"Kamu yakin ingin pergi kesana? tanyaku sekali lagi.
"Iya kak aku yakin".
 Aku sempat menyergitkan dahi mendengar itu. Setengah tidak percaya.
"Kenapa? bukannya disana berbahaya?" aku bertanya lagi, mencoba memastikan.
Kamu terdiam dan aku juga sama. Diam yang menyakitkan.
Untuk sesaat kita saling memandang. Ini adalah saat terakhir yang indah. Tidak ada kata terucap. Tidak ada social distancing. Hanya diam dan saling menghayati satu sama lain.
"Kak... selama ini aku selalu bersembunyi. Aku selalu mempunyai banyak pilihan dalam hidup. Tetapi tidak ada yang pernah aku ambil. Takut untuk mengambil keputusan. Dan takut untuk menjadi diriku sendiri".
Matamu mulai memerah. Kamu mencoba untuk tidak melemah.
"Ijinkan aku untuk pergi"
Aku tahu aku tidak pernah bisa untuk melarangmu pergi, apalagi untuk bermisi ke tempat yang baru. Misi yang memang mulia yaitu menjadi volunteer ke daerah pandemi. Aku memahami jiwa sosialmu menuntunmu kesana.
"Kita akan bertemu lagi kan?" aku bertanya sekali lagi
"pasti dong kak, tidak usah khawatir.. Hahaha cemburu nih yeehh"
Yaelah siapa yang cemburu, khawatir tau sama kamu" balasku.
Hari itu cerita kita diakhiri dengan sederhana. Tanpa ada kata perpisahan.
------
Sampai pada akhirnya pandemi itu menghilangkan segalanya. Jiwanya dan juga hidupnya.
Aku hanya menerima kabar bahwa dia telah meninggal, karena terjangkit virus dan penyakit komplikasi.
Aku syok dan terpukul, Â terus mempertanyakan kenapa dan bagaimana.
Semua kenangan tentangmu terurai. Tentang awal kita bertemu, cerita panjang kita, malam malam yang kita lalui bersama, mimpi mimpi kita, dan idealisme hidup yang selalu kita pertanyakan.
Hidup memang tidak bisa ketebak. Rindu pun hanya bisa dipendam.
----
Aku ingat kata kata terakhirmu "aku sangat bahagia untuk melakukan ini, dan aku juga bahagia saat bersamamu".