Maka, terjawab satu pertanyaan mendasar, mengapa tidak ada investor pariwisata mau masuk ke Sawahlunto? Walaupun banyak tempat wisata unik, bahkan ada rute perjalanan kereta api menembus hutan belantara akan menjadi pengalaman tersendiri. Jawabnya, tiadanya aspek legal lahan. Orang takut investasi. Jika rakyat biasa saja dipunguti oleh bukan negara, apalah pula pengusaha bawa pundi-pundi?
Hati menjadi miris, sepelemparan batu dari kampung Adinegoro, Mbahnya Jurnalis Indonesia kenyataan pahit warga sebagai anak bangsa sekian lama tak pernah mengemuka.
Di era Presiden Jokowi, program pemberian sertifikat tanah untuk warga gencar dilakukan, di kampung Adinegoro seakan terjadi kasus negara dalam negara. Lebih aneh pula ada lahan dipakai Pemda, Pemda sendiri malah membayar Rp 800 juta sewa setahun ke PT BA, sejak kapan PT BA beralih line of business menjadi perusahaan property?
Pertanyaan ke pertanyaan berikutnya membutuhkan jawaban dan solusi.
Maka ketika di atas pesawat pulang ke Jakarta keesokan harinya, saya berpikir akan lebih baik Hari Pers 2018, Presiden menyempatkan diri ke Sawahlunto.
Rencana peletakan batu pertama pembangunan Museum dan Perpustakaan Adinegoro tak perlu lagi dilakukan, cukup dengan mengambil alih bangunan tua tempat di mana sekarang PT BA memungut uang sewa tanah ke warga, sekaligus sebagai simbol mengkhiri keadaan negara dalam negara dan memberi penghormatan kepada Adinegoro, lebih dari itu visi Presiden Jokowi, memuliakan ketulusan berwujud.
Apalagi, jika ditindaklanjuti dengan ribuan petak tanah Sawahlunto kemudian bersertifikat tentu akan menjadi magnet investasi tumbuh, termasuk kebutuhan lahan bandara baru pun kiranya bisa dipenuhi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI