JALAN RAYA  Banjaran, Desa  Langonsari, Pamengpeuk, Bandung Selatan. Minggu, 3 Mei 2020. Di 10.30 langit biru pekat.  Di atap  rumah kediaman  - - sekaligus workshop - - Soson Garsoni, 60 tahun, tampak berdiri.  Di sela kakinya rimbunan  rumpun padi hijau melambai titingkah angin. Padi di atap rumah.  tumbuh di pot dan polybag, portebel.
Sawah portable.Â
Sonson mengistilahkannya: sawah portebel.
Tentu tak hanya di atap, di halaman, berand rumah, di pot atau polibeg dapat ditempatkan.
Sebutir padi ditanamnya masing-masing di pot dan atau polybag.  Dari "sawah" pot-polibeg itu Sonson menjawab  kontak saya.  Di belakangnya dua bukit hijau bagaikan di lukisan semasa kanak,  gunung segitiga melatari.
Sosok pria lulusan Eknomi Sosial Pertanian, Institut Pertanian Bogor itu, baru saja saya ketahui melalui sebuah video berdurasi 4 menit di-posting di whatsapp grup (WAG) Forum Akselerasi Masyarakat Madani Indonesia (FAMMI) tentang sawah  unik ini.
Adalah Dwi Yunanto, memberikan saya kontak Soson. Data di footage: dari 9 pot atau polibeg, dideretkan di  radius 1 m2,  sawah ini menghasilkan padi 150 gram beras, tiga bulan masa tanam padi.  Maka untuk area  100 m2 mendapatkan 135 kg beras.
"Keluarga  pemilik rumah type 21 dengan dua orang anak, sudah tercukupi  berasnya dengan menanam sawah portebel di atap rumahnya," tutur Sonson.
"Satu hektar menghasilkan tiga belas setangah ton."
"Setahun bisa empat kali panen. Tanpa semai bibit, tanpa irigasi, Â tanam benih langsung, tabela."
Jelas ini sebuah terobosan bagi  kelangkaan pangan.  Dan Sonson membuat inovasi ini sudah sejak 2011, akan tetapi belum tersosialisasikan secara masif. Dalam keadaan Indonesia dijangkiti virus Covid-19 saat ini, di mana sebagian besar wilayah dilakukan pembatasan, Jakarta khususnya, sudah dua bulan ekonomi seakan berhenti, kebutuhan akan pangan krusial.  Maka jika setiap rumah tangga menanam sawah portebel, dipastikan tak akan kekurangan bahan makanan pokok, beras.
Dari bilangan Cempaka Putih Tengah, Â Jakarta Pusat, Â saya terkesima mendengar keterangan Sonson.
Langit Jakarta di udara matahari mulai menyengat pun biru, seakan mematahkan "teori" Arbain Rambey - - fotografer Kompas - -  pernah  beramsal bila  ingin memotret Jakarta berlangit biru, maka  lakukanlah  di hari kedua lebaran. Covid-19, telah membuat langit Jakarta saban hari biru-biru. Dalam suasana itu saya menggali terobosan Sonson.
"Sebuah kehormatan menghubungi saya," kata Sonson melalui telepon.
Ia mengakui, sejatinya dominan profesinya di waste management. Ia  membangun beberapa proyek pengolahan sampah  dijadikan energy, biogas. Dalam perkembangan,  ada bahan sisa, lumpur. Lumpur sangat halus itu dalam pemahamannya dapat menjadi medium  tanam padi. Maka sejak 2011,  Sonson sudah tak lagi membeli beras. Konsep  sawah portebel itu pun  mulai ditiru orang. Ia senang.
Tak berhenti hanya di sawahnya,  bermodalkan Rp 6 juta ia membuat alat teknologi tepat guna, penggiling gabah. Maka di video dikirim disusulkan ke saya, Sonson  mengatakan, kalau saja setiap  rumah menanam sawah ala dia, punya mesin penggiling padi sendiri, tuntas sudah persoalan berasnya.
"Ekonomi off farm; penggilingan, distribusi ke end coumers beras, selama ini dilakukan Bulog dan swasta bisa diserahkan langsung ke setiap rumah tangga," ujarnya.
Ia mencontohkan dengan alat sederhana kapasitas 50-100 kg sehari rumah tangga bisa mengubah gabah lalu menjual beras. Konversi gabah ke beras pada rendemen 70% Â memberikan marjin Rp 2000-3000/kg. "Dengan kondisi alam, plus, membuat sawah portebel, tidak pantas ada orang kelaparan, busung lapar," tuturnya. Itu artinya jika tak punya sawahnya, cukup membeli gabah bisa mendapatkan keuntungan, apalagi melengkapi dengan sawah, memiliki padiu sendiri.
Menjadi pertanyaan, bagaimana di perkotaan  bagim,an mendapatkan lumpur medium tanam?
"Gampang, setiap rumah tangga membuat tong pengolahan bio gas masing," katanya lagi, "Dari situ aka nada sisa limbah berupa lumpur. Lumpur itu dijadikan menium tanam."
Maka tak heran sosok seperti Doktor Scott Kennedy, dari Energy Action Patners Masdar Institute of Science Technology, UAE, sengaja datang ke desanya, menyimak bagimana sawag portebel Sonson, memakai medium limbah dari biogas.
Masdar City sendiri, saya simak keberadaannya sejak 2008. Hampir setiap dua tahun kami ke sana. Empat tahun lalu, saya dan isteri, Sandra, sudah mencoba naik mobil PRT, Public Rapid Transport, Â mobil listrik, 4 penumpang tanpa supir di kota zero waste zero carbon itu. Energi Masdar dari matahari, angin dan gelombang laut.
Saya ingatkan Sonson, kalau Masdar University setiap tahun memberikan grant bagi riset renewable energy lebih dari US 50 juta. Hal ini sudah saya sampaikan ke pemerintah kita sejak 2009, akan tetapi justeru, baru Sonson didatangi ahlinya. Dan saya motivasi Sonson untuk mengembangkan inovasinya lebih luas dengan dukungan Masdar. Dengan rendah hati ia mengatakan, "Pak Iwan-lah yang urus."
Karenanya ketika ia mengajak saya menjadi penanggap bagi  pelatihan  gratis sawah potebel, melalui video zoom-nya Selasa depan, dengan riang gembira saya menyambutnya. Ia tak minta bagian Rp 5,6 triliun uang pelatihan pra pekerja, yang terindikasi  kolusi itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H