Mohon tunggu...
Gatra Sisya
Gatra Sisya Mohon Tunggu... Guru - Ektrakurikuler SMPN 9 Denpasar

Ekstrakurikuler jurnalistik merupakan kegiatan pengembangan bakat dan minat siswa-siswa dalam bidang tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anti Hoax Sang Pendidik: Etika Jurnalisme dan Tantangan Berita Hoax

7 November 2017   20:28 Diperbarui: 7 November 2017   21:19 1840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam jurnalisme, etika teramat pentingnya karena pekerjaan ini penuh dengan pengambilan keputusan. Dalam membuat berbagai keputusan tersebut, pedoman yang dijadikan patokan adalah prinsip-prinsip etika jurnalisme yang memang memberi panduan bagi para jurnalis dalam melakukan kerja mereka. Tanpa mengikuti pedoman tersebut, seorang jurnalis ataupun orang awam yang mencoba menjadi seorang jurnalis dapat membuat tulisan seenaknya sendiri. Tulisan disesuaikan dengan selera sendiri tanpa memerhatikan fakta yang terjadi. Segala sensasi dan gosip diumbar dan dibumbui dengan fakta yang dibuat sendiri agar orang-orang tertarik untuk membaca, mendengar, atau menonton.

Memang dengan segala kemampuan plus berbagai kemudahan yang sekarang disediakan oleh teknologi informasi dan komunikasi jurnalisme bisa saja berekpresi ke segala arah. Bermacam inovasi yang dikembangkan membuat jurnalisme dewasa ini tampil berbeda dengan di masa lalu. Akan tetapi, jurnalisme tidak boleh dibiarkan menjadi bola liar yang menggelinding tanpa arah yang jelas. Memang benar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya warganet bersua dengan praktik dan produk jurnalisme yang sembarang tanpa aturan dan seenaknya sendiri. Dalam ranah perkembangan berbagai media sosial seperti sekarang ini, mengunggah berita bohong atau sering disebut berita hoax melalui media internet bukanlah masalah besar.

Bagi pihak yang seperti itu, bagian terpentingnya adalah agar beritanya laku dan menghasilkan keuntungan materiil. Walaupun dalam kenyataannya, seringkali berita hoax yang dibuat dan disebarkan mengandung kepentingan tertentu politik, ekonomi, agama, sosial terlepas dari kegiatan membuat masyarakat resah akan keberadaannya. Penyebar berita hoax tidak peduli bahwa hal itu mengganggu tatanan jurnalisme dan merusak kepercayaan masyarakat. 

Manakala berbenturan dengan pihak berwajib ataupun masyarakat luas, umumnya mereka akan berkelit dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Gejala pelanggaran ataupun kurangnya kepatuhan dan apresiasi terhadap etika media dan jurnalisme dapat dilihat pada berbagai kasus pemberitaan di media massa, baik saat ini maupun di masa lalu. Beberapa waktu lalu, pernah tersiar berita hoax mengenai minuman serbuk memiliki kandungan berbahaya sehingga menyebabkan batuk dan pengerasan otak; vaksin menyebabkan autis; dan makan udang dengan vitamin C menyebabkan kematian yang telah mengemuka menjadi perbincangan dalam berbagai kesempatan dan tidak terbukti kebenarannya.

Terbaru, di berbagai media sosial beredar aneka hoax terkait registrasi kartu SIM prabayar. Mulai dari 31 Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018, pemerintah mewajibkan masyarakat untuk meregistrasi kartu SIM. Akan tetapi, di tengah penerapan peraturan ini, banyak informasi hoax beredar yang mengatakan bahwa registrasi ini berkaitan dengan kegiatan politisasi. Akan tetapi, dikutip dari indozone.id, dinyatakan bahwa Kominfo merilis aturan yang mewajibkan masyarakat meregistrasi kartu SIM prabayar dengan mendaftarkan nomor kartu keluarga dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk mencegah penyalahgunaan nomor pelanggan. Hal ini dilakukan sebagai komitmen pemerintah dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen untuk kepentingan single identity. Dengan kata lain, informasi yang disampaikan tanpa kebenaran faktual, akurasi, dan objektivitas tanpa mengecek kepada sumber informasi hanya akan menjadi berita hoax yang meresahkan masyarakat.

Mengidentifikasi Berita Hoax dalam Media Massa

Hakikat dari pekerjaan jurnalisme adalah mencari, menemukan, dan menyampaikan kebenaran. Dengan kata lain, berita yang benar adalah informasi yang disampaikan secara faktual dan aktual dalam kenyataannya. Berbeda dengan berita yang benar, berita hoax selalu mengandung pencampuran fakta dan opini; judul yang menghakimi; narasi yang menghakimi; foto tidak berkaitan dengan berita; tidak memerhatikan kredibilitas narasumber; wawancara yang dilakukan fiktif; dan sumber berita tidak jelas.

Berdasarkan hasil survei mastel.id terhadap 1.116 responden yang dipublikasikan 13 Februari 2017 mengenai wabah hoax nasional, saat responden ditanya mengenai definisi hoax, responden menjawab berita bohong yang disengaja 90,30%, berita yang menghasut 61,60%, berita tidak akurat 59%, berita ramalan/fiksi ilmiah 14%, berita yang menyudutkan pemerintah 12,60%, berita yang tidak saya sukai 3%, dan hanya 0,60% menjawab saya tidak tahu. Masih dari lembaga survei yang sama, saat responden ditanya mengetahui suatu berita adalah hoax, responden mejawab ada koreksi/klarifikasi di sosial media 31,90%, ada koreksi/klarifikasi di media massa dan memiliki teman/sumber yang dapat dipercaya 29,10%, sedangkan saya mengetahui yang sebenarnya 14,40%.

Survei tersebut menjadi menarik ketika responden yang mengetahui bahwa berita itu sebenarnya hoax hanya sekitar 14,40% dan menjadi yang terendah di bagian pertanyaan mengetahui suatu berita adalah hoax. Tentu hal ini sangat bertolak belakang saat responden ditanya mengenai definisi hoax, sebanyak 90,30% menjawab berita bohong yang disengaja dan menjadi yang tertinggi di bagian itu. 

Hal ini berarti, secara definisi banyak orang yang sudah paham mengenai apa itu hoax, namun dalam praktiknya, masih sedikit yang dapat menyadari secara langsung apakah berita itu hoax atau tidak. Hal ini wajar karena sebagian besar warganet beranggapan bahwa berita tersebut bermanfaat dan benar sehingga ingin menjadi orang pertama yang ingin dianggap tahu tentang informasi tersebut dan langsung meneruskannya melalui media sosialnya. Dengan kata lain, masih banyak warganet yang dapat dipengaruhi oleh berita hoax sampai berita itu diklarifikasi sebagai hoax oleh pihak yang berwenang.

Sewajarnya, basis dari berita adalah fakta (Rolnicki, 2015:4). Untuk dapat memenuhi ekspektasi dan kepercayaan masyarakat, para pelaku jurnalisme sejati bukan penulis hoax merumuskan prinsip yang dijadikan sebagai panduan dalam beraktifitas. Nasution (2015:10) menyatakan bahwa meskipun dalam rinciannya prinsip-prinsip pedoman dalam etika jurnalisme cukup banyak, tetapi yang utama, diantaranya: (1) akurasi berarti sesuai fakta, penulisannya benar, sumbernya jelas dan kompeten, (2) independensi berarti bersikap netral dan tidak memihak, (3) objektivitas berarti harus apa adanya dan bebas dari kepentingan apa pun, (4) fairnessberarti peliputan yang transparan, terbuka, jujur, dan adil, (5) menghormati privasi, dan (6) akuntabilitas kepada publik berarti bertanggung jawab dalam proses dan produk yang dihasilkan dalam melakukan aktivitas jurnalisme.

Berita Hoax dan Dampak Negatifnya

Berita hoax adalah informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya. Dengan kata lain, berita hoaxjuga bisa diartikan sebagai upaya memutarbalikan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan, tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Berita hoax juga bisa diartikan sebagai tindakan mengaburkan informasi yang sebenarnya, dengan cara membanjiri suatu media dengan pesan yang salah agar bisa menutupi pesan yang benar.

Dalam survei yang dilakukan mastel.id, bentuk hoax yang paling sering diterima berbentuk tulisan 62,10%, gambar 37,50%, dan video 0,40%. Di sisi lain, saluran penyebaran berita hoax melalui sosial media (facebook, twitter, instagram, path) 92,40%, aplikasi chatting (whatsapp, line, telegram) 62, 80%, situs web 34,90%, televisi 8,70%, media cetak 5%, e-mail 2,10%, dan radio 1,20%. Kemudian, berdasarkan jenis hoax yang sering diterima, sosial politik (pilkada, pemerintah) 91,80%, SARA 88,60%, kesehatan 41,20%, makanan dan minuman 32,60%, penipuan keuangan 24,50%, IPTEK 23,70%, berita duka 18,80%, candaan 17,60%, bencana alam 10,30%, dan lalu lintas 4%.

Beberapa orang yang tidak bertanggung jawab, menggunakan celah ini untuk menggunakan media sosial dalam menyebarkan berita hoax yang dapat berisi ujaran kebencian (hate speech), fitnah, isu-isu provokatif, sentimen SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), dan pemutarbalikkan fakta. Bukan tidak mungkin berita-berita bohong juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal-ekstrem. Hal ini semakin parah ketika musim pemilu. Media sosial, di satu sisi digunakan untuk ajang kampanye positif, namun banyak yang menggunakannya untuk kampanye negatif atau kampanye hitam. Selain dunia politik, kekuatan berita hoax juga merambah ke masyarakat luas dengan menggunakan kedok agama. Bahkan, berita hoax dapat menyasar emosi masyarakat sehingga dengan mudah dapat diadu domba dengan berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Terlebih di era digital masa kini, suatu berita, entah itu benar atau tidak akan dengan mudah tersebar dan sampai ke banyak orang secara cepat dan viral.

Lawan Berita Hoax dengan Edukasi, Literasi, dan Diskusi

Berita hoax cenderung dibuat dengan sengaja untuk memengaruhi opini publik. Masyarakat pasti sependapat apabila dikatakan bahwa berita hoax sangat mengganggu. Akan tetapi, kurangnya pemahaman mengenai berita hoax menjadikan masyarakat sulit membedakan antara berita sejati dengan berita hoax. Dampaknya, berita hoax akan sangat mudah menyebar karena dianggap sebagai berita yang sejati. Oleh sebab itu, perlu pemahaman mengenai berita sejati dengan berita hoax itu sendiri.

Pertama, semua orang perlu mengedukasi diri dengan mempelajari berita ataupun kegiatan jurnalisme. Berbicara mengenai berita maka akan berbicara mengenai fakta. Fakta berarti kenyataan, yang sebenarnya terjadi tanpa dibuat-buat. Tidak ditambahkan dan tidak dikurangi dari apa yang sebenarnya. Berita yang baik selalu berisi 5 W + 1 H, what (apa), why (mengapa), who (siapa), where (di mana), when (kapan), dan how (bagaimana). Berita harus berimbang, dalam artian tidak boleh ada kecenderuangan memihak. 

Sumber beritanya pun jelas, yang berarti jelas siapa yang diwawancarai dan media apa yang menerbitkan berita. Selain itu, bahasanya pun menyesuaikan dengan bahasa jurnalistik: singkat, padat, jelas. Berbeda dengan berita hoax yang tidak memerhatikan kaidah penulisan jurnalistik. Sumber beritanya tidak jelas karena seringkali karangan dan imajinasi dari si pembuat. Begitu pun dengan bahasanya cenderung bombastis atau melebih-lebihkan. Terpenting, berita hoax selalu menyudutkan seseorang ataupun lembaga tertentu.

Kedua, semua orang perlu membaca literasi ataupun mencari sumber-sumber informasi terkait melalui internet maupun media lainnya. Berita hoax seringkali mirip dengan berita sejati. Akan tetapi, dalam beberapa aspek, kebenaran informasi berita hoax masih dapat dipertanyakan bahkan diperdebatkan. Misalkan saja tahun 2017, terdapat berita hoax mengenai vaksin MR, vaksin untuk campak dan rubella dapat menyebabkan kelumpuhan dan autisme. Padahal berdasarkan rilis Kementerian Kesehatan RI, vaksin MR yang digunakan di Indonesia sudah mendapat rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan izin edar dari BPOM. Jadi, vaksinasi MR aman dilakukan. Vaksin ini pun nyatanya telah digunakan di lebih dari 141 negara dunia.

Ketiga, semua orang perlu berdiskusi dengan membentuk forum diskusi mengenai cara menanggulangi berita hoax. Melalui forum diskusi, berbagai keluh kesah dapat diutarakan, khususnya mengenai suatu berita sehingga dapat diketahui apakah informasi tersebut benar adanya atau hanya sekadar hoax. Melalui kegiatan diskusi pula, orang-orang yang terlibat dapat mengungkapkan gagasan dengan saling bertukar pikiran, bahkan dapat menemukan solusi agar dapat meminimalisir penyebaran berita hoax di berbagai media massa, khususnya media sosial dan internet.

Pengalaman Menjadi Korban Hoax 

Pertengahan Agustus 2017, saya mendapatkan pesan singkat dari seseorang yang mengatasnamakan pegawai BRI. Isi SMS tersebut menyatakan bahwa saya mendapatkan undian sebesar Rp50 juta rupiah. Saat itu, saya mengalami dilema karena disatu sisi saya sangat senang mendapat kabar tersebut, sedangkan disisi lain saya tidak yakin mendapatkan hadiah sebesar itu karena saya termasuk nasabah baru dan tabungan saya tidak seberapa.

Saat tengah dilema tersebut, saya mendapatkan panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Ketika saya angkat, seseorang di telepon tersebut mengaku sebagai pegawai BRI dan ingin mengonfirmasi kesediaan saya untuk menerima hadiah tersebut. Awalnya, saya yakin bahwa sms tadi bukan hoax dan orang di seberang telepon memang sebagai pegawai BRI. Akan tetapi, pikiran saya berubah ketika saya diminta mentransfer sejumlah dana ke nomor rekening yang disebutkannya. Saya pun tidak habis akal. Saya juga mencoba  mengonfirmasi pegawai BRI gadungan ini dari kantor cabang mana. Seketika itu, orang tersebut menjadi gagap dan jawabannya pun menjadi berbelit-belit, namun tetap meminta saya untuk mentransfer sejumlah dana.

Menyadari menjadi korban hoax dan bermuara pada kasus penipuan, saya pun langsung mematikan telepon. Tidak berhenti sampai di situ, saya juga mencoba mencari tahu kebenaran mengenai undian tersebut dengan bertanya kepada teman yang menjadi pegawai BRI di kantor cabang Denpasar. Ternyata memang benar undian tersebut hanya berita hoax yang disebarkan oleh orang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan dari korbannya. Semenjak saat itu, saya menjadi lebih waspada dan teliti dalam menerima informasi agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.

Hingga kini, di Indonesia pelanggaran terhadap ketentuan prinsip-prinsip etika jurnalisme masih sering terjadi. Masalahnya bukan pada bagaimana para jurnalis menulis berita, namun masalah besarnya adalah bagaimana jika ada orang awam yang memosisikan diri sebagai seorang jurnalis, sedangkan pengetahuan dan keterampilan sebagai seorang jurnalis sangat minim bahkan cenderung alakadarnya. Padahal melibatkan fakta dalam peristiwa adalah sebuah keharusan dalam kinerja jurnalistik. Lesmana (2017:27) mengatakan bahwa jika jurnalis atau penulis tidak menuliskan hal-hal yang bersifat faktual, maka ia dapat dianggap melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 4 yang berbunyi "Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul". Oleh karena itu, setiap tulisan jurnalistik berita wajib mengandung fakta pada isi tulisannya. Apabila tidak demikian, maka tulisan tersebut hanya sekadar berita bohong yang tidak terbukti kebenarannya.

Referensi

indozone.id. 2017. "Waspada dengan Berita Hoax". Tersedia di https://instagram.com/p/Ba-k1Z3l_Eg/. Diunduh pada tanggal 2 November 2017 di Denpasar.

Lesmana, Fani. 2017. Feature: Tulisan Jurnalistik yang Kreatif. Yogyakarta: Penerbit Andi.

mastel.id. 2017. "Hasil Survey Mastel Tentang Wabah Hoax Nasional".. Diunduh pada tanggal 3 November 2017 di Denpasar.

Nasution, Zulkarnaen. 2015. Etika Jurnalisme: Prinsip-prinsip Dasar.Jakarta: Rajawali Pers.

Rolnicki, Tom E. dkk. 2015. Pengantar Dasar Jurnalisme: Scholastic Journalism. Jakarta: Prenadamedia Grup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun