Pertama, ketentuan mengenai batas maksimum pemilikan tanah yang tidak realistis (terlalu luas) khususnya di Jawa tidak memungkinkan pemerintah mendapatkan tanah yang cukup untuk dapat dibagikan. Sementara batas minimum juga tidak realistis sebab tidak terdapat cukup tanah untuk menjamin setiap keluarga petani di Jawa mempunyai tanah dua hektar. Selain itu, menurut Ladejinsky sistem proses yang rumit, administrasi yang buruk dan kecakapan panitia landreform yang rendah adalah sebab lainnya (Rajagukguk:1995).
Senada dengan Ladejinsky, dalam laporan mengenai hambatan-hambatan pokok pelaksanaan land reform, Menteri Agraria Republik Indonesia Mr. Sadjarwo, menjelaskan antara lain:
(1) Adanya administrasi tanah yang tidak sempurna, mengakibatkan sukarnya mengetahui secara tepat luas tanah yang akan dibagikan dalam land reform. Kelemahan administrasi ini sering membuka peluang bagi penyelewengan-penyelewengan.
(2) Masih ada orang-orang yang belum menyadari penting dan perlunya land reform bagi penyelesaian revolusi. Kadang-kadang terjadi tindakan-tindakan merintangi land reform dengan berbagai dalih.
Sebagian anggota panitia tidak menaruh perhatian sepenuhnya terhadap pelaksanaan land reform, karena kesibukan tugas atau kepentingan dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan ada tanah yang dibebaskan/dikeluarkan dari daftar tanpa alasan yang benar, sehingga menimbulkan salah alamat dan sebagainya.
(3) Organisasi-organisasi massa tani yang diharapkan memberikan dukungan dan kontrol di sejumlah daerah belum diberi peranan dalam kepanitiaan land reform.
(4) Adanya tekanan-tekanan psikologi dan ekonomis dari tuan-tuan tanah kepada para petani di sejumlah daerah, membuat para petani belum merupakan kekuatan sosial untuk memperlancar pelaksanaan land reform.
(5) Dalam penetapan prioritas, panitia sering menghadapi kesukaran-kesukaran karena penggarap yang tidak tetap, perubahan administrasi pemerintahan sehingga tanah itu menjadi absentee (guntai). Hal ini sering menimbulkan konflik antar petani atau antar golongan.
Dari penjelasan Menteri Agraria tersebut, dapat dilihat adanya beberapa masalah yang cukup penting: Pertama, masalah yang bersifat ke dalam, dari soal kesadaran, pengetahuan, sampai pada kesungguhan, dan komitmen waktu. Kedua, masalah yang bersifat politik, khususnya menyangkut pengorganisasian dukungan politik yang dibutuhkan untuk menjalankan program land reform. Ketiga, menyangkut masalah administrasi, yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai masalah kebijakan.
Karena terjadinya hambatan-hambatan ini, maka kemudian terjadilah apa yang dikenal sebagai gerakan aksi sepihak (unilateral actions). Aksi-aksi sepihak ini menjadi pusat persengketaan. Namun, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan aksi sepihak ini dapat ditafsirkan dengan berbagai cara. Menurut Erpan Faryadi, Anggota Dewan Pakar KPA, aksi-aksi kedua belah pihak sama-sama dapat dikategorikan sebagai aksi sepihak. Karena, aksi-aksi petani untuk melaksanakan Undang-Undang Land Reform secara sepihak dimulai sebagai reaksi atas provokasi dan rintangan dari pihak tuan tanah. Jadi, hampir seluruh gerakan kedua pihak dapat didefinisikan sebagai aksi sepihak. Karena diadakan tanpa menghiraukan prosedur yang normal, misalnya tanpa menunggu keputusan Panitia Land Reform, atau bertentangan dengan keputusan Panitia Land Reform.
Mengutip Rajagukguk, Hasil-hasil pembagian tanah landreform dari tahun 1963-1969 di Jawa berjumlah 197.395,6531 hektar kepada 307.904 keluarga. Ini berarti hanya 3,49 persen dari 5.647.000 hektar luas tanah pertanian yang ada. Sementara itu, hanya 8,14 persen rumah tangga dari perkiraan 4.761.065 juta petani pada masa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H