Segi-segi geologi pemukiman siswa juga perlu dijadikan materi pelajaran, misalnya menyangkut jenis tanah, kemiringan, bebatuan, dll. Untuk memahami potensi-potensi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu, seperti longsor atau pergerakan permukaan tanah. Demikian pula jika pemukiman siswa berdekatan dengan pegunungan dengan beberapa puncak, bebukitan, maka siswa di daerah ini harus mengetahui aspek-aspek vulkanologinya.Â
Dengan demikian, siswa yang bermukim di desa-desa di sepanjang lereng pegunungan yang membelah Pulau Bali menjadi dua bagian, utara dan selatan, membentang dari ujung barat (Gilimanuk) hingga timur (Karangasem), dengan sejumlah puncak, jangan hanya dilihat sebagai ikon-ikon religius atau faktor-faktor keindahan alam tetapi adalah jejak yang jelas bahwa Bali ada di daerah cincin api dan pulau ini adalah terbentuk melalui peristiwa vulkanik pada masa purba. Adanya mata air panas di seuatu desa, jangan hanya dilihat dari aspek rekreasinya tetapi juga adalah tanda-tanda gunung berapi aktif.
Dengan kesadaran dan pemahaman mengenai bencana alam yang dibangun di atas realitas fisika, geologi, vulkanologi, sebagai pemahaman pengimbang adanya rasa aman sepanjang tahun bahwa tidak akan ada bencana apapun, maka jika suatu kali bencana terjadi, maka secara mental masyarakat telah siap sehingga trauma tidak terjadi secara massal dan berkepanjangan.
Tujuan pelajaran kebencanaan adalah untuk membangun sikap waspada dan realistis dalam menyikapi bencana. Bencana sebagai proses fisika atau karena kerja alam dan bumi tempat masyarakat berkembang. Aspek kewaktuan terjadinya bencana memang tidak bisa dipastikan sehingga dalam rentang empat dekade misalnya, sama sekali tidak pernah ada bencana yang mana keadaan ini tidak bisa dijadikan cara pandang bahwa hidup aman dari pencana.
Peranan kurikulum bencana alam adalah menyambung dan merawat ingatan sosial terhadap bencana bahwa di suatu wilayah pernah terjadi bencana tertentu dan kemungkinan besar akan berulang. Membangun ingatan atau kesadaran siswa atas bencana menjadi tekanan penting dalam kurikulum bencana alam.
Ingatan yang tetap terpeliharan terhadap bencana dan hal ini membentuk kesadaran positif atau sikap realistis juga diimbangi dengan teknik menghadapi bencana yang dapat berupa dikembangkannya berbagai pelatihan menghadapi bencana. Lebih jauh lagi memilih teknologi pemukiman yang aman dari dampak bencana, seperti bangunan, di daerah mana aman untuk bermukim, serta pengembangan sikap sosial (bahu-membahu) ketika bencana terjadi.
Para guru yang akan melaksanakan integrasi pelajaran atau materi kebencanaan dalam pelajaran yang mereka asuh harus dibekali dengan pemahaman adanya kesadaran terhadap bencana yang mungkin tidak bisa terintegrasi pada semua mata pelajaran.Â
Kajian-kajian awal di sekolah harus sudah dilakukan secara mandiri, misalnya merumuskan mata pelajaran mana yang bisa lebih tepat atau pas untuk mengintegrasikan materi kebencanaan; serta menyusun kurikulum lokal kebencanaan yang berdasar pada sejarah lokal, geologi, dan vulkanologi kontekstual.
Kurikulum lokal mengenai kebencanaan tampaknya jauh lebih bermakna ketimbang kurikulum kebencanaan secara umum. Untuk siswa di Bali misalnya, harus ada satu kurikulum yang lebih umum, menyangkut aspek kebencanaan Bali karena posisi geologi pulau ini, ada dalam jaringan cincin api dan berbatasan dengan laut lepas.
Di samping itu ada rumusan-rumusan kurikulum lokal sesuai dengan konteks geologi, vulkanologi siswa, sehingga akan terjadi perbedaan materi bencana antara siswa di pegunungan dan di pantai. Dari kurikulum ini lantas disusun materi pelajaran yang praktis dan kontekstual, melalui teknik pelajaran yang tepat, kesadaran terhadap kebencanaan akan terinternalisasi pada diri siswa.
Sekolah-sekolah perlu memiliki program-program kebencanaan yang menjadi agenda semesteran atau tahunan di sekolah tersebut, seperti diskusi film mengenai suatu bencana, pelatihan menghadapi bencana gunung berapi, cara-cara melindungi diri dari gempa, dll.