Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia Kaya, Harusnya Jokowi Happy Rakyat Apalagi

29 Juni 2020   09:00 Diperbarui: 29 Juni 2020   09:11 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era kini CPO kena ban di Eropa, sampai Presiden Jokowi harus jadi juru runding. Giliran, kemudian dicarikan solusi, membuat B-20 dan seterusnya, negara harus mensubsidi mereka, pada 2017 negara harus keluar uang Rpo 7 triliun. Sementara warga biasa di Tangerang bikin B-20 500 liter perhari ditangkap polisi.

Begitulah kalau sebuah kelompok usaha menjadi tambun di Indonesia mereka menggurita ke segala lini; memiliki media, "membeli" partai, memiliki tangan langsung ke kekuasaan. Mereka hanya berpikir dirinya, lalu bertameng demi menciptakan lapangan kerja. Anda tentu masih ingat, Kamardi Arif pensiun Dirut BRI, lalu pernah Komut di Sinar Mas.

Tameng lapangan kerja itu pula disemburkan kalimat seorang bintang purnawirawan senior ke sektor Migas. Ia pernah mendatangi menteri ESDM, di era Presiden Jokowi, lalu berujar, "Sampean mau di-reshufle?" Hal itu terjadi setelah sang menteri ingin menjalankan PP 51 tentang Migas sehingga cost recovery (CR) senilai Rp 600 triliun dibayarkan negara bisa diselamatkan. Indikasi TP di sektor Migas ini juga ratusan triliun tiap tahun. Sehingga upaya menyelamatkan uang negara di CR sejatinya laku berpihak ke rakyat. 

Dalam skala lebih kecil. Di sektor saya paham. Dulu ketika menjadi Ketua Pokja Konten dan Aplikasi di Kadin Indonesia, di era M. Hidayat, Ketua Umum, periode pertama, kami turut mendorong adanya dana urunan operator bagi mendukung internet desa. Urunan uang bukan APBN itu berjumlah Rp 7 triliun setahun. Dari sumber saya di BPK RI, saat ini, tahun ini saja ada tunggakan Kemenkominfo Rp 1,2 triliun kepada swasta: lalu sejauh mana internet desa terbangun setiap tahun, wallahuawam, ke mana saja uang Rp 42 triliun itu dipakai selama 6 tahun ini? 

Sementara tanggung jawab utama kementrian menggawangi komunikasi publik, humas bangsa dan negara, juga humas presiden; terasa mendekati titik nadir; tidak ada panduan mereka terhadap sosialisasi Saya Pancasila, diksi terindikasi memecah belah tak layak uar, mereka dukung. Di kementrian ini pula tender Palapa Ring, a,b dan seterusnya, dikuasai satu korporat, apakah ini bentuk tanda terimakasih kepada menterinya didukung korporat naik, hanya badan seperti BPK, KPK dapat mengurai. Presiden Jokowi saya duga tidak ngeh.

Rekaman pidato Presiden Jokowi, 18 Juni lalu  tersebar ke lini masa, menjadi bahasan, viral di Sosmed. Semalam saya simak pro kontra ganti menteri dan ganti presiden.

Saya tak ingin masuk ke dikotomi itu. Saya teringat akan puzzle kecil belum pernah saya buka ke publik, dari banyak cerita lain tentu, perihal ketika kami mengajak Pak Jokowi ke Padang 30-31 Agustus 2013. Setelah dari Unand memberi kuliah umum, berjudul peran Sosial Budaya Membentuk Pemimpin Berintegritas, di mobil menuju ke Universitas Bung Hatta, kuliah umum kedua, baju kaus dalam Jokowi basah. Kala itu ia Tanya kepada David, ADC, bawa kaus ganti, dijawab tidak. Akhirnya kami mampir ke minimarket membeli. Pak Jkowi bilang, "Nanti sebelum masuk ruangan kuliah umum minta waktu ganti baju dalam."

Saya katakan, mana mungkin. Mahasiswa dan warga pasti menyemut. Ganti saja di mobil. Saya di jok belakang berdua isteri, Sandra. Ia di tengah dengan Rektor Bung Hatta. Pak Jokowi memilih saran saya. Ia ganti baju di mobil.

Pulang dari Padang, di Bandara Soekarno Hatta, sebagaimana lazimnya jalan Jokowi cepat, isteri saya selalu tertinggal di belakang. Ketika hendak keluar menuju mobil ia tanya, "Mbak Sandra mana, Mas Iwan?"

Saya jawab biasa Pak. Tertinggal di belakang.

Ia berdiri. Kami ngobrol. Menunggu. Ada sekitar 2-3 menit. Begitu isteri saya sampai, Jokowi menyalami, dan menundukkan badan, "Terima kasih ya Buk, sudah membantu, menemani saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun