Tanpa bermaksud menyederhakan, terdapat dua buah blok besar kebijakan agraria nasional selama 64 tahun Indonesia merdeka. Pertama, kebijakan agraria (neo) populis yang dimulai semenjak disahkannya UUPA 1960 hingga dipenghujung kekuasaan rezim Soekarno. Kedua, kebijakan agraria pro-pasar (kapitalisme) semasa pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga seluruh pemerintahan di masa reformasi.
Memang, semua presiden di negara kita secara formal sesungguhnya menggunakan UUPA 1960 sebagai payung pelaksanaan hukum agraria nasional. Namun dengan pendulum yang sama sekali berlainan. Soekarno di sisi kiri dan Seoahrto dan penerusnya di sisi kanan. Pilihan-pilihan ini memberi gambaran kepada kita semua, bahwa dasar ekonomi politik nasional yang secara sadar dipilih oleh pemerintah yang berkuasa menentukan model rezim agraria yang berlaku.
Soekarno dan Landreform
Soekarno memahami, bahwa membangun ekonomi bangsa harus dimulai dari menata struktur penguasaan tanah khususnya lahan pertanian. Selama periode transisi 45-60, politik agraria kita masih menggunakan dasar hukum Belanda dan sebagian tata cara pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan ala Jepang. Pola penguasaan tanah belum diatur dalam undang-undang. Dalam kondisi seperti ini, pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah tidak berada dalam strategi pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih bersifat temporer dan reaktif.
Memang di masa 1945 sampai diberlakukannya UUPA 24 September 1960, sempat juga dilahirkan beberapa UU yang mengatur soal-soal pertanahan seperti penghapusan tanah partikelir dan desa perdikan.
Land reform di masa Soekarno dijalankan melalui ”Paket UU Landreform” seperti UUPA, UU Pokok Bagi Hasil. UU Penetapan Batas Maksimum Tanah Pertanian. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.
Menurut penulis, secara mudah operasionalisasi dari UU dan peraturan-peraturan tersebut adalah: Pertama, untuk membatasi kepemilikan tanah pertanian oleh para tuan tanah, maka dilakukan pembatasan luas maksimum yang diperbolehkan petani untuk dimiliki.
Kedua, Diberlakukan penentuan bagi hasil pertanian yang menguntungkan bagi penggarap, sehingga para pemilik tanah yang tidak menggarapnya secara langsung terdorong untuk menjual tanahnya melalui kebijakan ini. Penentuan Bagi Hasil pertanian ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan harga tanah yang diambil oleh pemerintah dari para pemilik tanah lama.
Ketiga, untuk mencari tanah objek land reform di berbagai wilayah khususnya desa-desa, dilakukan pendaftaran atau registrasi tanah oleh pemerintah desa dan organisasi petani. Sehingga melalui proses pendaftaran ini ditemukan tanah guntai, tanah kelebihan maksimum dan tanah negara bebas lainnya untuk dijadikan objek land reform.
Keempat, dibentuk Panitia Land Reform yang melibatkan unsur pemerintah dan organisasi petani mulai dari tingkat nasional hingga tingkat desa. Panitia ini yang melaksanakan land reform khususnya menentukan objek, subjek dan mekanisme redistribusi.
Terakhir, meskipun terlambat disahkan, Jika terjadi konflik dalam pelaksanaan land reform apakah itu soal penentuan objek, subjek, mekanisme redistribusi dan keluhan lainnya diselesaikan melalui pengadilan landreform.
Wolf Ladejinsky, arsitek land reform Jepang yang menjadi asisten Jenderal Mac Arthur dan bertindak juga sebagai penasehat di Taiwan, mengunjungi Indonesia tiga kali atas undangan Menteri Agraria Mr.Sadjarwo. Ia memberikan ulasan singkat mengapa pelaksanaan land reform di Indonesia pada masa itu sulit dilakukan.