AZAN magrib belum lama berlalu. Warna rumput  di halaman Istana Negara, Jakarta, hamparannya masih terlihat bagaikan ambal hijau bak di siang hari. Malam seakan enggan ke peraduan. Hari  itu 20 Oktober 2014, momen pertama kali Presiden Joko Widodo di istana. Di luar pagar istana, warga menyemut. Mereka tidak berselera setetes pun bergerak-beranjak.
Banyak dari mereka masih memegang bendera dan simbol relawan pendukung Presiden Jokowi Widodo (Jokowi). Ia  siangnya, baru saja dilantik sebagai Presiden RI ke-7. Relawan, warga, mengelu-elukan presiden baru. Banyak warga sengaja datang dari luar kota; ada liturgi mereka bersepeda dari Sumatera; ada warga  berjalan kaki dari Jawa. Mereka semarak meruyak di sepanjang jalan dari arah DPR RI, Senayan, ke arah Semanggi, Jl Sudirman, Jl Thamrin hingga ke istana.
Selera antusias warga itu ingin bertemu, bersalaman, dengan Presiden Jokowi menggebu-gebu. Animo itu bagaikan api disiram bensin, karena mereka dari balik pagar menyimak pula tontonan, di mana Najwa Shihab, Metro TV, dengan crew tampak memegang mikropon. Metro, akan mengadakan siaran langsung, perdana dari istana. Saya menduga rating, acuan penetrasi sebuah program teve, menjadi tertinggi malam itu.
Lokasi wawancara, berjarak sepanjang lapangan basket dari titik tiang bendera, tempat Sang Saka Merah Putih dikibarkan setiap 17 Agustus. Kamera menghadap ke istana. Saya perhatikan di teve  monitor crew, siaran  berlatar Istana Negara, lampu-lampu menyala, lengkungan umbul-umbul  Merah Putih  tampak mendominasi.
Terlintas kala itu di benak saya mengapa bukan kesempatan wawancara pertama "sakral" itu tidak diberikan kepada TVRI, televise negara? Selayang ide itu sontak saya benamkan karena subjektifitas hati sangat mendukung Presiden Jokowi sejak ia masih Walikota Solo, awal 2009, apapun tersaji harus didukung.
Literair di atas teringat kembali di benak saya ketika sejak penghujung 2019 lalu, ada sas-sus di TVRI. Di mana terjadi ketegangan antara Dewan Pengawas TVRI, dengan Dirut TVRI, Helmy Yahya. Saya ikuti akun Sosmed Helmy, hingga ia berlibur ke Inggris penghujung tahun lalu. Dari beberapa kontennya, saya memperkirakan konflik di TVRI akan  dapat teratasi.
Akan  tetapi, Minggu kedua Januari 2020, publik mendapatkan kabar dari DPR, bahwa sesuai  keputusan Dewan Pengawas, maka Helmi diberhentikan. Dan bukan pula rahasia, berita demo karyawan TVRI menyegel ruang kerja Dewan Pengawas TVRI mengalir ke publik. Karyawan mendukung kebijakan Helmi selama ia menjabat, logo TVRI lebih modern, program-program ratingnya naik, bahkan sempat meninggalkan rating dua televisi swasta. Pemirsa menikmati pertandingan bola liga Ingrris.
Sedangkan di publik, untuk mendapatkan komentar, acuan saya lagi-lagi Sosmed. Di antara tokoh berkomentar adalah Ulama Bali, Mpu Jaya Prema, dulu bernama Putu Setia, saat menjadi wartawan senior Tempo. Ia menulis di Twitter, "Saya tak kenal Helmi Yahya, tetapi saya simak siaran TVRI di kala ia memimpin kian bagus." Nada demikian pun kalau di-polling, saya duga akan  tinggi.
Adakah hal fatal dilanggar Helmi? Kalau mengacu ke UU Penyiaran Publik, di mana peran Dewan Pengawas (Dewas) dapat memberhentikan direksi, mereka punya kekuatan veto. Di sinilah tampaknya gesekan itu. Ada bagian pola operasional manajeman diduga dalam pembelanjaan program tak seirama setujuan dengan arahan Dewas.
Akan tetapi dari verifikasi saya, terindikasi Dewas belum pernah melakukan teguran pertama, kedua dan seterusnya baru mencabut mandat, misalnya.
Jauh hari ketika UU Penyiran publik dibuat, jejak digital saya di Sosmed masih dapat di-trace, bahwa melalui UU itu TVRI sebagai televisi negara menjadi seakan "terperkosa", lalu TELEVISI SWASTA kemudian terindikasi tajam MENJADI NEGARA DALAM NEGARA. Simak sajalah di dunia televisi negara di tiap negara nasibnya adkah seperti  TVRI, berapa banyak negara memakai UU Penyiaran untuk TV RI diterapkan sebagaimana di kita saat ini?