Sejak itu saya tak terlibat lagi dalam kerelawanan  PS digadang Boyke. Saya pun kemudian mengikuti naluri menulas-nulis Jokowi. Kami lebih banyak saling sapa saja di Sosmed. Ketika jelang Pilpres 2019 lalu saya simak bagaimana Boyke aktif menggerakkan relawan Dokling; dokter keliling, pengobatan gratis ke desa-desa.
Saya sempat memuji ide Dokling itu.
Kami berkomunikasi di udara dan selalu bersepakat konten harus dibuat dari sesuatu empirik. Ide dan kretifitaslah menentukan sebuah konten memiliki  kedalaman, ibarat kamera, rasis film 35 deep of field-nya, atau kedalaman luminasinya, masih belum terkejar oleh kamera digital.
"Nah Mas Iwan menulis deskriptif naratif, sejatinya seperrti film 35 itu," pujinya suatu kali.
Dua bulan sebelum ia berpulang, seorang kawan  dulu juga aktif di Fanpage Suara Rakyat, menelepon saya. Ia bilang sedang di tol dalam perjalanan menuju Bandung. Kata kawan itu ditanyain Pak Boyke. Pak Rektor  ajak ketemu.
Kadang di Jakarta ini walau jarak sejatinya dekat, tetapi karena kesibukan hari-hari,  silaturahim menjadi  mati.
Terniat oleh saya sebelum penghujung 2019 berjumpa Boyke. Lalu Januari awal itu datang, dan Dokter Kapten (Purn) Boyke Ambo Setiawan, itu pun pergi, tak sempat kami sempat bersalaman lagi. Terima kasih Pak Boy untuk satu pemahaman. Semoga Husnul Khotimah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H