"Cobalah, nanti saya serahkan ke Pak PS untuk dibaca dan koreksi."
Satu tulisna saya serahkan Boyke. Lalu dapat kabar  boleh dipublikasikan. Maka saya buatlah akun PS di Kompasiana. Saya pun memberi tahukan password-nya ke Boyke. Terperanjat saya setelah tulisan itu di-upload,  mendapat tanggapan luar biasa pembaca. Komen bejibun, beda sekali dengan tulisan atas nama saya sendiri.
Siapa yang bakal merespon Pak Boy?
"Waduh, Â kita kekurangan orang, Â ya sudah Mas Iwan sajalah dengan meposisikan diri sebagai PS."
Alang kepalang menyita  waktu kala itu menjawab di Kompasiana.  Kalimat awal selalu saya mulai, "Saya Prabowo Soebianto ... "
Bila  pertanyaan warga tak direspon, namanya Sang Cawapres sedang menggalang suara, menjadi serba salah. Saya tak paham seberapa banyak Boyke melaporkan kepada PS soal tulisan itu berikut komentar itu.Â
Beberapa tulisan berikutnya sebelum saya upload hanya menunggu hitungan menit saja disetujui Boyke. Dan itu sudah saya yakini telah dibaca oleh PS. Entah sudah dibaca atau belum oleh PS, bagi saya Boyke begitu dipercaya PS, dan Boyke oke.
Dalam perkembangan di kala itu, ada pula sebuah konsultan PR, ada expatriate-nya mengontak saya. Mereka bekerja untuk  Capres Jusuf Kalla. Saya mereka nilai sebagai Blogger terpilih ikut dalam penerbangan  JK Kampanye,  hasilnya saya menulis tulisan  berjudul: Semangkok Soto dalam Kampanye, setelah ikut di private jet JK ke Martapura, Kalsel dan Semarang dalam sehari kampanye.
Perihal itu saya laporkan ke Boyke. Ia jawab, silakan saja Mas Iwan. "Tetapi kerja relawan  untuk PS lanjut juga ya," ia mengingatkan.  Maksudnya jangan lupa menulis dan menjawab Blogg PS. Biasanya kami saling tertawa di gadget, kala itu era BBM, Black Berry.
Dalam perjalanan hari, SBY terpilih Presiden kembali. Blogg Kompasiana PS, akun berikut password saya serahkan kepada Boyke.  Kami saling tertawa. Ia merangkul saya, "Perjuangan belum berakhir Mas Iwan." Sebelum berpisah saya sempat bercanda, bila lomba menulis  saya dapat laptop sekarang saya dapat apa?
Muka Boyke merah. Saya simak kantung matanya kian tebal. Ia tersenyum, tanpa menanti jawaban, saya katakan,"Perjuangan belum selesai Pak Boyke." Kami berpisah.