BILAÂ Anda search di google saya pernah menulis tulisan berjudul, Kufur Nikmat Berbuah Pelancong Kalong. Dua alinea awalnya seperti ini: PUKUL 04.00 di Hotel Pusako, Bukittinggi, 16 September 2008. Dua puluhan orang turis asal Belanda di restoran hotel tampak seakan makan sahur. Kala itu Ramadan. Tamu Melayu saya seorang.
Pemandangan sama, terulang lagi pada 23 September 2008. Di benak saya membuncah tanya, apa semua Bule itu berpuasa? Saya amati di pukul 04.00 itu, kian banyak saja mereka sahur. Mereka berombongan dua bus berasal dari Belanda.
Menyingkat keingin tahuan, di tulisan ini saya menjawab pertanyaan tadi: ternyata rombongan turis kalong itu berjalan darat dari Medan ke Bukitinggi. Mereka landing dan take off dari Medan. Mereka rehat tidur 4 jam-an, lalu jelang subuh bergerak lagi. Mereka ingin menikmati matahari terbit di Embun Pagi, Maninjau. Sumatera Barat.
Alam hijau di gugusan Bukit Barisan, air bening mengalir indah di sungai. Air panas, air terjun, bukit mengeliling, berbagai ragam makanan bahkan rendang yang mendunia disajikan sebagai pilihan makanan terenak, panorama tak perlu ditanya, tingkat hunian hotel hitungan jam sahaja?
Perihal itu tentu antara bumi dan langit membandingkannya dengan Turki. Tahun lalu turis ke Turki mencapai 45 juta datang sementara penduduk Turki 70 juta orang. Tingkat hunian hotel rata-rata di atas lima hari. Bila saja turis membelanjakan sekitar US $ 1.000, sudah berapa devisa datang ke Turki. Pariwisata membuat ekonomi Turki di bawah kepemimpinan Erdogan, booming.
Pekan lalu saya dua hari ke Ranah Minang, tanah kelahiran saya. Dugaan saya tingkat hunian hotel di Bukittinggi belum signifikan naik. Dulu pernah saya menyarankan kalangan perhotelan tak harus belajar jauh ke Turki tetapi cukup ke Bali.
Di Bali, nuansa budaya Bali sudah bisa dikemas sejak di lobby hotel, di mana Gamelan Rindik dimainkan menggili-gili kuping tamu... nang-neng-nong. Restoran memberikan aneka pilihan menu, sajian pentas Kecak, berikut paket makan malam, mancaragam hidangan. Hingga hari ini tiada jua paket wisata misalnya mengemas Randai dengan paket makan malam di Sumbar. Apalah pula experiential tourism seperti wisata membuat rendang atau menanam padi Bareh Solok, makan Bajamba di tengah sawah, tiada jua. Turis hampa acara.
Turis membunuh waktu di malam hari berbekal ngopi dan minum-minum, sungguh terasa kering. Alam kaya, tidak diimbangi kegiatan dan pelayanan berbagai event memberi pilihan warna. Dan ternyata tidak hanya itu masalahnya. Di Sawahlunto, salah satu contohnya.
Lewat jalan Batusangkar menuju Sawahlunto supir menemani mengatakan, "Ini Pak Desa terindah di dunia, heboh dibicarakan di online."
Ruang terbuka, langit biru. Hamparan padi terasiring. Pohon-pohon lebat di pebukitan. Lembah dengan penampakan kilatan air danau di kejauhan. Satu dua rumah gadang bertanduk-tanduk. Persoalan, menggapai daerah ini perlu perjalanan lebih tiga jam, di hari libur jalanan terkadang macet. Jalan belum dua jalur.