Mohon tunggu...
I WayanArtika
I WayanArtika Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Literasi

Pegiat literasi pada Komunitas Desa Belajar Bali, di Desa Batungsel Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan, Bali dan dosen di Universitas Pendidikan Ganesha.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Kebencanaan

8 Juli 2019   07:08 Diperbarui: 9 Juli 2019   15:00 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung meletus, gempa, tsunami, tanah longsor, badai, dan banjir bandang, bertubi-tubi mendera tanah air tercinta. Selama ini pandangan religius digunakan untuk memahami setiap bencana, yang tentu saja adalah cobaan atau bahkan hukuman Tuhan, sebagaimana dalam lagu Berita kepada Kawan (Ebiet. G. Ade).

 Akhir-akhir ini pandangan religius tersebut juga berdampingan dengan pandangan ilmiah bahwa segala bencana alam terjadi juga karena faktor fisika atau dinamika alam. 

Manusia yang bermukim di atas suatu kawasan pasti tidak bisa melepaskan diri dari berbagai dampak kerja alam. Karena itulah geologi, ilmu cuaca, vulkanologi, klimatologi, atau sejarah alam, dijadikan pijakan atau kesadaran baru sehingga bencana alam tidak lagi semata hukuman atau cobaan Tuhan tetapi harus bisa diantisipasi sehingga dampak buruk bagi kehidupan bisa diminimalisasi.

Mitos soal bencana alam, khususnya gempa dikenal di kalangan masyarakat Bali, yang berbentuk deskripsi konstruksi dasar semesta atau bumi yang ditopang oleh seekor kura-kura raksasa, dililit oleh sepasang naga. Mitos ini menyadarkan masyarakat bahwa gempa suatu kali akan datang dan bisa dengan kekuatan yang sangat besar.

Sejalan dengan mitos suci tersebut, dalam alam pikiran modern yang ditandai dengan kekuatan rasio, bencana bertubi mendera tanah air menimbulkan penyikapan baru secara nasional, sebagaimana diinstruksikan oleh Presiden, agar segera menyusun kurikulum kebencanaan yang diintegrasikan dalam pendidikan dalam segala jenjang.

Kurikulum kebencanaan bertujuan untuk mengedukasi siswa sehingga tumbuh kesadaran bahwa bencana adalah keniscayaan karena lokasi negara yang memang berpotensi besar bencana. 

Siap menghadapi bencana adalah sikap yang juga penting ditumbuhkan melalui internalisasi dalam pengajaran. Selalu waspada terhadap bencana dapat menjadi "bekal" namun bukan sesuatu yang menghantui. Pelajaran bencana berperan untuk selalu mengingatkan kita bahwa wilayah Indonesia tidak aman ancaman bencana.

Menurut rencana, kurikulum bencana akan diterapkan secara terintegrasi dengan mata pelajaran di sekolah yang mana tidak akan ada mata pelajaran khusus mengenai bencana alam. 

Tujuan utama pelajaran kebencanaan ini sangat praktis dan kontekstual, memberi bekal pengetahuan, wawasan mengenai bencana alam, serta cara-cara untuk menyelamatkan diri dari bencana. Karena itulah kurikulum yang akan diterapkan menjadi pelajaran bencana alam perlu disiapkan secara praktis dan bukan teoretis.

Pendekatan kontekstual kebencanaan harus dikedepankan dengan dasar pertimbangan bahwa pelajaran kebencanaan ini terikat dengan lokasi pemukiman atau tempat tinggal para siswa. 

Pengetahuan sejarah bencana di suatu desa, kota, pegunungan, pesisir pantai, mulai harus disusun dengan memanfaatkan cerita-cerita yang masih hidup di masyarakat, misalnya peristiwa genjong,  ketug, gejer (yang ketiga istilah ini berarti gempa hebat) yang pernah melanda Bali atau banjir bandang yang tiba-tiba terjadi di sebuah sungai kecil yang mana setelah peristiwa ini, bentang alam di sekitar DAS sungai tersebut benar-benar berubah total. Juga dengan mempelajari aspek fisika alam atau wilayah pemukiman setempat.

Segi-segi geologi pemukiman siswa juga perlu dijadikan materi pelajaran, misalnya menyangkut jenis tanah, kemiringan, bebatuan, dll. Untuk memahami potensi-potensi bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu, seperti longsor atau pergerakan permukaan tanah. Demikian pula jika pemukiman siswa berdekatan dengan pegunungan dengan beberapa puncak, bebukitan, maka siswa di daerah ini harus mengetahui aspek-aspek vulkanologinya. 

Dengan demikian, siswa yang bermukim di desa-desa di sepanjang lereng pegunungan yang membelah Pulau Bali menjadi dua bagian, utara dan selatan, membentang dari ujung barat (Gilimanuk) hingga timur (Karangasem), dengan sejumlah puncak, jangan hanya dilihat sebagai ikon-ikon religius atau faktor-faktor keindahan alam tetapi adalah jejak yang jelas bahwa Bali ada di daerah cincin api dan pulau ini adalah terbentuk melalui peristiwa vulkanik pada masa purba. Adanya mata air panas di seuatu desa, jangan hanya dilihat dari aspek rekreasinya tetapi juga adalah tanda-tanda gunung berapi aktif.

Dengan kesadaran dan pemahaman mengenai bencana alam yang dibangun di atas realitas fisika, geologi, vulkanologi, sebagai pemahaman pengimbang adanya rasa aman sepanjang tahun bahwa tidak akan ada bencana apapun, maka jika suatu kali bencana terjadi, maka secara mental masyarakat telah siap sehingga trauma tidak terjadi secara massal dan berkepanjangan.

Tujuan pelajaran kebencanaan adalah untuk membangun sikap waspada dan realistis dalam menyikapi bencana. Bencana sebagai proses fisika atau karena kerja alam dan bumi tempat masyarakat berkembang. Aspek kewaktuan terjadinya bencana memang tidak bisa dipastikan sehingga dalam rentang empat dekade misalnya, sama sekali tidak pernah ada bencana yang mana keadaan ini tidak bisa dijadikan cara pandang bahwa hidup aman dari pencana.

Peranan kurikulum bencana alam adalah menyambung dan merawat ingatan sosial terhadap bencana bahwa di suatu wilayah pernah terjadi bencana tertentu dan kemungkinan besar akan berulang. Membangun ingatan atau kesadaran siswa atas bencana menjadi tekanan penting dalam kurikulum bencana alam.

Ingatan yang tetap terpeliharan terhadap bencana dan hal ini membentuk kesadaran positif atau sikap realistis juga diimbangi dengan teknik menghadapi bencana yang dapat berupa dikembangkannya berbagai pelatihan menghadapi bencana. Lebih jauh lagi memilih teknologi pemukiman yang aman dari dampak bencana, seperti bangunan, di daerah mana aman untuk bermukim, serta pengembangan sikap sosial (bahu-membahu) ketika bencana terjadi.

Para guru yang akan melaksanakan integrasi pelajaran atau materi kebencanaan dalam pelajaran yang mereka asuh harus dibekali dengan pemahaman adanya kesadaran terhadap bencana yang mungkin tidak bisa terintegrasi pada semua mata pelajaran. 

Kajian-kajian awal di sekolah harus sudah dilakukan secara mandiri, misalnya merumuskan mata pelajaran mana yang bisa lebih tepat atau pas untuk mengintegrasikan materi kebencanaan; serta menyusun kurikulum lokal kebencanaan yang berdasar pada sejarah lokal, geologi, dan vulkanologi kontekstual.

Kurikulum lokal mengenai kebencanaan tampaknya jauh lebih bermakna ketimbang kurikulum kebencanaan secara umum. Untuk siswa di Bali misalnya, harus ada satu kurikulum yang lebih umum, menyangkut aspek kebencanaan Bali karena posisi geologi pulau ini, ada dalam jaringan cincin api dan berbatasan dengan laut lepas.

Di samping itu ada rumusan-rumusan kurikulum lokal sesuai dengan konteks geologi, vulkanologi siswa, sehingga akan terjadi perbedaan materi bencana antara siswa di pegunungan dan di pantai. Dari kurikulum ini lantas disusun materi pelajaran yang praktis dan kontekstual, melalui teknik pelajaran yang tepat, kesadaran terhadap kebencanaan akan terinternalisasi pada diri siswa.

Sekolah-sekolah perlu memiliki program-program kebencanaan yang menjadi agenda semesteran atau tahunan di sekolah tersebut, seperti diskusi film mengenai suatu bencana, pelatihan menghadapi bencana gunung berapi, cara-cara melindungi diri dari gempa, dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun