PEKAN lalu saya mendapat kabar, kawan, kenalan, tokoh juga  sosok orang biasa berpulang. Salah satu mereka meninggalkan dunia fana ini, Boyke Ambo Setiawan, 68 tahun, Rabu, 8 Januari di Bandung. Â
Ia purnawirawan Kapten Kopasus, TNI AD, juga  seorang dokter, terakhir dipercaya oleh Prabowo Soebianto, kini Menteri Pertahanan, sebagai Rektor Universitas Kebangsaan Indonesia (UKRI),
"Mas Iwan Piliang, Â tulisannya kami nyatakan sebagai pemenang pertama lomba menulis kami adakan."
Begitu pertama kali saya mendengar suaranya di telepon, penghujung 2008. Kesan saya  orangnya santun, rendah hati.
Sebelumnya kami hanya saling sapa saja di akun Facebook. Dan lomba menulis dimaksudnya, sebuah program Prabowo Soebianto Blogging Competition diadakan oleh Facebook Fanpage PS, 2008, http://tinyurl.com/prabowo. Â Kala itu PS maju menjadi Cawapres mendampingi Megawati melawan JK-Wiranto dan SBY-Boediono.
Saya lupa tepatnya.
Seingat saya masih di kwartal I 2009, Â sambil menyimak hamparan hijau rumput terawat rata, Â tiga kali ukuran lapangan bola kaki luasnya, Nusantara Polo, Hambalang, Jawa Barat. Â
Kami pemenang menulis diundang Boyke menyimak pertandingan Polo sekalian. Â Tulisan saya berjudul: Peran Pasar Tradisional Dalam Menjalankan Perekonomian Bangsa, sesuai tema panitia.
Boyke kala itu Maneger Nusantara Polo. Sebelum menerima hadiah berupa sebuah laptop, dan satu flash disk modem dari Prabowo Soebianto (PS),  ia menjelaskan  hal ihwal Polo. Barulah saya paham kala itu soal pertandingan Polo  masing-masing ber-chuka (ronde). Satu chuka 7 menit. Dan dalam permainan profesional kuda harus diganti tiap chuka, bila tidak akan kuda kelelahan.
Bila pertandingan 5 chuka, maka butuh 5 kuda. Dan biasanya pemain profesional akan mem-back up lagi kuda dengan 5 kuda cadangan. Perlu 10 kuda. Hari itu barulah saya paham, jika kuda  profesional harganya di atas Rp 4 miliar satu ekor. Kuda bagus ini, memang handal, sudah paham menempatkan kaki, dan memposisikan kepala di saat pemain polo memukul bola.
"Kuda awam belum dilatih  Polo,  tidak paham  memposisikan diri"
"Tak tahu meletakkan kaki dan  memposisikan kepala."
"Kalau kupingnya kepukul stick Polo, kuda kepalanya teleng, harus dirawat tiga bulan baru normal kembali."
Saya tertawa.
"Bener begitu, Mas," Boyke ikut tertawa meyakinkan.
Nimbrung juga kala itu Nico Curto, pelatih profesional Polo asal Argentina. Dari Nico kami mendengar langsung, bagaimana Argentina bisa devisa kedua negaranya berasal dari Polo: mulai dari  arsitek  lapangan Polo, eksportir terbesar kuda Polo, hingga mengirim mara ke mana-mana pelatih Polo seperti dirinya.
Selanjutnya kami menikmati Makan siang. Saya ingat kala itu Boyke mengambilkan piring dan membukakan bungkus daun nasi bakar dengan lauk ikan Teri Medan plus Pete. Juga ada  ayam goreng, lalapan dan sambal terhidang di meja.  Aroma terasinya masih ingat dalam benak saya. Makan siang  hari itu, dalam suasana hamparan hijau  lapangan Polo dan pepohonan  di tepian lapangan bergerak kanan kiri dihembus angin, menjadi pengalaman sendiri.
Sejak itu komunikasi dengan Boyke menjadi intens. Bersama puteranya, Dirgayuza, Boyke aktif di Sosmed. Kami berlanjut aktif membangun Fanpage Suara Rakyat di Facebook. Pernah pula saya diajak Boyke, dalam sebuah perkemahan Suara Rakyat di Hambalang.
Sebelum event itu saya ikuti, saya  meng-kompori dia,  di era kala itu belum ada WA Group,  sangat  bunyi Mailing List Group (milis), agar jangan heboh di milis saja. Saya katakan minta PS menulis di Blogg.
Kala itu Kompasiana.com, masih terbilang baru, dikomandoi Pepih Nugraha, di Kompas kala itu,  dan cukup bunyi di kalangan miliser. Maka saya sarankan PS menulis di  Kompasiana.
"Siapa yang menulis Mas Iwan?"
Jika dibutuhkan saya siap menjadi ghost writer.
"Cobalah, nanti saya serahkan ke Pak PS untuk dibaca dan koreksi."
Satu tulisna saya serahkan Boyke. Lalu dapat kabar  boleh dipublikasikan. Maka saya buatlah akun PS di Kompasiana. Saya pun memberi tahukan password-nya ke Boyke. Terperanjat saya setelah tulisan itu di-upload,  mendapat tanggapan luar biasa pembaca. Komen bejibun, beda sekali dengan tulisan atas nama saya sendiri.
Siapa yang bakal merespon Pak Boy?
"Waduh, Â kita kekurangan orang, Â ya sudah Mas Iwan sajalah dengan meposisikan diri sebagai PS."
Alang kepalang menyita  waktu kala itu menjawab di Kompasiana.  Kalimat awal selalu saya mulai, "Saya Prabowo Soebianto ... "
Bila  pertanyaan warga tak direspon, namanya Sang Cawapres sedang menggalang suara, menjadi serba salah. Saya tak paham seberapa banyak Boyke melaporkan kepada PS soal tulisan itu berikut komentar itu.Â
Beberapa tulisan berikutnya sebelum saya upload hanya menunggu hitungan menit saja disetujui Boyke. Dan itu sudah saya yakini telah dibaca oleh PS. Entah sudah dibaca atau belum oleh PS, bagi saya Boyke begitu dipercaya PS, dan Boyke oke.
Dalam perkembangan di kala itu, ada pula sebuah konsultan PR, ada expatriate-nya mengontak saya. Mereka bekerja untuk  Capres Jusuf Kalla. Saya mereka nilai sebagai Blogger terpilih ikut dalam penerbangan  JK Kampanye,  hasilnya saya menulis tulisan  berjudul: Semangkok Soto dalam Kampanye, setelah ikut di private jet JK ke Martapura, Kalsel dan Semarang dalam sehari kampanye.
Perihal itu saya laporkan ke Boyke. Ia jawab, silakan saja Mas Iwan. "Tetapi kerja relawan  untuk PS lanjut juga ya," ia mengingatkan.  Maksudnya jangan lupa menulis dan menjawab Blogg PS. Biasanya kami saling tertawa di gadget, kala itu era BBM, Black Berry.
Dalam perjalanan hari, SBY terpilih Presiden kembali. Blogg Kompasiana PS, akun berikut password saya serahkan kepada Boyke.  Kami saling tertawa. Ia merangkul saya, "Perjuangan belum berakhir Mas Iwan." Sebelum berpisah saya sempat bercanda, bila lomba menulis  saya dapat laptop sekarang saya dapat apa?
Muka Boyke merah. Saya simak kantung matanya kian tebal. Ia tersenyum, tanpa menanti jawaban, saya katakan,"Perjuangan belum selesai Pak Boyke." Kami berpisah.
Sejak itu saya tak terlibat lagi dalam kerelawanan  PS digadang Boyke. Saya pun kemudian mengikuti naluri menulas-nulis Jokowi. Kami lebih banyak saling sapa saja di Sosmed. Ketika jelang Pilpres 2019 lalu saya simak bagaimana Boyke aktif menggerakkan relawan Dokling; dokter keliling, pengobatan gratis ke desa-desa.
Saya sempat memuji ide Dokling itu.
Kami berkomunikasi di udara dan selalu bersepakat konten harus dibuat dari sesuatu empirik. Ide dan kretifitaslah menentukan sebuah konten memiliki  kedalaman, ibarat kamera, rasis film 35 deep of field-nya, atau kedalaman luminasinya, masih belum terkejar oleh kamera digital.
"Nah Mas Iwan menulis deskriptif naratif, sejatinya seperrti film 35 itu," pujinya suatu kali.
Dua bulan sebelum ia berpulang, seorang kawan  dulu juga aktif di Fanpage Suara Rakyat, menelepon saya. Ia bilang sedang di tol dalam perjalanan menuju Bandung. Kata kawan itu ditanyain Pak Boyke. Pak Rektor  ajak ketemu.
Kadang di Jakarta ini walau jarak sejatinya dekat, tetapi karena kesibukan hari-hari,  silaturahim menjadi  mati.
Terniat oleh saya sebelum penghujung 2019 berjumpa Boyke. Lalu Januari awal itu datang, dan Dokter Kapten (Purn) Boyke Ambo Setiawan, itu pun pergi, tak sempat kami sempat bersalaman lagi. Terima kasih Pak Boy untuk satu pemahaman. Semoga Husnul Khotimah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H