SEBELUMÂ tahun baru Hijriah kemarin, seorang kawan mengirimi saya sebuah video. Dalam penggalan tayangan itu, Alm. Anthony Bourdain, pembawa acara program televisi kuliner dan perjalanan terkenal dunia itu, Â mampir ke kawasan persawahan, di Jawa Tengah, jelang Ashar. Ia deskripsikan sekilas soal terasiring, alam hijau, langit biru, angin, dan tak lama, "Allahu Akbar ...."
Waktu shalat Ashar pun tiba. Bagi Bourdain, pengalaman itu liturgi tersendiri.
Pengalaman batin. Â
Mungkin ia  tak  menemukan di wilayah lain; panorama; hijau berbeda, padi di alam tropis, suara air di selokan pematang sawah, berbelok ke tikungan patah, air jatuh perlahan mengalir ke bawah, dan: Azan.  Bagi Bourdain bisa jadi penggalan perjalanan wah.
Ya Perjalanan. Â
Dalam lima tahun terakhir, kami: saya dan isteri, Sandra, Â mengartikan perjalanan sebagai investasi. Investasi kenangan. Beberapa kawan mendengar keterangan kami, berpikir, "Kenangan, kok, Â investasi?!"
Investasi kenangan, dua lema. Kedua diksi itu tak muncul di benak saya seketika. Perjalanan riil, lika-liku kehidupanlah mengantar ke pilahan-pilihan kata itu. Cobalah kenang masa sebelum sekolah dasar. Ingatan kepada sesuatu menyenangkan paling duluan muncul di benak. Saya masih mengenang bagaimana Kakek dulu mengajak jalan-jalan ke kawasan air terjun, di Padang Panjang, Sumbar. Ayah mengajak menyimak pacuan kuda. Masih lekat sorak-sorai penonton. Memori tak pernah pergi.
Ketika era bersekolah dasar, ingatan menempel tentulah kepada guru-guru menyenangkan memberi pelajaran. Guru mengajak tertawa, canda, riang, paling duluan tampil di kepala. Suasana, sesuatu melekat di alam bawah sadar, panjang pendeknya terletak dari keriang-gembiraan kita kala momen terjadi. Maka kini kepada anak-anak, saya selalu berpesan happy-happy di sekolah ya 'Nak. Enjoy. Taka ada lagi perintah juara, nilai 10.Â
Rasa senang pada akhirnya menjadi siraman investasi kehidupan. Setelah umur bertambah, pengalaman batin pun meningkat. Saya kemudian memahami bahwa doa diterima Tuhan dari insan hatinya riang gembira. Keriang-gembiraan mensucikan hati memberi aura positif. Dari lubuk hati bersih, segalanya menjadi benderang.
Bagaikan Bourdain menyimak Azan. Kami pun punya liturgi. Syahdan dua tahun lalu kami ke Kathmandu, Nepal. Di sebuah hotel, saya berdialog  dengan seorang bell boy. Saya bertanya ihwal banyaknya Gurka dari Nepal, polisi, tentara bayaran, bekerja di negara lain.Â
Di luar dugaan pegawai hotel bernama Sangkar, bertutur tiga kali ikut tes menjadi Gurka, untuk menjadi polisi di Inggris. Ketiga kalinya  ia tak lulus. Tes ketiga  catatan waktunya berlari 25 km, membawa beban 25 kg, telat hanya tiga sekon. Ia tetap tak lulus. Sangkar menceritakan banyak orang kampungnya pensiunan Gurka.