KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) diberi mandat untuk menanggulangi korupsi karena Sistem Peradilan Pidana relatif kurang mampu dalam meminimalkan kasus korupsi yang kian parah. Pemberantasan korupsi merupakan bagian yang melekat pada agenda reformasi guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Namun, mengapa lembaga superbody penegakan hukum ini perlahan ‘kukunya tumpul’ dan ‘taringnya patah’?
Ada baiknya kita dekati masalah ini dengan analisis sederhana berperspektif kriminologis. Profesor Muhammad Mustofa (2007) menjelaskan, penggentarjeraan berarti tidak dilakukannya tindakan pelanggaran hukum karena: (1) takut penghukuman [general deterrence (penggentar)], dan (2) takut dihukum karena pernah mengalami penghukuman [specific deterrence (penjera)].
Secara luas, menurut penulis, dampak gentar KPK niscaya akan sangat tergantung dari seberapa besar rasa takut para pelaku potensial untuk melakukan korupsi. Memang untuk mengetahui dan mengukur ‘rasa takut’ ini suatu hal yang sulit karena sangat abstrak (Nettler, 1978). Setidaknya, hal ini dapat terlihat dari seberapa signifikan penurunan jumlah kasus korupsi yang terjadi dari tahun ke tahun.
Lebih terukur lagi, dengan mencermati seberapa minim kerugian keuangan negara. Namun, sebagian kalangan berpandangan, KPK dianggap sukses jika KPK bubar. Yang jadi masalah utama justru pelbagai tekanan atau kepentingan politis segelintir elit mengakibatkan ‘pilih-tebang’ penanganan kasus korupsi begitu terasa dan bahkan KPK juga bakal dianggap tidak independen tatkala ada nuansa kepentingan kalangan yang berkuasa.
Sementara, dampak jera, setidaknya dapat diukur dari seberapa banyak pelaku yang tidak lagi melakukan korupsi karena takut dihukum mengingat mereka pernah mengalami penghukuman. Dalam hal gentar-jera ini, kita tidak dapat mengabaikan peran media massa dalam memublikasi pelbagai penanganan kasus korupsi di Indonesia.
Harap maklum, aspirasi agar KPK bubar setidaknya terbelah menjadi dua. Pertama, yang berdasarkan kepada pemahaman bahwa korupsi merupakan kejahatan (merugikan negara dan masyarakat) sekaligus tindak pidana yang harus ditanggulangi dengan cepat. Justru itu, dibutuhkan suatu lembaga di luar Sistem Peradilan Pidana yang mewakili kewenangannya untuk menggelar penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus korupsi (bersifat superbody), yakni KPK.
KPK hanya dapat dihapuskan bila Kepolisian dan Kejaksaan mampu menanggulangi masalah korupsi dengan profesional. Sejauh aparat Kepolisian dan Kejaksaan belum sanggup, maka keberadaan KPK bersifat mutlak. Bila jumlah kasus korupsi perlahan menurun, maka KPK bisa dibubarkan dan upaya penegakan hukum kasus korupsi benar-benar dikembalikan kepada proses yang relatif universal, yaitu Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian dan Kejaksaan). Dan penulis sepakat dengan gelombang aspirasi yang pertama ini.
Kedua, yang menghendaki KPK bubar karena rasa takut yang muncul dari kinerja KPK yang dianggap fantastis. Publik hanya bisa berspekulasi terhadap apa yang pernah menimpa jajaran Pimpinan KPK. Toh kebenaran bakal 'berbicara' tentang apa dan bagaimana masalah itu sesungguhnya. Yang pasti, awan mendung yang sempat menyelimuti KPK niscaya telah berhasil menyulut tawa segelintir orang yang memang menghendaki hancur-leburnya KPK.
Perlu dipahami, bagi koruptor besar, menurut Profesor Nitibaskara (2005), setiap celah untuk lolos telah dipersiapkan, termasuk jika harus meniti jalan hukum. Lebih gawat lagi, manakala hukum telah dijadikan alat kejahatan (law as tool of crime), maka koruptor yang paling kakap sekalipun tidak mungkin dinyatakan bersalah mengingat tindakannya yang tidak menyalahi aturan hukum.
Namun, kondisi akhir-akhir ini selayaknya menggugah hati nurani publik untuk kian cermat dalam mengawal detak-nadi pemberantasan korupsi di Indonesia. Manakala jajaran Pimpinan KPK yang sekarang bekerja tidak lebih galak dibanding perangkat yang sebelumnya, maka di situlah 'bandul pemberantasan korupsi' bergerak mendekati titik terendah.
Kita mahfum, KPK sempat punya kinerja yang fantastis. Itu bukan karena komitmen Presiden Yudhoyono yang kuat, tegas, dan berkelanjutan. Kecemerlangan KPK kala itu justru karena Ketua KPK-nya ialah Antasari Azhar, seorang mantan jaksa yang kini masuk penjara. Saya yakin, siapapun yang punya akal sehat niscaya bisa mencerna dan mengunyah tali-temali kasus Antasari yang memang lumayan runyam dan rumit itu. Harapan kita, semoga apa yang sesungguhnya menimpa Antasari bakal terungkap, terlepas dari segala kesalahannya sebagai manusia.
Kita ingin bandul pemberantasan korupsi itu bergerak ke arah: semakin banyak kasus korupsi yang diungkap, semakin banyak pelaku korupsi mendapatkan hukuman, dan semakin minim pula kerugian keuangan yang dipikul oleh negara.
Alhasil, perangkat/aturan hukum serta penghukuman (derita/nestapa yang dijatuhkan secara legal oleh negara) juga semakin memperlihatkan kedua dampak di atas, yakni gentar bagi calon (potensial) pelaku korupsi dan jera bagi mantan koruptor yang sudah dihukum.
Pada Desember 2008, penulis melakukan penelitian sederhana (survey) perihal dampak penggentar untuk kasus suap-menyuap pada Pegawai Negeri Sipil di suatu institusi. Hasilnya, dari 63 PNS yang menjadi responden, 55,6% di antaranya merasa bahwa KPK akan melakukan tindakan terkait posisi mereka jika mereka melakukan suap menyuap. Sebanyak 81% di antaranya juga merasa bahwa mereka akan dikenai hukuman terkait posisi mereka jika mereka melakukan suap menyuap.
Bahkan, apabila melakukan suap menyuap, dari 63 responden itu, maka mereka merasa: Akan membuat malu/menjadi beban keluarga (96,8%), Akan hancur masa depan/karir (95,2%), Martabat akan hilang karena muncul di pengadilan (96,8%), Akan dihukum (98,4%), Akan dicerai istri/suami (60,3%), Akan diperlakukan tidak adil di pengadilan (60,3%), Akan dijauhi oleh rekan/sejawat kerja (88,9%), dan Takut segala sesuatu yang bakal terjadi di pengadilan (98,4%). Survey ini memang tidak representatif dan tidak berlaku untuk kepentingan generalisir. Namun, setidaknya dapat memberi gambaran sederhana.
Betapa kinerja KPK yang fantastis dan publikasi secara luas oleh media massa dalam penanganan kasus korupsi telah berhasil menebar dampak penggentarjeraan ke seluruh Indonesia.
Hanya dengan keberanian politik yang luar biasa dari pemerintah dan semangat anti-korupsi yang kuat dari masyarakatlah KPK dapat kian menggentar dan menjerakan.
Tapi, apakah upaya ‘menumpulkan kuku’ dan ‘mematahkan taring’ KPK, dalam arti luas, memang merupakan letupan dari dampak penggentarjeraan dan bahkan rasa takut yang teramat dari segelintir kalangan?
Mungkin saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H