"Tak tahu meletakkan kaki dan  memposisikan kepala."
"Kalau kupingnya kepukul stick Polo, kuda kepalanya teleng, harus dirawat tiga bulan baru normal kembali."
Saya tertawa.
"Bener begitu, Mas," Boyke ikut tertawa meyakinkan.
Nimbrung juga kala itu Nico Curto, pelatih profesional Polo asal Argentina. Dari Nico kami mendengar langsung, bagaimana Argentina bisa devisa kedua negaranya berasal dari Polo: mulai dari  arsitek  lapangan Polo, eksportir terbesar kuda Polo, hingga mengirim mara ke mana-mana pelatih Polo seperti dirinya.
Selanjutnya kami menikmati Makan siang. Saya ingat kala itu Boyke mengambilkan piring dan membukakan bungkus daun nasi bakar dengan lauk ikan Teri Medan plus Pete. Juga ada  ayam goreng, lalapan dan sambal terhidang di meja.  Aroma terasinya masih ingat dalam benak saya. Makan siang  hari itu, dalam suasana hamparan hijau  lapangan Polo dan pepohonan  di tepian lapangan bergerak kanan kiri dihembus angin, menjadi pengalaman sendiri.
Sejak itu komunikasi dengan Boyke menjadi intens. Bersama puteranya, Dirgayuza, Boyke aktif di Sosmed. Kami berlanjut aktif membangun Fanpage Suara Rakyat di Facebook. Pernah pula saya diajak Boyke, dalam sebuah perkemahan Suara Rakyat di Hambalang.
Sebelum event itu saya ikuti, saya  meng-kompori dia,  di era kala itu belum ada WA Group,  sangat  bunyi Mailing List Group (milis), agar jangan heboh di milis saja. Saya katakan minta PS menulis di Blogg.
Kala itu Kompasiana.com, masih terbilang baru, dikomandoi Pepih Nugraha, di Kompas kala itu,  dan cukup bunyi di kalangan miliser. Maka saya sarankan PS menulis di  Kompasiana.
"Siapa yang menulis Mas Iwan?"
Jika dibutuhkan saya siap menjadi ghost writer.