Artikel kali ini adalah lanjutan tulisan sebelumnya yang berjudul Rumah Gedek Eyang & Gerobak.Pada tulisan itu menceritakan kisah hidup saya saat masih di bangku sekolah dasar dan tinggal bersama Eyang.
Setelah lulus  kami harus melanjutkan ke bangku SMP tepatnya tahun 1983.Lokasi sekolah kami sekitar 2.5 kilometer dari rumah dan saat itu saya mulai tinggal bersama orang tua lagi.
Namun demikian hampir setiap hari saya sempatkan untuk main ke rumah Eyang yang begitu menyayangi saya sejak kecil.Kala itu kalau pergi ke sekolah saya berjalan kaki bersama teman-teman lainnya,kalau toh ada yang bawa sepeda itupun hanya satu atau dua orang saja,kami sangat menikmati dan sangat mensyukuri hal itu.
Di tahun pertama sekolah,kami dapat giliran masuk siang karena keterbatasan ruangan kelas saat itu.Pagi-pagi sebelum sekolah saya harus membantu orang tua untuk menyabit rumput di kuburan desa yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah.Kuburannya cukup luas dan kuburan kami  mirip lapangan bola.
Hamparan tanahnya ditanami  rumput oleh dinas pertanian untuk membantu para peternak yang ada didesa kami.Diantara para penyabit, sayalah yang paling kecil dan paling muda karena yang lain semua sudah berumur bahkan sudah embah-embah.Saya bisa menyabit baik rumput yang pendek maupun yang tinggi.
Pernah suatu kali saat menyabit  telunjuk kiri saya terkena sabit dan nyaris putus.Saya merasakan kesakitan waktu itu diikuti kucuran darah yang mengalir tiada hentinya.Kalau ke puskesmas saya harus butuh waktu,namun saya mencoba obati hanya menggunakan daun-daun alami seadanya dan tanpa diduga kucuran darah pun langsung berhenti.
Bekas luka sayatan sabit itu masih membekas sampai saat ini.Hikmah dari luka kena sabit tadi rupanya membawa berkah yang baru saya rasakan saat setelah lulus dari kuliah tepatnya saat wawancara kerja.
Saya menyelesaikan kuliah di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya di tahun 1994.Untuk cerita lengkapnya akan saya tulis di episode kolom artikel berikutnya.
Habis menyabit kadang saya dapat tugas untuk memandikan sapi. Kami hanya memelihara sapi sebanyak dua ekor dan  kandangnya terletak di kebun yang tidak begitu luas. Saya memandikan sapi  memakai air seadanya sambil menggosok tubuhnya agar sapi kami bersih.Namun sesekali saya dan bapak memandikan sapi  ke empang yang lokasinya ada di lembah seberang barat tempat kebun dan kandang sapi berada.Â
Perjalanan menuju empang harus melewati jalanan yang sempit dan terjal disepanjang  tebing yang membuat nafas sedikit terengah-engah. Sekali dalam seumur hidup yang saya alami,pernah ditanduk sapi di tebing yang terjal yang kami lalui.Â
Untung bisa diselamatkan oleh bapak s amukan sapi yang sudah lama kami pelihara.Entah kenapa tiba-tiba sapinya marah seperti  kesurupan seolah saya seperti musuhnya.
Saya hanya mengalami sedikit memar di perut kena tandukan sapi tadi. Pengalaman yang hampir serupa saya alami saat memberikan makan sapi di kandang.Waktu itu saya pergi ke kandang sendirian dan tanpa merasakan suatu keanehan saya langsung mendekati kandang.Dan tanpa diduga sapinya langsung mengamuk dengan wajahnya yang beringas ingin menanduk-naduk kearah saya.Â
Tanpa berfikir panjang saya melarikan diri karena takut pengalaman di tebing yang saya alami terulang kembali.Setelah saya ceritakan ke bapak rupanya saat itu saya memakai kaos merah dan sapi tertentu akan beringas jika melihat warna  yang mencolok seperti warna merah yang saya kenakan,apalagi perutnya sedang lapar.
Kalau saya ingat kejadian itu jadi mengingatkan sebuah acara Matador ditelevisi dimana seekor banteng yang beringas akan bertarung dengan para matador saat mereka dipancing dengan  kain yang warnanya merah sambil mempermainkan banteng tersebut.
Sehabis menyabit di pagi harinya,saya sempatkan untuk belajar kurang lebih satu sampai dua jam untuk selanjutnya mandi ke sungai sebelum berangkat ke sekolah.
Sekolah saat itu mulai berlangsung dari pukul satu siang dan pulangnya pukul lima sore.Disela-sela istirahat kami bersama teman kadang main sepak bola karena disamping sekolah ada lapangan bola yang biasa dipakai untuk pertandingan di tingkat kecamatan.
Kami masih ingat guru-guru kami yang dengan tulus dan ikhlas membimbing kami hingga bisa seperti saat ini.Banyak pelajaran dan pengetahuan yang kami dapatkan dari beliau semua.Terima kasih Bapak dan Ibu guru kami semua atas darma bhaktinya dan semoga beliau diberikan kesehatan ,kebahagiaan dan umur panjang.
Kami waktu itu sekolah sebagaimana sekolah lainnya dari Senin sampai Sabtu dan hari Minggunya saya pakai untuk membantu orang tua.Kalau kebetulan hari Minggu bertepatan dengan jadwal pasar,saya sempatkan membantu Ibu dan kakak di pasar yang berjualan kain di warung yang cukup kecil,siangnya dilanjutkan menyabit atau memetik bunga cengkeh.Â
Pohon cengkeh kami tidaklah banyak paling ada sepuluh sampai dua puluh pohon.Kalau memetik bunganya saya harus memanjat tiang bambu sampai ketinggian sepuluh sampai lima belas meter.Kaki rasanya bergetar saat memanjat dan meraskan pijakan tangga yang hanya memakai sebilah bambu.
Tangga lalu disandarkan di pohon cengkeh dan kiri kanannya ditarik dengan tali tambang untuk mencegah tangga agar tidak rubuh. Semua yang saya lakukan itu hanya semata untuk membantu orang tua demi bisa menyekolahkan kami.
Yang masih teringat sampai sekarang, saat teman-teman kami yang lain belajar untuk ujian catur wulanan, bapak masih minta saya, kakak dan  sepupu untuk  memetik cengkeh di kebun.
Saya menyadari kenapa seperti itu,karena bapak saya belum paham,mungkin juga karena beliau tidak tahuada ujian dan saya tidak memberitahunya.Kedua orang tua kami bukanlah orang yang punya pendidikan tinggi,beliau sekolah SR dan berhenti ditengah jalan alias tidak lulus karena kondisi yang ada.Namun beliau berusaha agar kami bisa sekolah yang lebih baik dari beliau berdua dan tentu agar lebih maju.
Tetapi semua itu merupakan pelajaran yang berharga dan menjadi alat terapi bagi saya saat ini.Hikmah yang saya dapatkan bahwa begitu susahnya orang tua mencari uang agar bisa menyekolahkan anaknya dan beliau beraharap kami kelak bisa berhasil dan bisa membantu orang lain.
Dan harapan itu saya selalu ingat dan tetap berusaha disertai doa sampai saat ini.Di tahun kedua kami sekolah seperti biasa di pagi hari,kegiatan yang biasanya saya lakukan di pagi hari berganti jadi di siang sampai sore hari.
Misalnya saja menyabit,mencangkul di kebun atau kalau musim cengkeh memetik bunganya .Sampai waktunya saya menginjak kelas tiga ditahun 1986,tahun dimana saya dan teman-teman akan mengakhiri sekolah di SMP.
Hari demi hari berlalu dan tiba saatnya menghadapi ujian nasional yang saat itu sudah memakai metoda memilih dan essai atau menjawab dengan uraian. Atas anugerah Tuhan nilai ebtanas murni (NEM) nilainya cukup baik,matematika hampir mendapat nilai sepuluh,tepatnya sembilan koma delapan dua dan total nilai NEM saya tidak jelek-jelek amat dan boleh dibilang di atas rata-rata.
Setelah lulus SMP saatnya melanjutkan ke SMA dan untuk pertama kalinya saya harus merantau dan berpisah dengan embah dan keluarga.
Untuk cerita perjalanan kehidupan selanjutnnya akan saya tulis di segment berikutnya,semoga dengan sedikit sharing ini bisa melihat kehidupan dari sisi lain terutama hal-hal positif yang bisa dipetik, untuk hal yang kurang baik mohon agar dibuang jauh-jauh.
Setiap jaman ada keunikan dan ada sejarahnya masing-masing.Jasmerah kata Bung Karno..jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Salam Bahagia dan Damai Selalu
IWayB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H