PEMERINTAHAN Presiden Jokowi, semestinya tak kekurangan uang. Ia bahkan dapat memberikan Rp 15 juta untuk masing-masing Kepala Keluarga Indonesia, selama 6 bulan, di saat musibah Covid-19.
Hal itu dapat dilakukan, bila sejak 6 tahun lalu, pola pemindah-bukuan mengakali pajak oleh korporasi besar dan sangat besar dengan istilah transfer pricing diproses di pengadilan pajak.Â
Sebagaimana acap saya tulis dan sering bunyikan di Twitter, indikasi transfer pricing (TP)Â setiap tahun 65% dari total transaksi perdagangan. Angkanya pada setahun 2005 saja Rp 1.300 triliun. Maka bila saja Pengadilan Pajak membuktikan 30% dari jumlah kasus, negara dapat uang Rp 390 tiliun, bandingkan devisa dari TKI, TKW, 2005 hanya Rp 70 triliun.
Naiknya transaksi perdagangan, otomatis meninggikan TP tahun berikutnya. Pada 2017 di catatan saya indikasi TP sudah Rp 2.200 triliun.Â
Soal ini pernah saya ungkap kepada Capres Jokowi, pada saat Umroh di Minggu tenang di saat di Mekah, 2014. Seorang Zia Hul Haq, Pakistan, dengan ekonomi lebih jelek dari Indonesia bisa mengatakan ke Raja Fahd dulu, "Kami tak mengirim perempuan kami bekerja ke luar negeri karena yakin tak mampu melindungi kehormatannya." Citra kita karena mengirim TKW ke Timur Tengah, sempat bagaikan negeri babu gampang digauli.Â
Tidak mudah mengurus TP itu. Korporasi di Indonesia beberapa kolompok kadung sangat besar. Mereka meng-oligarki. Kiprahnya masuk ke ranah trias politika, menjadi pendana utama bagi partai politik, bahkan diduga pun menjadi tempat bridging uang instansi vital negara. Apalagi dengan strategi korporat menempatkan mantan bankir, bintang-bintang eks tentara dan polisi menjadi komut, komisaris.Â
Hubungan mereka ke kepolisian, ke tentara, ke kejaksaan, seakan akrab. Dari verifikasi saya, di Pengadilan Pajak, setiap staf Direktorat Pajak, menggugat TP ke mereka, tim DJP, diperlakukan bak tamu, padahal mereka sesama bekerja untuk negara.
Begitulah indikasi kekuatan kapital korporasi mengubah-ubah keadaan. Bahkan masih dari verifikasi, jatah menteri untuk Parpol dilego dengan imbalan uang dari sang calon. Saya menemukan dua nama, terindikasi membayar Rp 500 miliar dan seorang lagi Rp 350 miliar ke Parpol. Uangnya, diduga dari korporasi, terindikasi tajam. Hal ini saya yakini Presiden Jokowi murni tak paham.
Saya teringat kepada 1986-1989 ketika masih menjadi wartawan di SWA. Majalah itu sering bikin diskusi terbatas. Pada 1989 setelah berhenti jadi wartawan, saya mendirikan Jasa Markom, personal branding, dan acap pula bikin diskusi rutin perbankan di Hilton Executive Club, kini Hotel Sultan. Mereka hadir: Kukuh Basuki, BNI, Widarsadipraja, BDN, Omar Abdalla, BBD, Kamardi Arif, BRI, para Dirut bank pemerintah.
Era itu banyak pengusaha punya HGU merencanakan penanaman sawit. Mereka ngintil bankir, dalam bahasa saya, kentut pun para bankir kala itu akan mereka bilang wangi.
