Selama ini saya hanya menyimak karir politiknya dari jauh. Saya juga membaca kalau Syaikhu suka naik sepeda. Di beberapa momen tertentu ia suka membagikan hadiah sepeda kepada  warga di kala  menjadi wakil walikota.
Perihal bagi sepeda itu sudah ia lakukan sejak dari era Presiden SBY.
Acap di acara resmi  di Bekasi, panitia sudah menyiapkan protokol penyambutan dengan run down; Wakil Bupati turun dari mobil. Ehhh, sang wakil bupati datang bersepeda.Â
Kisah itu antara lain saya baca di buku  berjudul Kang Syaikhu, hal-hal kecil namun berkesan, ditulis Bung Adi Siregar. Dari  buku ini  saya mafhum;  Syaikhu sosok amanah, bersahaja, hidup mengalir, selalu mengisi kesenggangan membaca Al Quran, di  dalam mobil di sela kerja. Itu antara lain. Para ajudan atau supir mengaku menikmati bacan Quran Syaikhu, tanpa mereka perlu putar CD di mobil. Bertanya ke kanan-kiri ke beberapa wartawan Bekasi, positif semua tanggapan mereka.
Nah, jika tulisan ini merambah jagad Sosial media, dugaan saya akan ada beragam tanggapan, mungkin juga bullying. Pedekate. Atau kalimat apa lainlah. Padahal dalam menuliskan figur tertentu, termasuk membunyikan tokoh menggunakan jaringan IP Center, selama ini, kami merujuk pondasi hati nurani, alam menggerakkan, termasuk mengantarkan untuk berhenti jika dikehendaki "alam". Semua itu dengan waktu, kreatifitas dan mengongkosi sendiri.
Empirik, selama ini saya tidak punya kontak Syaikhu. Barulah  sekitar usai Pilkada serentak lalu, ketika saya  menjajaki bisnis, belajar ke pengalaman sebuah daerah membangun insenerator berukuran kecil dan sedang membakar  sampah menghasilkan listrik, saya berkenanlan dengan Tedi.Â
Kebetulan, Tedi sudah melakoni di Bekasi, usaha terobosan menghasilkan 1,5 MW listrik; hanya dari lahan  pabrik 200 meter dan kolam  air pendingin, sekitar 2.000 meter, memakan sampah harian  200 ton minimal habis.  Dari Tedi saya dapat kontak Syaikhu. Entah mengapa baru di Rabu kemarin pula berkomunikasi melalui WA dan  esok Kamis-nya kami bertemu.
Saya percaya alam menggiring kita bersama mereka dalam frekuensi sama. Duduk kongkow dengan Syaikhu, saya rasakan girah sefrekuensi nyata. Ada gairah seakan kembali muncul menggerakkan  Bangrojak, Bangun Gotong Royong Jakarta, NGO, pernah  kami aktifkan untuk bersih toilet, kali, masjid, sekolah jajanan sehat bersih. Juga terpikir  untuk saban Subuh  bersepeda dari masjid ke masjid ibukota, menumbuhkan kembali semangat membaca buku, minat literasi tinggi. Jangan sampai rendahnya minat membaca buku saat ini, terlebih sastra,  kian  menjadi musibah peradaban.  Spirit itu tentunya akan  nyala jika Syaikhu menjadi wakil gubernur Jakarta. Toh di Bekasi ia punya portofolio membukukan catatan kecil tulisan anak-anak di tingkat SD dari hasil reportase di Car Free Day, Bekasi, sebagai salah satu latar.
Namun, kata kawan saya Syikhu tak bakal jadi Wagub DKI.
Kata kawan satunya lagi faktor demokrasi menjadi industri,  bukan menjadi idiologi, bagaikan kemuliaan di negara demokrasi duluan, bisa jadi Taufik, Gerindra, Wagub. Logika kawan itu, karena menduga korporasi  ada di belakang Taufik. Artinya ada indikasi kekuatan kapital besar meningkatkan libido Taufik mentas.
Semalam saya membaca berita, Gubernur DKI Jakarta,  Anies Baswedan belum mendapatkan surat resmi baik dari Gerindra maupun PKS  tentang nama calon Wagub DKI Jakarta. Di dalam hati, saya bertanya. Kok bisa? Di lain sisi  dari akun  sosmed Fadlidzon, pengurus teras Gerindra, wakil ketua DPR, menuliskan soal  jatah Wagub DKI Jakarta, sudah fix merupakan hak PKS. Clear.