Perjalanan "memperkosa"; Â TVRI Â karena memiliki jaringan terluas, dilarang menerima iklan. Secara psikologi massa, masuk akal kalau narasi iklan mempengaruhi perilaku publik di mana strata ekonomi masih jomplang-jampling tak baik. Tetapi di sisi lain, faktor ini menjadi alasan kuat bagi televisi swasta melarang TVRI menerima iklan.
Diambillah jalan tengah agar TVRI tak menerima iklan tetapi teve swasta memberikan sebagian kecil pendapatan iklan untuk TVRI sebagai kompensasi. Logika ini mirip dengan ranah frekuensi ada hak publik, maka di operator selular ada kewajiban membayar dana Universal Service Obligation (USO), dapat digunakan negara mengatasi kesenjangan digital (Digital Devide).
Pola jatah iklan TVRI Â dari teve swasta ini tak berjalan. Seingat saya ada tagihan TVRI dulu menguap begitu saja di atas Rp 300 miliar ke teve swasta. Di bidang berbeda dana USO, di operator selular, juga kita tak tahu kini berapa dan digunakan untuk apa, berapa luas kesenjangan digital diatasi melalui USO?
Sudah acap direksi TVRI berganti.Â
Helmy dalam subjektif saya telah bekerja memajukan TVRI. Akan tetapi bila menyimak UU, dan adanya Dewas dipilih perlemen, dan partai politik itu publik paham sepak terjangnya, bukan rahasia misalnya di Dewas terindikasi duduk pula "titipan" teve swasta. Ambil contoh Arief Thamrin, sebagai Ketua Dewas TVRI, sebelumnya pernah karyawan Metro TV.
Maka, dugaan saya dengan melesatnya rating TVRI di bawah kepemimpinan Helmy yahya, jelas teve Sawsta kini mulai terganggu. Apalagi setelah era Pemilu, dana iklan kini mulai drop, pendapatan teve sawsta kian drop dan TVRI kian kinclong. Maka, sebuah indikasi kesalahan dereksi, lubang masuk menurunkan sang direksi, men-downgrade kembali  untuk kesekian TVRI.
Begitulah siklus jernih perjalanan "memperkosa" TVRI saya amati.
Karena itulah pada 2024 mendatang, kalau presiden baru terpilih, saya akan menyarankan sebelum pulang ke Istana Negara dari DPR, mampir ke TVRI. Saya bukan mengajak ke studio siaran live presiden, tetapi mengecek setiap lantai gedung tinggi TVRI itu; cek toilet, cek ruang kerja; termasuk ruang programa kerjasama TVRI dan TNI, misalnya, di program Anake Ria, tengok studio, tanya di mana Alm., Jus Badudu direkam siaran Pembinaan Bahasa, juga Alm., Tino Sidin mengalirkan kegembiraan  ke anak negeri melalui Mari Menggambar-nya, dan seterusnya.
Sehingga pada  malam pelantikan Presiden 2024 nanti, narasi saya: Sepuluh meter dari tiang bendera Merah Putih, nun di ambal rumput hijau Istana Negara, crew TVRI menyiapkan siaran live perdana bla-bla bla.
Setahu saya  dalam berbangsa dan bernegara, seorang presiden memang harus memiliki aksi afirmasi membesarkan televisi negaranya, bukan malahan memberi tempat lebih ke televisi swasta, di mana mereka tajam diduga menjadi negara dalam negara, kepentingannya; kelompoknya; dan bisnis murninya!
Bila afirmasi itu tidak terjadi, maka dengan diksi hiperbola, saya katakan Malaikat pun menjadi Dirut TVRI, akan diuyak-uyak terus dan menerus; melalui undang-undang diciptakan, melalui kekuatan modal mempengaruhi parleman; segala cara: agar rakyat, penonton, Â cuma melongo-longo.