Mereka menjaminkan HGU, dapat kredit besar dari bank pemerintah berbunga murah. Dalam verifikasi saya, luasan HGU mereka, lahannya belum diolah, dominan terindikasi lahan di luar HGU digarap, baru kemudian area HGU-nya, total asset menjadi HGU plus. Setelah berproduksi, ekspor CPO dominan TP.Â
Di era kini CPO kena ban di Eropa, sampai Presiden Jokowi harus jadi juru runding. Giliran, kemudian dicarikan solusi, membuat B-20 dan seterusnya, negara harus mensubsidi mereka, pada 2017 negara harus keluar uang Rpo 7 triliun. Sementara warga biasa di Tangerang bikin B-20 500 liter perhari ditangkap polisi.
Begitulah kalau sebuah kelompok usaha menjadi tambun di Indonesia mereka menggurita ke segala lini; memiliki media, "membeli" partai, memiliki tangan langsung ke kekuasaan. Mereka hanya berpikir dirinya, lalu bertameng demi menciptakan lapangan kerja. Anda tentu masih ingat, Kamardi Arif pensiun Dirut BRI, lalu pernah Komut di Sinar Mas.
Tameng lapangan kerja itu pula disemburkan kalimat seorang bintang purnawirawan senior ke sektor Migas. Ia pernah mendatangi menteri ESDM, di era Presiden Jokowi, lalu berujar, "Sampean mau di-reshufle?" Hal itu terjadi setelah sang menteri ingin menjalankan PP 51 tentang Migas sehingga cost recovery (CR)Â senilai Rp 600 triliun dibayarkan negara bisa diselamatkan. Indikasi TP di sektor Migas ini juga ratusan triliun tiap tahun. Sehingga upaya menyelamatkan uang negara di CR sejatinya laku berpihak ke rakyat.Â
Dalam skala lebih kecil. Di sektor saya paham. Dulu ketika menjadi Ketua Pokja Konten dan Aplikasi di Kadin Indonesia, di era M. Hidayat, Ketua Umum, periode pertama, kami turut mendorong adanya dana urunan operator bagi mendukung internet desa. Urunan uang bukan APBN itu berjumlah Rp 7 triliun setahun. Dari sumber saya di BPK RI, saat ini, tahun ini saja ada tunggakan Kemenkominfo Rp 1,2 triliun kepada swasta: lalu sejauh mana internet desa terbangun setiap tahun, wallahuawam, ke mana saja uang Rp 42 triliun itu dipakai selama 6 tahun ini?Â
Sementara tanggung jawab utama kementrian menggawangi komunikasi publik, humas bangsa dan negara, juga humas presiden; terasa mendekati titik nadir; tidak ada panduan mereka terhadap sosialisasi Saya Pancasila, diksi terindikasi memecah belah tak layak uar, mereka dukung. Di kementrian ini pula tender Palapa Ring, a,b dan seterusnya, dikuasai satu korporat, apakah ini bentuk tanda terimakasih kepada menterinya didukung korporat naik, hanya badan seperti BPK, KPK dapat mengurai. Presiden Jokowi saya duga tidak ngeh.
Rekaman pidato Presiden Jokowi, 18 Juni lalu  tersebar ke lini masa, menjadi bahasan, viral di Sosmed. Semalam saya simak pro kontra ganti menteri dan ganti presiden.
Saya tak ingin masuk ke dikotomi itu. Saya teringat akan puzzle kecil belum pernah saya buka ke publik, dari banyak cerita lain tentu, perihal ketika kami mengajak Pak Jokowi ke Padang 30-31 Agustus 2013. Setelah dari Unand memberi kuliah umum, berjudul peran Sosial Budaya Membentuk Pemimpin Berintegritas, di mobil menuju ke Universitas Bung Hatta, kuliah umum kedua, baju kaus dalam Jokowi basah. Kala itu ia Tanya kepada David, ADC, bawa kaus ganti, dijawab tidak. Akhirnya kami mampir ke minimarket membeli. Pak Jkowi bilang, "Nanti sebelum masuk ruangan kuliah umum minta waktu ganti baju dalam."
Saya katakan, mana mungkin. Mahasiswa dan warga pasti menyemut. Ganti saja di mobil. Saya di jok belakang berdua isteri, Sandra. Ia di tengah dengan Rektor Bung Hatta. Pak Jokowi memilih saran saya. Ia ganti baju di mobil.
Pulang dari Padang, di Bandara Soekarno Hatta, sebagaimana lazimnya jalan Jokowi cepat, isteri saya selalu tertinggal di belakang. Ketika hendak keluar menuju mobil ia tanya, "Mbak Sandra mana, Mas Iwan?"
Saya jawab biasa Pak. Tertinggal di belakang.
Ia berdiri. Kami ngobrol. Menunggu. Ada sekitar 2-3 menit. Begitu isteri saya sampai, Jokowi menyalami, dan menundukkan badan, "Terima kasih ya Buk, sudah membantu, menemani saya."
Itu sosoknya sebagai kawan.
Akan tetapi Jokowi kepada kawan seperti FX Rudy, tentu lebih banyak berbuat bagi karirnya menjadi Presiden, saya duga telah melukai hati Rudy paling dalam. Majunya Gibran sebagai calon walikota Solo, mendaftar ke pengurus tingkat propinsi, bagi saya titik krusial. Bukan mendaftar ke pengurus cabang Solo, di mana Rudy, kini Walikota Ketua DPC PDIP. Kembali, dari kerja verifikasi, Â skenario ini saya duga digerakkan mesin oligarki, korporat, bukan suruhan sosok pribadi Jokowi saya kenal.
Setahun terakhir saya kebetulan diajak kawan-kawan  Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) bergabung jadi pengurus. Dari situ saya menyimak ada solusi tambang emas rakyat; ada legal WPR dan ijin IPR bisa iurus. APRI punya solusi menambang tanpa merkuri. Lalu data 2 x volume produksi emas Freeport dan 25 x produksi Antam setahun dihasilkan  tambang emas rakyat.Â
Hari ini di banyak daerah tambang emas berjalan abu-abu, hasil resminya "menguap". Detik ini kalau kita ke kali Pidi di Aceh, 3.600 orang saban hari mengayak aluvial, dapat emas antara setengah sampai segram sehari.Â
Di Sumbar saya dapat dokumen, Raffles mengirim surat ke istrinya dulu bilang, mereka ke Nusantara cari emas. Maka dari data itu saya meyakini emas di Indonesia ini masih banyak, cuma dugaan lagi: korporasi selalu sosialisasikan tak da itu, yang layak tambang secara korporat satu dua. Makanya secara pribadi, saya tak pernah membahas kuatir soal hutang kita tambun, karena kami punya solusi bersama APRI membayar hutang Rp 10 ribu triliun pun.
Di ranah dikotomi reshufle atau tidak, Presiden Jokowi berhenti atau lanjut, saya tak ingin masuk ke sana.
Bagi saya korporasi meng-oligarki di Indonesia telah sangat berbeda karakternya dengan konsep kekuasaan. Di kekuasaan memuliakan ketulusan keinsanan saya pahami, ada ruh Illahiahnya.
Maka secara jujur saya katakan melalui tulisan ini --karena ada kekuatan selalu menghambat bertemu Bapak Presiden, saya duga tangan gurita korporat-- Â dalam 6 tahun ini, dominan hati rakyat saya tersakiti, paling tidak merasa terganggu. Tingkat kepercayaan publik pun drop. Jauh dari situasi 2014 saat Pak Jokowi dilantik presiden 20 Oktober 2014 di mana dinihari jam 01.30 saya pamit dari Istana Negara, Pak Presiden masih nunduk seperti orang Jepang disalami.
Akhir kata saya cuma mau menulis begini: Indonesia kaya, seharusnya Pak Jokowi happy rakyat senang, ranah komunikasi publik bagus berisi aura positif. Saya pastikan segala kebaikan itu hari ini ada di lubuk hati rakyat, bukan di pemilik korporasi, pelaku TP, terindikasi mengatur segala, termasuk calon jadi presiden 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H