Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Juggling Menuju Juara Bola Dunia

18 November 2019   10:13 Diperbarui: 18 November 2019   10:17 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

WAKTU jelang Zuhur. Azan melalui pengeras suara berkumandang. Tak jauh dari Masjid Banya Bashi di pusat kota Sofia, Bulgaria, 45 hari lalu itu, tampak deretan bangku gerai fast food Mc. Donald. Kursi di trotoar jalanan full terisi, begitupun kedai kopi di sebelahnya. Lalu lintas trem, orang, bergerak seakan otromatis.  Beberapa daun di pohon berona kuning, jelang musim gugur. Saya menyeberang di tengah lalu lalang siang.

Memasuki masjid, dinding bebatuan pudar, bata-bata terakota. Udara 15 derajad, Dingin Wudhu  menusuk kulit di bagunan masjid didirikan pada 1576, di saat kesultanan Ottoman, Usmaniyah, berjaya  di Turki; mereka  mara menguasai Bulgaria. Kala mengingat sejarah itulah gadget saya bergetar.  Ada pesan  whatsapps (WA) masuk. Saya membiarkan berusaha memanfaatkan momen di masjid di Sofia itu kusuk.

Usai ibadah saya keluar melangkah bersama Sandra IP,  ke  kawasan Boulevard Maria Luiza itu.  Mata saya tertuju  menyimak petilasan tua sebelum Sofia ada, Romawi telah membangun kota tua  Serdica, reruntuhannya di seberang masjid tampak bagaikan kotak-kotak, bangunan dan bebatuan tua bak  di  dalam kolam terhampar. Sambil meletakkan tangan ke dinding di tepian Serdica, saya membaca pesan dari Irwan Suhanto, aktifis 1998.

"Bung bisa bantu advokasi, ada anak, Tristan, ayahnya teman saya. Ia satu-satunya diundang Ajax Academy sekolah bola di Belanda, sejak tujuh tahun lalu."

"Terbentur dengan ketentuan FIFA, orang tua, ayah mesti ikut mendampingi dan bekerja di sana. Hingga kini belum terfasilitasi."

Melamun sejenak. Teringat akan ide sejak 12 tahun silam, pernah membuat desain logo event #Jugglingidol.  Dari sedikit membaca buku, mengetahui, metode Courver,  temuan Wiel Couver, menjadi acuan para anak-anak dan remaja dilatih profesional bermain bola di Eropa. 

Metode Courver itu,  sejak kanak wajib juggling panjang, bahkan sekadar lompat sedikit kaki kanan, kaki kiri, menyentuh lembut bagian atas bola. Atau sekadar senggol bola ke mata kaki kiri dan kanan lurus, lengket di kaki, tipy-tipy istilah Tristan, berulang-ulang, berhari-hari, berbulan-bulan. Handling individu akan Bola mutlak adanya. Sementara power tendangan akan mengalir sesuai ritme waktu dan usia.

dokpri
dokpri
Malam kedua sepulang di Jakarta. Seperti biasa ada saja kawan kerabat mampir ke kediaman kami. Sebuah gazebo berlantai ebony,  dan di dua pojoknya selalu saya letakkan pohon kelapa,  menjadi titik sentral kami kongkow. Kala itulah saya menyimak sebuah map dibawa ayah Tristan, Ivan, di dalamnya berisi foto-foto Tristan Alif Naufal, 14 tahun,  bersama hampir dengan  semua tokoh dan pejabat  kita. Ada menteri, Ketua DPR,  hingga Panglima, pernah berfoto dengannya.

Saya tanya Tristan, apakah pernah menonton film Pele?

"Pernah Oom."

Berapa lama kalau Pele juggling, bola tak jatuh ke tanah?

"Tiga puluh menit lebih."

Saat itu Tristan mengaku baru bisa 2,5 menit juggling, bola tak jatuh ke tanah.

Butuh waktu berapa untuk bisa seperti Pele?

Sosok menurut Pep Gardiola, pada 2012 di Jakarta,  dalam tujuh tahun ke depan punya potensi pengganti Messi itu menjawab, "Butuh waktu sebulan latihan."

Saya meminta mereka pulang, nanti setelah bisa juggling 30 menit kita bertemu dan saya berminat berfoto dengan Tristan. Kami tak membahas banyak tentang hambatannya tak bisa ke Belanda.

Dua pekan berlalu.  Saya menerima WA dari ayah Tristan. Ia mengabari  Tristan sudah bisa juggling 30 menit 51 detik. Segera saya simak. Dan saya pun berkenan berfoto dengan Tristan.

dokpri
dokpri
WAKTU  jelang Ashar di  Radio Suara Surabaya (SS), 9 November 2019 lalu.  Karena esoknya kami akan launching #jugglingidol secara indie di Surabaya, kami berinisiatif mampir. Alhamdulillah kawan-kawan di SS memfasilitasi  tampil live hampir setengah jam. Animo bertanya pendengar tinggi.  Akan tetapi hanya dua penanya dapat disiarkan. Kami menyampaikan kalimat: juara dari lubuk hati, bukan teknik menendang bola duluan.

Entah mengapa saya  terbawa dalam keharuan, suara parau, dada sesak, saat  menyampaikan, menemukan tiga kata: hajar, sikat, matiin, acap diucapkan para orang tua di pinggir lapangan di sekolah bola kini menjamur.  Dugaan,  ketiga kata itu menjadi penyebab kita tak kunjung punya tim kesebelasan solid. Ketiga  kata itu mengalirkan aura negatif,  bukankah lebih baik   menggganti  teriakan ke: maju, sportif, juara?

Saya simak  penyiar Radio SS, Wismanti,  ikut terharu. Hal hasil keesokannya jelang pukul 12 siang saat pendaftaran #jugglingIdol dibuka, seorang Bapak mengantar anaknya ikut kontes. Ia menyalami saya, berkata, "Mas Iwan, saya ikut terharu juga mendengar radio kemarin, air mata saya  jatuh."

KEMARIN petang di  Bioskop XXI Plaza Indonesia.  Kami sekeluarga sengaja mengajak Tristan menonton film Ford V Ferrari. Film itu diangkat  dari kisah nyata bagaimana  balap mobil Le Mans, Perancis, 1966, upaya Ford menyaingi Ferrari lebih unggul dalam  balapan. Di luar kisahnya, pemeran utama  F v F, Matt Damon sebagai Shelby, juga menjadi  pemain utama saat di Film Invictus, menjadi Kapten  Tim Rugby,  Afrika Selatan.

Film Invictus, juga kami wajibkan disimak oleh Tristan. Dari film itulah antara lain mengilhami kami mendapatkan kata, juara dari lubuk hati bukan dari teknik menendang bola.  Di Invictus  tajam terasa bagaimana seorang pemimpin, dalam hal itu, Alm., Presiden Mandela memberi motivasi ke tim  Rugby Nasional-nya, sehingga  menjadi juara dunia.  Mandela tak bicara teknik melempar bola, juga tak membahas cara cigin berlari.

Dalam satu scene Invictus, Mandela  sengaja naik  helikopter ke lapangan  latihan Rugby, menyimak tim nasionalnya latihan. Sang Kapten dipanggil, diperankan Matt Damoon,  Mandela menyerahkan segulungan kertas.  Di kertas itulah sebuah puisi berjudul: Invictus.

Maka  ketika acap berbincang dengan Tristan,  saya ingatkan dia apakah sudah selesai membaca Lelaki Tua dan Laut-nya Hemingway?  Sebab tugas berikut baginya, wajib membaca buku novel Harimau-Harimau-nya Mochtar Loebis. Kudu tuntas dalam sehari baca. Premis dari novel itu: bunuhlah Harimau di dirimu terlebih dahulu;  mulai  dari kata maju, sportif, jura! Dan usai menonton kemarin, karena kasyikan mebicarakan film, kami lupa ke toko buku mencari Courver Method, dalam bola.

Beberapa kawan belakangan bertanya ke saya mengapa fokus ke Bola? Saya jawab bukankah sudah lama agenda kami mengalir saja?  Secara kebetulan seorang kawan, Azis Subekti, membawa ke relasinya. Di luar topik omongan lain, saya sampaikan sebagian literair di atas, khususnya film Pele, film Invictus dan sosok Tristan Alif Naufal.

Adalah pengusaha  Abdul Satar, mendengar cerita saya. Ia bersama grupnya, Tower Bersama dan M-Cash, menyiapkan kendaraan kami ke Surabaya, biaya dan teknis lainnya.  Dalam hitungan hari dan minggu #junggling idol kami gelindingkan, mencari 66 anak di bawah 20 tahun, hingga 11 Februari  2020 mendatang, untuk masuk camp; mengacu ke  pelatihan metode Courver, juga meyimak beragam film motivasi dan sastra bermutu lainnya.  

Dan Insya Allah pada Maret 2002 Tristan bisa berlatih kembali di Balanda, serta pada 2022 setidaknya 33 pemain sudah juga berlatih di Eropa, satu dua dari mereka semoga mendapatkan kontrak bermain di klub sana. Siapa tahu pada 2026 mereka kami motivasi itu bisa menjadi andalan bangsa dan negara menuju piala dunia 2026. Dalam kerangka inilah tanpa proposal tertulis kami menghargai Satar dan jajarannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun