Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Helmy dan Perjalanan "Memperkosa" TVRI

19 Januari 2020   11:47 Diperbarui: 24 Januari 2020   00:32 3451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AZAN magrib belum lama berlalu. Warna rumput  di halaman Istana Negara, Jakarta, hamparannya masih terlihat bagaikan ambal hijau bak di siang hari. Malam seakan enggan ke peraduan. Hari  itu 20 Oktober 2014, momen pertama kali Presiden Joko Widodo di istana. Di luar pagar istana, warga menyemut. Mereka tidak berselera setetes pun bergerak-beranjak.

Banyak dari mereka masih memegang bendera dan simbol relawan pendukung Presiden Jokowi Widodo (Jokowi). Ia  siangnya, baru saja dilantik sebagai Presiden RI ke-7. Relawan, warga, mengelu-elukan presiden baru. Banyak warga sengaja datang dari luar kota; ada liturgi mereka bersepeda dari Sumatera; ada warga  berjalan kaki dari Jawa. Mereka semarak meruyak di sepanjang jalan dari arah DPR RI, Senayan, ke arah Semanggi, Jl Sudirman, Jl Thamrin hingga ke istana.

Selera antusias warga itu ingin bertemu, bersalaman, dengan Presiden Jokowi menggebu-gebu. Animo itu bagaikan api disiram bensin, karena mereka dari balik pagar menyimak pula tontonan, di mana Najwa Shihab, Metro TV, dengan crew tampak memegang mikropon. Metro, akan mengadakan siaran langsung, perdana dari istana. Saya menduga rating, acuan penetrasi sebuah program teve, menjadi tertinggi malam itu.

Lokasi wawancara, berjarak sepanjang lapangan basket dari titik tiang bendera, tempat Sang Saka Merah Putih dikibarkan setiap 17 Agustus. Kamera menghadap ke istana. Saya perhatikan di teve  monitor crew, siaran  berlatar Istana Negara, lampu-lampu menyala, lengkungan umbul-umbul  Merah Putih  tampak mendominasi.

Terlintas kala itu di benak saya mengapa bukan kesempatan wawancara pertama "sakral" itu tidak diberikan kepada TVRI, televise negara? Selayang ide itu sontak saya benamkan karena subjektifitas hati sangat mendukung Presiden Jokowi sejak ia masih Walikota Solo, awal 2009, apapun tersaji harus didukung.

Literair di atas teringat kembali di benak saya ketika sejak penghujung 2019 lalu, ada sas-sus di TVRI. Di mana terjadi ketegangan antara Dewan Pengawas TVRI, dengan Dirut TVRI, Helmy Yahya. Saya ikuti akun Sosmed Helmy, hingga ia berlibur ke Inggris penghujung tahun lalu. Dari beberapa kontennya, saya memperkirakan konflik di TVRI akan  dapat teratasi.

Akan  tetapi, Minggu kedua Januari 2020, publik mendapatkan kabar dari DPR, bahwa sesuai  keputusan Dewan Pengawas, maka Helmi diberhentikan. Dan bukan pula rahasia, berita demo karyawan TVRI menyegel ruang kerja Dewan Pengawas TVRI mengalir ke publik. Karyawan mendukung kebijakan Helmi selama ia menjabat, logo TVRI lebih modern, program-program ratingnya naik, bahkan sempat meninggalkan rating dua televisi swasta. Pemirsa menikmati pertandingan bola liga Ingrris.

Sedangkan di publik, untuk mendapatkan komentar, acuan saya lagi-lagi Sosmed. Di antara tokoh berkomentar adalah Ulama Bali, Mpu Jaya Prema, dulu bernama Putu Setia, saat menjadi wartawan senior Tempo. Ia menulis di Twitter, "Saya tak kenal Helmi Yahya, tetapi saya simak siaran TVRI di kala ia memimpin kian bagus." Nada demikian pun kalau di-polling, saya duga akan  tinggi.

Adakah hal fatal dilanggar Helmi? Kalau mengacu ke UU Penyiaran Publik, di mana peran Dewan Pengawas (Dewas) dapat memberhentikan direksi, mereka punya kekuatan veto. Di sinilah tampaknya gesekan itu. Ada bagian pola operasional manajeman diduga dalam pembelanjaan program tak seirama setujuan dengan arahan Dewas.

Akan tetapi dari verifikasi saya, terindikasi Dewas belum pernah melakukan teguran pertama, kedua dan seterusnya baru mencabut mandat, misalnya.

Jauh hari ketika UU Penyiran publik dibuat, jejak digital saya di Sosmed masih dapat di-trace, bahwa melalui UU itu TVRI sebagai televisi negara menjadi seakan "terperkosa", lalu TELEVISI SWASTA kemudian terindikasi tajam MENJADI NEGARA DALAM NEGARA. Simak sajalah di dunia televisi negara di tiap negara nasibnya adkah seperti  TVRI, berapa banyak negara memakai UU Penyiaran untuk TV RI diterapkan sebagaimana di kita saat ini?

Perjalanan "memperkosa";  TVRI  karena memiliki jaringan terluas, dilarang menerima iklan. Secara psikologi massa, masuk akal kalau narasi iklan mempengaruhi perilaku publik di mana strata ekonomi masih jomplang-jampling tak baik. Tetapi di sisi lain, faktor ini menjadi alasan kuat bagi televisi swasta melarang TVRI menerima iklan.

Diambillah jalan tengah agar TVRI tak menerima iklan tetapi teve swasta memberikan sebagian kecil pendapatan iklan untuk TVRI sebagai kompensasi. Logika ini mirip dengan ranah frekuensi ada hak publik, maka di operator selular ada kewajiban membayar dana Universal Service Obligation (USO), dapat digunakan negara mengatasi kesenjangan digital (Digital Devide).

Pola jatah iklan TVRI  dari teve swasta ini tak berjalan. Seingat saya ada tagihan TVRI dulu menguap begitu saja di atas Rp 300 miliar ke teve swasta. Di bidang berbeda dana USO, di operator selular, juga kita tak tahu kini berapa dan digunakan untuk apa, berapa luas kesenjangan digital diatasi melalui USO?

Sudah acap direksi TVRI berganti. 

Helmy dalam subjektif saya telah bekerja memajukan TVRI. Akan tetapi bila menyimak UU, dan adanya Dewas dipilih perlemen, dan partai politik itu publik paham sepak terjangnya, bukan rahasia misalnya di Dewas terindikasi duduk pula "titipan" teve swasta. Ambil contoh Arief Thamrin, sebagai Ketua Dewas TVRI, sebelumnya pernah karyawan Metro TV.

Maka, dugaan saya dengan melesatnya rating TVRI di bawah kepemimpinan Helmy yahya, jelas teve Sawsta kini mulai terganggu. Apalagi setelah era Pemilu, dana iklan kini mulai drop, pendapatan teve sawsta kian drop dan TVRI kian kinclong. Maka, sebuah indikasi kesalahan dereksi, lubang masuk menurunkan sang direksi, men-downgrade kembali  untuk kesekian TVRI.

Begitulah siklus jernih perjalanan "memperkosa" TVRI saya amati.

Karena itulah pada 2024 mendatang, kalau presiden baru terpilih, saya akan menyarankan sebelum pulang ke Istana Negara dari DPR, mampir ke TVRI. Saya bukan mengajak ke studio siaran live presiden, tetapi mengecek setiap lantai gedung tinggi TVRI itu; cek toilet, cek ruang kerja; termasuk ruang programa kerjasama TVRI dan TNI, misalnya, di program Anake Ria, tengok studio, tanya di mana Alm., Jus Badudu direkam siaran Pembinaan Bahasa, juga Alm., Tino Sidin mengalirkan kegembiraan  ke anak negeri melalui Mari Menggambar-nya, dan seterusnya.

Sehingga pada  malam pelantikan Presiden 2024 nanti, narasi saya: Sepuluh meter dari tiang bendera Merah Putih, nun di ambal rumput hijau Istana Negara, crew TVRI menyiapkan siaran live perdana bla-bla bla.

Setahu saya  dalam berbangsa dan bernegara, seorang presiden memang harus memiliki aksi afirmasi membesarkan televisi negaranya, bukan malahan memberi tempat lebih ke televisi swasta, di mana mereka tajam diduga menjadi negara dalam negara, kepentingannya; kelompoknya; dan bisnis murninya!

Bila afirmasi itu tidak terjadi, maka dengan diksi hiperbola, saya katakan Malaikat pun menjadi Dirut TVRI, akan diuyak-uyak terus dan menerus; melalui undang-undang diciptakan, melalui kekuatan modal mempengaruhi parleman; segala cara: agar rakyat, penonton,  cuma melongo-longo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun