Apa jadinya bila seseorang tiba-tiba memberanikan diri naik di ketinggian. Â Pasti ia sedikit terkejut melihat sekeliling, melihat bumi yang ada di bawah. Apa lagi ia harus berjalan pada ketinggian. Itulah yang saya alami. Â
Meski awalnya sempat menguasai keadaan, tetapi hati ini tidak bisa dibohongi, kaki rasanya juga gemetar, grogi melihat ke bawah. Pengalaman ini saya alami saat berkunjung ke Taman Nasional (TN) Bantimurung Bulusaraung (Babul).Â
Kekayaan alam TN Babul ini luar biasa, baik flora, fauna atau keunikan/keelokan alamnya. Lingkungan karst, iklim dan faktor alam lainnya mendukung bagi habitat tumbuhnya kupu-kupu. Dataran dan pengunungan karst TN Babul seluas 43.75 ribu ha (1), Â mencakup/berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Barru, Bone dan Maros.
Sekitar 50 m dari pintu gerbang masuk, nampak sebuah bukit dengan sebuah jaring raksasa. Inilah tempat penangkaran kupu-kupu. Untuk masuk ke penangkaran, pengunjung dikenakan tarif lima ribu rupiah per orang. Pengunjung dikenakan tarif tambahan sebesar lima belas ribu rupiah bila mau naik ke Helena Sky Bridge.
Luasan penangkar itu kurang lebih sekitar dua hektar, dengan ketinggian sekitar 40 m. Fisiografinya bergelombang, sehingga cocok untuk orang-orang usia muda atau anak-anak. Â Jalurnya naik turun, terkadang sempit melalui celah batuan, dan sebagian mendaki atau menurun terjal.Â
Saya pun manut (patuh) ketika petugas meminta saya menggunakan belt pengaman di tubuh. Saya lihat ke atas bukit sebuah tulisan logam HELENA SKY BRIDGE, yang ditanam pada dinding bukit dengan besi beton.Â
Saya pun beranjak naik ke atas menara, naik tangga, berpindah naik tangga lain dan akhirnya tiba di puncak menara. Waoow lumayan tinggi, dengan lansekap pemandangan luas ke arah kota Maros. Kini tulisan HELENA SKY BRIDGE seolah sejajar dengan mata. Inilah saatnya berjalan di jembatan, dalam hati.
Tapi ternyata petugas menarik belt untuk dikaitkan dengan tali baja yang membentang sepanjang jembatan. Hhhmmm.. beruntung saya tidak lepas dari jangkauan petugas itu. Kalau lepas mungkin saya berjalan tanpa pengaman.
Tempat berpijak kaki di jembatan adalah papan kayu. Papan kayu diikat tali sehingga membentuk sambungan papan. Papan ini sedikit fleksibel menahan baban berat badan. Meski sudah didisain aman, pengunjung harus waspada dan tenang ketika kaki menginjak kayu.Â
Beruntung ini terjadi tidak lama, karena seorang petugas muncul melihat saya sedikit ragu. Anehnya justru saya memberi kamera ke petugas itu.Â
"Mbak, saya tolong difoto ya, yang bagus ya", sementara saya mundur balik ke jembatan  untuk menemukan pose  yang pas.
Perasaan lega bercampur senang, begitu petugas melepas belt pengaman. Â Saya pun turun dari menara mengakhiri perjalanan ini. Rasanya ini pengalaman yang langka.
Malang, 10 September 2018
***
Buku yang sudah diterbitkan:
- Iwan Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 978-602-9033-31-1
- Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Cetakan Ulang. Cetakan 1 tahun 2004. Diterbitkan kembali oleh LP3ES, Jakarta. ISBN 979-3330-90-2Â
- Iwan Nugroho. 2013. Budaya Akademik Dosen Profesional. Era Adicitra Intermedia, Solo. 169p. ISBN 978-979-8340-26-0
- Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. 2015. Pengembangan Desa Melalui Ekowisata, diterbitkan oleh Era Adicitra Intermedia, Solo. 281 halaman. ISBN 978-602-1680-13-1Â
- Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386
- Iwan Nugroho. 2018. Menulis, Membangun kekuatan dan motivasi kehidupan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 155p. ISBN 9786022299271
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H