Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tauladan Asman dari Batam

6 Oktober 2016   16:12 Diperbarui: 6 Oktober 2016   16:25 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

IBADAH Magrib baru saja usai di Sabtu petang. Beberapa gelas Teh Tarik panas,  uapnya menggelembung-lengkung  menghiasi tepian gelas.  Roti bakar turut menemani.  Asman Abnur, bersama isterinya Zas J. Asman, menawarkan lagi  aneka jus.  Kami duduk di kursi cafe Masjid Jabal Arafah, Batam. Di kawasan Islamic Center ini, suasana bagaikan di sebuah mall, lokasinya bersebelahan dengan Nagoya Hilss. Momen kedua saya di sana. Pertama datang, November2013, saya pernah menulis.

Lima  pohon Kurma  tinggi dua kali orang dewasa  tampak hijau.   Dedahanannya berpelepah kuning berduri bergeri.  Di sekeliling Kurma,  air  bergerak menyala. Pompa menaikkan air  ke beberapa pipa  disinari cahaya lampu.  Air jatuh bercorak kemilau ke kolam bening.

Daun-daun Terminalia seekuran ujung telunjuk menengadah seakan berdoa.  Pepohonan ini berbaris  di kiri kanan  jalan. Tiga tahun lalu pepohonan menuju bukit tempat masjid berada,  masih semeter. Kini rimbunannya tiga kali tinggi orang dewasa.  Di setiap dahannya menggelantung lampu-lampu menyala  bagaikan air jatuh ditingkah cahaya.

Bersama isteri saya, Sandra, kami perhatikan beberapa orang mengantri lift hendak naik ke menara masjid.  Setiap pengunjung membayar  Rp 2.500.  “Dari mereka yang naik ke menara itu, masjid memperoleh Rp 50 juta sebulan,” kata Asman pula, “Sudah menutup biaya listrik kawasan masjid.”

Masjid Jabal Arafah  (JA) membayar listrik  Rp 33 juta sebulan.

Agaknya, inilah masjid milik keluarga  pembayar listrik terbesar di Indonesia.

“Dari pukul  enam malam hingga pukul enam pagi seluruh lampu kawasan masjid saya minta menyala,” tutur Asman, kini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI itu.

Saya menjadi teringat logika dasar;  konsumsi listrik berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya makin bergerak ekonomi kian jreng pemakaian listrik sebuah bangsa. Fakta di kita di  logika Perusahaan Listrik Negara (PLN), sebaliknya:  merasa perlu menghimbau hemat listrik.  Di JA segalanya seakan tampak benderang, mengalirkan aura lapang.

Bukan saja ranah ibadah semarak. Ekonomi di JA memang  hidup. Ada saja kegiatan masjid menghasilkan uang. Café,  jualan nasi  setiap Jumat, penyewaan ruangan  untuk berbagai pertemuan termasuk pernikahan,  penitipan anak bagi  orang tua  sedang belanja ke mall sebelah.  “Juga sekolah  agama di Sabtu Minggu,“ ujar Ny. Zas.

Maka tidak berlebihan bila saya menyarankan banyak masjid  melakukan studi banding ke JA.

Akan halnya diksi studi banding, Asman langsung  seakan meralat, “Sudah saatnya kita mengubah studi banding menjadi studi tiru, ngapain kita banding-bandingkan, bila sesuatu itu bagus,  tiru; studi tiru,” tutur Asman tersenyum.

Akan halnya kehijauan dan keasrian taman JA, bagi keluarga Asman, sekaligus berguna bagi show case usahanya di bidang pertamanan, jual beli tanaman, Vitka Garden.  Di bawah bendera Vitka Grup keluarga Asman sejak lama memiliki 10 toko emas, pom bensin, apotik, penyewaan lapangan futsal, mini market, Bank Perkreditan Rakyat, pom bensin, beberapa Rumah Makan Sederhana hingga properti.

Khusus Jabal Arafah.  Tempat wudu dan toilet masjid dengan ruang terbuka, ada exhaust fan menyala, keran air dengan tekanan lembut, ada keran stainless steel tetap mengkilap. Aliran air dipastikan tak akan menciprat-ciprat.  Di tangga masjid selalu disediakan alas kaki behanduk putih tebal  bak  keset di kamar mandi hotel bintang lima.

Allahu Akbar. Azan Isya lantas berkumandang.

“Beginilah kalau saya pulang ke Batam selalu menyempatkan  shalat berjamaah di Magrib dan Isya di sini,” kata Asman.

Kami melangkah mengambil wudhu.  Jamaah sudah siap tiga saft. Beberapa warga lain  masih terus mengalir. Ruangan shalat di lantai dua itu  berpendingin. ruangan penuh. Ada pula kipas-kipas besar mengalirkan angin dingin. Di sebelah kiri dinding terbuka, angin bebas keluar masuk.

Ambal dominan biru tua  diberi garis baris coklat muda, pembatas saft. Bila di banyak masjid memakai karpet, sering sekali aroma pengab kurang sedap,  bisa karena lembab, bisa juga karena jarang divakum, tidak demikian di JA, kebersihan  dijaga, alur angin tertata.  Logikanya kebersihan sebagian dari iman.  JA secara lahiriah mengentalkan keimanan.

Usai Isya, dengan raut muka bersih Asman menemui beberapa relasi di meja-meja café masjid. “Beginilah selalu ada pasien antri,” katanya berseloroh.

DI KAWASAN Batam Tourism Polytechnic (BTP) di lahan  29 hektar kini telah berdiri bangunan sekolah pariwisata.  Di sana di Minggu pagi kami bertemu.  Setiap pagi selalu ada senam disediakan bagi warga.  Lahan seluas itu dimiliki Asman bersebelahan dengan usaha pom bensinnya. 

Ia bercerita  semula hanya pom bensin di bagian bawah punyanya.  Di bagian atas ada perumahan, pemilik awalnya berseteru. Asman lantas menemui sang pemilik satu-persatu, selanjutnya semua  kompleks itu dibelinya

Kini di lahan berkontur berbukit tinggi, juga dapat melihat Marina Bay Sands dari bagian puncaknya. Di bawah di bagian kiri sudah berdiri bangunan sekolah politeknik pariwisata.  Di dalam bangunan sekolah saya perhatikan Asman memang taat kaedah dengan kebersihan. Toilet ada ruang terbuka, air selalu mengalir, aroma segar terjaga.

Maka di sana dapat ditemui model bagi  simulasi café, restoran, dapur, kamar, termasuk grand suite, bagi hotel bintang lima. Semuanya tertata bagi  sebuah standar internasional. “Siswa kami sudah bisa bekerja diterima trainee  di Qatar, semuanya bisa melakukan  wawancara via skype dari  sini,”  kata Asman.

Hari itu saya simak ada  serombongan siswa sedang belajar untuk ditempatkan di kapal pesiar. Asman pun sudah sejak lama  menyalurkan tenaga terdidik ini dengan kualifikasi  diterima oleh semacam Holland American Line dan sejenis. Dalam waktu tak lama lagi Asman mengajak Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan  kampus  BTP menjadi institut.

Kami pun diajak Asman berkeliling sambil berjalan cepat. Kawasan itu semua satu putaran 1,6 km. “Saya biasanya lari tiga putaran, sudah lumayan,” katanya. Kami berjalan cepat, di atas con block, di kiri-kanan kini mulai pula ditanami Terminalia.

Di bagian bawah bertepi dengan jalanan umum, Asman  membuat trotoar sendiri, kini telah menghijau, padahal tanah di seluruh kawasan kemerahan dan bebatuan.  “Saya membuat ini agar Pemda dapat dapat mencontoh, tinggal tiru ini,” ujarnya. 

Di bagian atas trotoar jalan  masih di lahannya, Asman membuat both bisa disewa pemilik restoran atau café, berderet bagi  kawasan kuliner.  Lokasi kuliner  ini mulai banyak dikunjungi  kalangan muda.

“Ada sekolah, ada sarana. Bahkan beberapa siswa saya motivasi mulai membuka café di mall-mall,” kata Asman.

Menanjak melangkah dari  arah pom bensinnya, agak ke atas,  melalui ruang pencucian mobil,  kini dapat disimak lapangan futsal. Ada lima. “Dari futsal ini setidaknya kami dapat keuntungan bersih Rp 200 juta,” ujarnya. Tampak sekali usahanya dirintis dari awal berbasis cash di muka. Seperti pencucian mobil.

Kini  Asman   merencanakan membangun Mall terbesar di pojok kanan depan lahannya. “Pelan-pelan, disesuaikan dengan cash flow,” katanya. 

Tak lama kemudian Asman mengajak bertemu di kedai kopi langganannya, tak jauh dari toko emas milik keluarganya.

“Di sini saya acap bertemu dengan  toke-toke,” katanya tertawa.  Kedai kopi di ruang terbuka di emperan tanpa AC.  Di meja bundar  dengan  bangku plastik, saya simak Asman menikmati lontong sayur, teh tarik dan roti bakar. Pemilik warung kopi etnik keturunan mengaku berteman dengan Asman sejak mereka  kanak-kanak. Beberapa pertemanan itu  ada juga  berkongsi dengan Asman. Kental saya simak, ia melakoni segalanya dengan bersemangat. Bersemangat berbisnis, bersemangat bekerja  menumpuk cash, bersemangat bekerja untuk negara.

“Saya mau PNS ke depan memiliki semangat enterprener dan mengedepankan hospitality,” ujarnya. Asman kendati sudah menjadi menteri, kepada kawan kehangatannya  tetap kental.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun