Sudah hancur

Seperti daun yang gugur

Tak ingin saling pupus

Tak ingin saling hapus

Lelah berjuang

Tak sanggup untuk berasama

Kita hanya saling menyiksa

Dari rasa yang kita jaga

Bulan 

Ditengah lamunanku

Kuamati langit itu

Bersama sinarmu

Begitu indah bulan itu

                                                                                                                        

Sinarmu menerangi sisi hatiku

Yang menyimpan kegelisahan dan harapan

Dalam lamunanku kupandang parasmu

Disela lamunanku kau membawa kedalam khayalan

Mata indah dan senyummu yang mempesona

Ternyata tak kalah indah dan mempesona

Andai aku merpati akan kusinggahi paras cantikmu

Sayang aku hanya sebuah semut yang sengasara

Buyar seketika terkena guncangan

Dibalik senyumanmu aku berlindung

Bersamamu masalah menjadi tiada

Lalu Kupandang lagi bulan itu

Dan aku tersadar

Ternyata ini sebuah khayalan

Aku hanya sedang menulis bait demi bait

Dibawah sinar  rembulan

Bersenandung 

Ditengah keramaian kota

Suara bising yang terdengar

Udara bercampur polusi

Berjalan di atas trotoar

Langkahpun  terhenti 

Duduk di tepi jalan yang ramai

Sambil menikmati secangkir kopi

Memikirkan esok hari

 

Jika aku sudah tak bertenaga

Tak mampu bercengkrama

Tak mampu lagi berkelana

Bahkan sampai hilang asa

Deru angin yang menyambar

Membuatku tersadar

Ternyata aku hanya menulis sajak yang tegar

Di tengah hidup yang datar

Ditepi pantai

bersama gemuruh gelombang

yang menghantam batu karang

diabaikan ketika menerjang

menahan lara dari arus yang kencang

kapal berlayar terombang ambing

terbawa alunan sendu

mencari tempat untuk menunggu

akankah masih termangu

seperti menanti sang pujaan hati

kembali ketika sore hari

dengan rasa kecewa di hati

untuk menutupi gelisah esok hari

topeng itu teramat tebal

seperti alam yang kekal

pola pikir yang tak masuk akal

dengan rasa sesal

penuh harap

penuh do'a

dalam kata-kata

ia hanya bisa mengusap dada

Karang dan Gelombang

kamu adalah karang

aku adalah gelombang

sudah ku terjang

namun kau tetap tenang

pasir pantai

menjadi saksi

burung hanya mengamati

langit terus menghujani

aku hanya ingin bersatu

tapi tak ada titik temu

yang ada hanya jalan buntu

seperti awan kelabu itu

aku selalu mencari cara

agar kita bisa berbicara

tapi apalah daya

aku hanya gelombang yang tak sempurna

Abadi

aku sendiri

di tengah malam

gemuruh gelombang yang datang

seakan menyerang

kabut menerjang gunung

terlihat murung

perang tejadi

apakah ini akan abadi

kamu yang ku temui

sekarang hanya menjadi fiksi

karena suatu hal terjadi

namun kau abadi

terimakasih

rasa yang kuberi telah kau jaga

kasih yang kuberi kini sudah  menjadi kisah

dalam sebuah cerita

Tentangmu

pagi itu di tengah hamparan hijau

aku menemukanmu dengan cara tak terduga masih berselemiut dalam kabut

aku melihatmu dari sudut ke sudut

menjamahmu tak lagi dari sebuah cerita

tapi...

apakah perpisahan ini sudah kuduga

aku melihatmu tak lagi harus dari sisi lain

aku mengenalmu tak lagi dengan cerita

aku bersamamu tak lagi visual

kini aku tak mengerti tentangmu

pergi seperti tak dinanti

aku tak mengerti maksudmu

kau kian menjauh meninggalkanku

pagi itu

dibawah langit kelabu

ditengah hamparan hijau

pandanganku tertuju padamu

aku tak sengaja melihatmu

nampak begitu murung

sambil bersenandung

ditengah hamparan hijau

mulai turun air hujan

namun kau tidak beranjak berteduh

seolah terlihat tangguh

walau hatinya sedang rapuh

Melodi Cinta 

ayunan melodi itu

menggetarkan jiwa

bagaikan menuai air diatas luka

begitu perih kurasa

bagiku melodi itu seperti,

harapan setinggi gunung

aku tersadar aku adalah ombak

Pertemuan 

gunung adalah asumsi

laut adalah misteri

terbentuk dari angan

memeluk takdir yang membelokan

jalan adalah tujuan

dari doa yang kupanjatkan

mendekap mimpi

namun enggan dimiliki

tanpa sengaja kita dipertemukan

ini terjadi karena tangan tuhan

gunung hanyalah asumsi dan jalan tujuan

yang hanya bertatapan

gunung menyimpan rahasia begitu lama

membuat asumsi itu mati

berujung tak pasti

lalu perlahan hilang tanpa kata

gunung dan laut

dipertemukan tak sengaja

hal-hal tak memungkinkan

kecuali tuhan menyertainya

aku hanya termenung

terimakasih

akanku akhiri melodi ini

dengan tarian hati

bersama ilusi yang kunikmati

Bertahan

terdengar

Suara samar memanggil

Dari do’a yang kau pinta

Kulihat bangunan tua itu

Sudah sangat terbengkalai

Tidak berpenghuni

Mampukah ia menghadapi esok hari

Lesu tak bertenaga        

Tak mampu lagi berkelana

Tapi kau tak pernah hilang asa

Dari do’a yang kau pinta

Terus melangkah mencari sebuah jawab

Dari segala harap

Kembalilah untuk menanti

Kembalilah aku menunggu disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun