Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kidung La Nyalla Menyalakan Jatim

5 Desember 2017   12:20 Diperbarui: 6 Desember 2017   10:09 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari jalan tol Surabaya menuju Gresik, Jawa Timur, bakda Jumat  10 November 2017 lalu. Di kejauhan Merah Putih berukuran besar berkibar di menara masjid Al Akbar. Angin bergelora  mengayunkan kebangsaan. Di sosial media, saya menyimak sudah ada pemposting foto itu. Terik matahari menyengat. Jalanan padat. Saya semobil dengan sosok La Nyalla Mahmud Mattalitti, 58 tahun,  Ketua Kadin Jatim.  Kami menuju desa Cereme, Gresik, setelah dari pagi berziarah ke Makam Bung Tomo, beribadah Jumat di kantor Kadin. 

Penggalan hari terasa menjadi liturgi kepahlawanan tersendiri.

Mengawali kidung,  inilah pertama kali dalam sejarah hidup berziarah ke makam Bung Tomo. Serasa malu  hati ini, baru di rentang usia 53 tahun, menyempatkan diri nyekar. Teringat akan penggalan pidato heroik Bung Tomo 10 November 1945.

"Bismillahirrahmanirrahim

Merdeka!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia, terutama,  saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui  bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang  memberikan suatu ancaman kepada kita semua. Kita diwajibkan untuk dalam  waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang kita rebut  dari tentara Jepang.

......

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!"

Mata saya menatap ke luar jendela mobil. Kalimat pembuka Bung Tomo,  "Saudara-saudara rakyat jelata, ... ,"  seakan mematri di benak.  Tadi usai Jumatan di Kantor Kadin Jatim di bilangan Bukit Darmo Golf, saya melihat jamaah meluber hingga ke pelataran taman di bawah. Masjid, lebih tepat disebut mushalla, di lantai dua kantor, meluber ke koridor, mengular ke ruang kosong lantai satu. 

Pemandangan tak biasa,  beberapa pedagang keliling, termasuk pedagang bakso bersepeda, jamaah Jumat, duduk sekenanya. Mereka membuka nasi bungkus. Rupanya, walaupun kawasan kantor Kadin ini berada di pemukiman terbilang mewah,  banyak kalangan marjinal beredar. Mereka memilih beribadah sekaligus melepas lelah di Kadin. Adalah La Nyalla berinisiatif sejak lama, membagikan nasi bungkus. Perkara makan bersama usai beribadah sejak lama itu saya mendapat keterangan dari Heru, Direktur Eksekutif Kadin Jatim

Jelang sejam berjalan. Tujuan belum jua terlihat. Kawasan pabrik, tanah kosong, empang menggenang, bagian atap  hanggar pabrik di kejauhan, pantulan sinar metalnya menyilaukan mata.  Serombongan bebek di kejauhan mandi-mandi. 

Jalan mengecil berkerikil. Sebuah  bangunan seukuran lapangan basket berpagar pelangi. Ada ayunan di halaman, seluncuran, sebuah PAUD rupanya. Seluas mata memandang selebihnya rumah permanen dan semi permanen berukuran kecil, padat.

Tujuan kami kediaman keluarga Chomsah. Boleh dibilang "nyanyian" kehidupan  kedua hari itu. 

Chomsah, empat bulan silam didatangi serombongan polisi. Dalam keadaan suaminya terkapar kena hernia, anak-anak bekerja serabutan, di periuknya secangkir beras baru saja ditanak bubur. Periuk di tungku kayu  itu baru saja mengering. Mereka makan bubur berlauk garam bersama keluarga. Tanpa banyak kata, Chomsah diciduk. Ia mendekam 3 bulan di tahanan. 

Chomsah terjerat rentenir. Ia meminjam uang Rp 1 juta untuk mengobati penyakit suami. Uang pinjaman itu akhirnya hanya dibelikan obat warung, sisanya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pinjaman harus dilunasi dalam sepuluh bulan Rp 1,5 juta.  Hingga tenggat lewat pinjaman  tak kunjung terbayar. Debitur melaporkan Chomsah ke polisi. 

Kisah kejelataan itu sampai ke relawan Pemuda Pancasila (PP).  Mereka berkordinasi dengan La Nyalla. Rumah berdinding gedek, bambunya mulai jarang. Atapnya  penggalan terpal termasuk bekas spanduk pungutan dari sana-sini. Lantai tanahnya terkadang becek kena bocoran hujan. Di rumah setengah ukuran lapangan basket itulah tujuh orang mendiami.

Setelah hampir dua jam kami akhirnya sampai di kediaman Chomsah. Kami memasuki rumah gedeknya. Kini tampak dihuni oleh anak-anaknya.  Sang suami sudah  pulih dibantu pengobatan relawan Nyalla.  Sebuah mesin penggiling air tebu, sudah bisa menjadi  ladang berusaha bagi  kelurga Chomsah, namun tempat jamban, masih berupa kotak semeter berdinding plastik tanpa kloset. Di dalam alam berkemajuan saat ini lingkungan pemukiman jauh dari sanitasi sehat itu nyata adanya.

Sepelemparan batu dari lokasi  rumah seukuran sama, kini sudah berdiri baru permanen. Warga desa memberikan pinjaman tanah. Relawan membangunnya. Ketika La Nyalla duduk bersila menyimak  rencana toilet dan kamar tidur, ia menyarankan segera  dituntaskan. 

Saya simak air mata Chomsah mengalir. Nyalla berpolo shirt hijau bersandal jepit biru. Di petang  mulai merembang itu, Nyalla  membelai putera Chomsah dalam gendongan. Suami, anak dan kerabat  Chomsah mulutnya seakan terkunci. Mereka membatin takzim mengucapkan terima kasih haru.

Agar suasana tak kaku, saya lihat  La Nyalla mengambil dua bola kaki dari mobil.  Bola masih kempes itu dimintanya diisi angin. Maka beberapa kanak sedang di bawah pohon pisang berlarian mencari pompa  angin. Tak lama bola gepeng itu bundar. mantan Ketua PSSI ini spontan menyapa, bermain bola membentuk lingkaran bersama kanak-kanak. Beberapa warga datang berkerumun. Tak ada liputan,   nir pencitraan.

Saya mengenal nama Nyalla ketika mulai menjadi anggota HIPMI DKI Jakarta 1991, begitu pun ketika di Kadin Indonesia menjadi pengurus. Akan tetapi kami tak pernah duduk dalam pembicaraan intens. Paling  berselisih di kantor Kadin, sekadar bertegur sapa, "Eh Bang..." itu saja. Sepak terjang Nyalla saya simak dari jauh. Ada saja  opini miring terhadap dirinya, mulai sebutan preman hingga mafia. 

Ia cuek. Ia tak pernah membantah. Baru 6 bulan lalu saya ke Surabaya. Itulah momen pertama bertemu bertatap muka bercerita.   Nyalla bertutur logis. "Bila Mas Iwan di sebuah daerah memelihara bebek, lalu beranak pinak, kemudian orang menyapa Iwan Bebek, apakah salah?" katanya pula,"Saya banyak memotivasi sosok dianggap preman menjadi wirausaha." Itu penggalan cerita bersamanya. 

Dalam keadaan jurnalisme kita miskin kerendahan hati verifikasi tiada henti, patron tentang seseorang acap mengalir tergantung opini berkembang. Hembusan angin liar terkadang lari-lari dari fakta.

Kidung terakhir Hari Pahlawan malam itu menuju titik akhir ke sebuah forum milineal. Ada pemutaran Film Animasi Surabaya. Film layar lebar itu pernah mendapat penghargaan dari Eropa.  Maka jelang Isya malam itu, saya simak Nyalla hanya jadi pendengar, tidak tampil di podium forum. lebih dari sejam ia menyimak. 

Menjelang pulang seorang animator muda, kordinator dialog hari itu menghampirinya. "Saya sudah paham bagaimana mengembangkan ekonomi kreatif. In Sha Alloh bila saya gubernur kita dirikan venture capital riil, sebagai pondasi pengembangan industri kreatif," papar Nyalla.

Saat ini sosoknya memang menjadi salah satu Bacagub. Kendati belum mendapatkan rekomendasi partai politik, saya simak di Jatim baliho, spanduk Nyalla bersama Prabowo, Partai Gerindra dengan grafis putih telah banyak beredar. Partai Gerindra memiliki 13 kursi. 

Mereka tentu berharap kepada poros tersendiri bersama PAN pemilik 7 kursi DPRD dan PKS 6 kursi, bisa mengusung La Nyalla. Para pendukungnya kini tentu menanti kepastian itu. 

Sosok Nyalla bagi saya, telah memecah kehingan Pilkada Jatim 2018 nanti.  Jatim telah senyap dengan figur dan nama itu ke itu saja  maju berjibaku merebut kursi gubernur, Khofifah dan Gus Ipul. Keduanya mengandalkan sentimen suara NU. Maka tinggallah kidung  Nyalla sang pemecah keheningan menyalakan Jatim, sebagai pilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun