Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yayuk, Ibunya Rayi Berpulang "Ibu" Saya

15 Oktober 2020   20:05 Diperbarui: 15 Oktober 2020   20:16 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEBATANG Terminalia, daunnya bak lembaran Kelor bergerak ke bawah meneteskan gerimis.  Dahannya  merentang ke arah pusara. Pemakaman Karet Bivak, Jakarta Pusat, terasa basah. 

Alam seperti tak kuasa   menahan duka, Jumat, 9 Oktober 2020. Rayi,  penyanyi grup musik RAN,  menyemai kelopak Mawar, Melati.  Beberapa crew kamera program televisi berpakaian hitam menyorot kamera ke wajahnya.

"Allahu Akbar Allahu Akbar." 

Masih terngiang nada serak dilantunkan Rayi. Sebatang jasad,  baru saja diazankan, dikhamadkan dan dirata-tanahkan.

Telah dimakamkan Almarhumah  Yayuk Rahardjo, Ibundanya Rayi. 

Telapak kaki basah saya  bercampur lumpur. Tetesan dingin hujan menggelitik telapak kaki ketika  berdiri di kanan Budi Rahardjo - - akrab disapa Hank. Ia ayahanda Rayi.

Baik Alamarhumah, mapun  Hank, sudah seperti  Ibu dan Ayah saya juga. Dari di saat jasad disemayamkan di bilangan Pancoran Selatan, Jakarta Selatan, maupun ketika  hendak dishalatkan ke Masjid Kecil, tak jauh dari kediamannya, Hank memperkenalkan saya, "Ini  Wandi anak angkat saya." Begitupun ketika saya mengucapkan duka kepada Anjani, putri bontotnya, Hank memperkenalkan saya "anaknya"  juga.

Bagaimana cerita?

Dokpri
Dokpri
Nama lengkap saya Narliswandi, suku Piliang. Syahdan, ketika 1981  masuk SMA Negeri 3 Jakarta, kawan-kawan menyapa Wandi. Di saat SMA itu saya aktif di kegiatan Kelompok  Ilmiah Remaja Jakarta Raya (KIR JAYA), sekretariatnya di LIPI, Jl Merdeka Selatan, kini sudah menjadi kawasan  kompleks Perpustakaan Nasional. Di organisasi itu saya berkenalan dengan Benny Yusmin, adik bontot Almarhumah Yayuk Rahardjo.

Benny berusia di atas saya. Saking akrabnya Benny  menganggap saya  seperti adiknya. Acap saya ke kediaman keluarga Benny kala itu di Patamburan, Jakarta Barat.  

Ibu Yusmin punya binis catering, sementara ayahandanya, penggubah lagu, memainkan beberapa alat musik terutama piano.  Masih ingat bagaimana Pak Yusmin membuat not balok lengkap untuk orkestra. Seingat saya ada beberapa lagu digubah Alm. Pak Yusmin untuk penyanyi era silam,  Arie Koemiran. 

Di malam hari, Pak Yusmin mengiringi live music, memainkan piano di Nigt Club Stardust di bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Acap saya dan Benny, menjemput Pak Yusmin dinihari,  naik Fiat 125. Sesekali kami berdua dari belakang panggung mengintip live music.  Bagi saya hal itu  sebuah pengalaman tersendiri. 

Ada catering, di mana saya juga suka memasak, ada "kakak" keluarganya bermusik, dan Benny aktif pula berorganisasi di KIR.  Lengkap magnet  saya menetap di keluarga itu.

Tak lama Hank dan Yayuk menikah. Ia mengajak saya  mukim bersama keluarga muda itu. Mereka mengontrak rumah petak awalnya di bilangan Rawa Belong, Jakarta Barat. Jadilah kami tinggal serumah bertiga. Saya kala itu ke sekolah acap bersepeda ke Setiabudi, era  belum banyak warga Jakarta  ber-gowes.

Saya ahirnya menyimak dari dekat bagaimana sosok keluarga muda mandiri, kemudian berbisnis secara spartan,

Setelah menamatkan sekolah pariwisata di Theresia, Jakarta, Yayuk bekerja di Hotel Borobudur, kala itu Hotel Chain Intercontinental, dan Hank  bekerja di perusahaan pelayaran Andhika Lines. Keluarga muda pekerja keras.

Saya ingat bagaimana di sebuah akhir bulan, Mas Hank mentraktir makan siang di kantornya  di bilangan Gunung Sahari di Jakarta. Semangkok sayur asam masih saya ingat segar kacangnya. Dan  di rumah, Almarhumah Yayuk paling suka dengan masakan saya gulai nangka diberi tetelan, Kapau, plus dendeng balado.

"Enak sekali Waang." puji akrab  Mbak Yayuk ke saya.

Hingga menjadi  Sales Manager karir Yayuk di  Hotel Borobudur. Seiring dengan perjalanan waktu setamat SMA saya kemudian lebih banyak ngumpul dengan kalangan penyair, penulis, wartawan.

Saya simak dari jauh Yayuk  mulai mendirikan perusahaan jasa Public Relation. Bila saya tak salah ingat, ia punya PT Gayatri Putra Raharja. Judul  depan  perusahan itu mengambil nama puteri pertama mereka, kakaknya Rayi.

Dokpri
Dokpri
Macam-macam, klien  besar Yayuk.  Tak cukup hanya menggawangi jasa PR, ia kemudian mendirikan Indonesia Youth  Orchestra (IYO),  sekaligus sekolah musik bertajuk IYO. Seingat saya IYO mendapat endorsement dari UNESCO, untuk beberapa program  kebudayaan mereka di Indonesia.

Tak cukup hanya berkiprah di bisnis dan musik, Yayuk pun sebagai personal mendalami pengobatan  alternative sebagai terapis, berbasis science fisika,  dikenal  Nutri Energetic System (NES). 

Melalui program ini membuat ia kian sibuk  ke mana-mana malahan sampai ke manca negara. Akan tetapi sebagaimana kita manusia, terkadang malang tak bisa dihindari, kata Mas Hank, mulai  1990, Yayuk mulai terkena Sorosis. Selain mencoba mengobati sendiri, tentulah mereka berusaha ke sana kemari penyembuhan.

Sampailah kepada Kamis malam pekan lalu itu, Allah SWT memanggil  Yayuk, setelah koma 4 hari di ICU rumah sakit. 

Adalah Benny Yusmin mengabari kabar duka. Di jam Tahajud saya tanya alamat duka melalui WA  kepada Mas Hank.  Jelang Jumatan saya sudah berada di rumah duka. 

Sepanjang perjalananan, ingatan saya mengalir akan bagaimana dinamika dan ketegaran anak manusia gigih berkarir, pekerja keras tak kenal lelah, dan berpikir serta terus berbuat bagi  majunya kebudayaan,  peradaban, khususnya musik.

Di saat keranda jenazah hendak di keluarkan dari masjid, hujan turun lebat.  Seketika muka Mbak Yayuk melintas  menyapa saya. Kental kata-katanya soal masakan saya, "Enak Waang."

Penyesalan memang datang belakangan.  Hingga Jumat pekan lalu itu, saya tak kunjung jua mengantar "Kapau" dan Dendeng Balado untuk Mbak Yayuk. Ia telah pergi selamanya.

Di media saya simak wawancara Rayi. Putera kedua Mas Hank dan Mbak Yayuk, mengatakan ia bermusik karena ibundanya.  Lebih dari itu bekal musik keluarga ini memang sudah kental, dari dedengkot musik almarhum Pak Yusmin terutama.

Dalam perjalanan pulang  dari pusara ke rumah saya tersenyum, membayangkan Mbak Yayuk tenang, senang, mengahadap Sang Khalik.

Lamat-lamat saya teringat lirik lagu  Dekat di Hati, RAN. Dulu ketika saya menyanyikan lagu itu, saya tak tahu bahwa penyanyinya "adik" saya.

Dokpri
Dokpri
Terhadap Mbak Yayuk,  bagi mereka yang mengenalnya, hakkul yakin saya mereka akan mengatakan sosok sangat baik, hangat,  menyenangkan, walau kini riil  nun sudah jauh di mata namun  tetap dekat dan lekat  di hati pribadinya.

Husnul Khotimah, Ibu Yayuk. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun