Pola Pilpres kekinian: kerja memenangkan hati publik, merebut psikologi massa.
Mereka menguasai psikologi komunikasi tercepat, bisa diprediksi memenangkan permilihan. Maka proses membunyikan seseorang melalui tahapan; dikenal, diminati dan dipilih. Dikenal belum tentu diminati, diminati belum tentu dipilih.
Secara hitungan jika dikenal itu angka awalnya sudah 90%, maka untuk menakar awal berapa dimanati, penggal separuh angka dikenal, ketemu skor diminati 45% dan penggal lagi sebagian maka ketemulah angka dipilih 22,5%. Kerja bersarnya bagaimana menaikkan angka diminati dari 45 menjadi 80% dan angka dipilih menjadi 70%?
Kerja komunikasi publik di sisi calon, biasanya didampingi oleh tiga core competence unggulan; content director, spin doctor dan feature writer, bukan news writer. Berita sudah banyak dibuat oleh berbagai media mainstreamtermasuk online. Di Pilpres kali ini minim kita simak tulisan literair, deskriptif naratif, di mana warga seakan hadir di lokasi membacanya.
Dominan konten di kedua kubu Pilpres saat ini, kurang mengeksplor sesuatu empirik, kering inovasi dan kreatifitas. Saling berbalas mengatai menjadi hiasan hari-hari di Sosmed.
Dalam sikon demikian alam telah memberi peluang kubu Prabowo-Sandi mendapatkan keuntungan keberpihakan psikologi massa.
Momentumnya dari pengamatan lembaga saya pimpin, IPC, diawali ketika Sandi Uno diberi amplop dukungan kampanye oleh seorang bapak menggendong anak di Riau, lalu esok ada Nenek, meminta cucunya mengirim uang tabungannya Rp 200 ribu dari 1,2 juta ia punya, ke rekening pemenangan Prabowo Sandi. Pola ini menjadi bola salju, hingga kampanye akbar belakangan mendapatkan berkarung plastik uang dari warga. Hingga tadi malam saya menyimak dukungan Ustad Abdul Somad, live di teve one. Bola salju lekat di hati itu, bermuara kepada Prabowo-Sandi.
Namun apakah Prabowo-Sandi akan memenangi Pilpres, riset berpihak kepada Jokowi masih meng-unggulkan Jokowi. Sementara riset independen dominan memenangkan Prabowo-Sandi.
Bagaimana akhir dari pertandingan Pilpres ini?
Dari kongkow saya dengan seorang Jenderal itu, kami menjadi tertawa. Sejatinya, akhirnya persaingan hanyalah para "Jenderal" vs "Jenderal", baik di belakang Jokowi apatah pula di belakang Prabowo.
Sebagai Jenderal purnawirawan, Prabowo secara portofolio berhasil menjadikan sosok muda sipil mentas menjadi pejabat publik; mulai dari Jokowi sendiri ke DKI, berikutnya Ahok, Ridwan Kamil, hingga Anies Baswedan, tak terlepas dari sentuhan tangan dingin Prabowo Soebianto. Jokowi dibesarkan Prabowo, kemudian menjadi lawan 2014 dan kini 2019. Jokowi menguasai top of mind di publik, sebuah fenomenon awalnya tak diperkirakan Prabowo.