Pertengahan Agustus 2017, saya mendapatkan pesan singkat dari seseorang yang mengatasnamakan pegawai BRI. Isi SMS tersebut menyatakan bahwa saya mendapatkan undian sebesar Rp50 juta rupiah. Saat itu, saya mengalami dilema karena disatu sisi saya sangat senang mendapat kabar tersebut, sedangkan disisi lain saya tidak yakin mendapatkan hadiah sebesar itu karena saya termasuk nasabah baru dan tabungan saya tidak seberapa.
Saat tengah dilema tersebut, saya mendapatkan panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Ketika saya angkat, seseorang di telepon tersebut mengaku sebagai pegawai BRI dan ingin mengonfirmasi kesediaan saya untuk menerima hadiah tersebut. Awalnya, saya yakin bahwa sms tadi bukan hoax dan orang di seberang telepon memang sebagai pegawai BRI. Akan tetapi, pikiran saya berubah ketika saya diminta mentransfer sejumlah dana ke nomor rekening yang disebutkannya. Saya pun tidak habis akal. Saya juga mencoba  mengonfirmasi pegawai BRI gadungan ini dari kantor cabang mana. Seketika itu, orang tersebut menjadi gagap dan jawabannya pun menjadi berbelit-belit, namun tetap meminta saya untuk mentransfer sejumlah dana.
Menyadari menjadi korban hoax dan bermuara pada kasus penipuan, saya pun langsung mematikan telepon. Tidak berhenti sampai di situ, saya juga mencoba mencari tahu kebenaran mengenai undian tersebut dengan bertanya kepada teman yang menjadi pegawai BRI di kantor cabang Denpasar. Ternyata memang benar undian tersebut hanya berita hoax yang disebarkan oleh orang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan dari korbannya. Semenjak saat itu, saya menjadi lebih waspada dan teliti dalam menerima informasi agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Hingga kini, di Indonesia pelanggaran terhadap ketentuan prinsip-prinsip etika jurnalisme masih sering terjadi. Masalahnya bukan pada bagaimana para jurnalis menulis berita, namun masalah besarnya adalah bagaimana jika ada orang awam yang memosisikan diri sebagai seorang jurnalis, sedangkan pengetahuan dan keterampilan sebagai seorang jurnalis sangat minim bahkan cenderung alakadarnya. Padahal melibatkan fakta dalam peristiwa adalah sebuah keharusan dalam kinerja jurnalistik. Lesmana (2017:27) mengatakan bahwa jika jurnalis atau penulis tidak menuliskan hal-hal yang bersifat faktual, maka ia dapat dianggap melanggar Kode Etik Jurnalistik pasal 4 yang berbunyi "Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul". Oleh karena itu, setiap tulisan jurnalistik berita wajib mengandung fakta pada isi tulisannya. Apabila tidak demikian, maka tulisan tersebut hanya sekadar berita bohong yang tidak terbukti kebenarannya.
Referensi
indozone.id. 2017. "Waspada dengan Berita Hoax". Tersedia di https://instagram.com/p/Ba-k1Z3l_Eg/. Diunduh pada tanggal 2 November 2017 di Denpasar.
Lesmana, Fani. 2017. Feature: Tulisan Jurnalistik yang Kreatif. Yogyakarta: Penerbit Andi.
mastel.id. 2017. "Hasil Survey Mastel Tentang Wabah Hoax Nasional".. Diunduh pada tanggal 3 November 2017 di Denpasar.
Nasution, Zulkarnaen. 2015. Etika Jurnalisme: Prinsip-prinsip Dasar.Jakarta: Rajawali Pers.
Rolnicki, Tom E. dkk. 2015. Pengantar Dasar Jurnalisme: Scholastic Journalism. Jakarta: Prenadamedia Grup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H